Melihat anaknya menang lomba maraton? Mendapat rangking satu? Lulus tepat waktu? Lolos tes LPDP? Dipinang anak orang kaya? Yang mana?
Saya yakin setiap orangtua pada dasarnya akan bahagia ketika anaknya juga bahagia.
Jadi, ungkapan "nanti orangtua ga bahagia kalau kamu nikahnya telat" menjadi asumsi yang terlalu pendek.
Pernikahan itu tidak sesederhana membuat tahu bulat yang digoreng di atas wajan secara dadakan. Maka, wajar jika banyak orang (terutama perempuan, sebab perempuan lah lucunya, yang menjadi topik pembicaraan dari sejak awal) kemudian memikirkan soal pernikahan dengan sangat lama dan mendalam.
Because this is a lifetime decision.
Tidak ada proses trial and error, tidak ada remedial jika tidak lulus.
Menikah di usia berapapun, tidak menjamin kedewasaan pasangan, yang akan membuat pernikahan menjadi langgeng. Menikah di usia muda dengan alasan menyegerakan pernikahan jika tidak siap mental juga tidak bijak. Salah-salah, masalah rumah tangga malah diumbar di media sosial. Pun, menikah di usia 'cukup' (berapapun itu) juga belum tentu. Sebab usia tidak pernah menjadi jaminan atas kematangan jiwa siapapun.
Merasa takut 'tidak laku' karena sudah tidak muda lagi juga sejatinya diembuskan oleh hegemoni kultural dengan jargon "perawan tua", seolah keindahan perempuan untuk 'dinikmati' dalam pernikahan berbatas bilangan angka. Seolah semua lelaki di dunia ini hanya memikirkan fisik perempuan yang diharapkan tetap 'kencang' dan freshdi usia tertentu. Seolah wanita usia 30-an harus pasrah takkan dilirik lagi oleh lelaki manapun, sebab ia kalah bersaing dengan dedek-dedek eumeush usia awal 20 yang lebih atraktif dan cute.
Sementara, di sisi yang berseberangan, tak ada batasan usia berapapun untuk pria. Sungguh mengherankan. Lelaki cenderung memilih perempuan muda, sementara perempuan harus pasrah dipilih oleh lelaki usia berapapun.
Seolah pendidikan bagi anak lelaki dan perempuan itu berbeda.
Hey, nak ... karena kamu perempuan, kamu harus tetap muda dan segera menikah ya! Nanti ga punya anak loh ...