Mohon tunggu...
IrfanPras
IrfanPras Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Dilarang memuat ulang artikel untuk komersial. Memuat ulang artikel untuk kebutuhan Fair Use diperbolehkan.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Salah Kaprah Penggunaan Statistik Sepak Bola (Bagian 1)

21 Januari 2021   15:11 Diperbarui: 21 Januari 2021   15:19 1188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah kaprah penggunaan statistik sepak bola. | foto: Dokumen Pribadi

Statistik sudah jadi bagian penting dalam dunia sepak bola dan sudah menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan. Dalam perkembangan sepak bola modern, statistik bukan saja jadi makanan pelatih dan pemain, tapi sudah jadi bahan konsumsi publik.

Statistik sudah mendapat tempat khusus dalam analisis sepak bola. Walaupun berupa angka-angka yang kadang memusingkan, tetapi kehadiran statistik memang sangat diperlukan. Melalui data yang tersaji dalam statistik, kita bisa tahu berapa jumlah gol tercipta, jumlah umpan, tekel, pelanggaran, dan masih banyak lagi.  

Bahkan, di era media sosial seperti sekarang ini, statistik pasca laga sudah jadi bahan perbincangan umum. Pandit sepak bola juga menggunakannya. Dalam pembahasan taktik dan pertandingan juga tidak bisa dilepaskan dari berbagai data yang tersaji dalam statistik.

Akan tetapi, banyak yang menggunakan statistik sepak bola, utamanya statistik pasca pertandingan dengan cara yang salah. Beberapa statistik seharusnya tidak dipakai dengan cara tersebut dan ada pula statistik yang perlu dianalisis, jadi data statistik yang tersaji tidak bisa ditelan begitu saja.

Kita akan mulai dari hal yang umum terlebih dahulu sebelum membahas yang lebih detail. Oleh karena itu, di pembahasan kali ini, kita akan bahas salah kaprah yang pertama, yaitu menggunakan data penguasaan bola sebagai indikator kualitas sebuah tim.

Gampangnya begini. Sering kali fan menggunakan angka persentase penguasaan bola dalam sebuah laga untuk menentukan tim mana yang lebih menguasai jalannya pertandingan.

Benar mendominasi penguasaan bola, tapi belum tentu mendominasi pertandingan. Di Kompasiana sendiri, masih banyak yang menuliskan sebuah tim mendominasi laga hanya dengan modal menang penguasaan bola.

Banyak yang punya anggapan bahwa tim yang mampu menguasai jalannya pertandingan punya peluang lebih besar untuk memenangi sebuah pertandingan, bahkan sebuah kompetisi. Itu salah, Kawan!

Kita ambil contoh dari statistik pertandingan yang baru-baru ini ramai diperbincangkan, yaitu Derby d'Italia (17/1)yang mempertemukan Inter Milan dan Juventus. Seperti yang kita ketahui, Inter memenangi derby itu dengan skor akhir 2-0.

Statistik laga Derby d'Italia. | foto: Dokumen Pribadi
Statistik laga Derby d'Italia. | foto: Dokumen Pribadi

Bila menilik catatan statistiknya, Juventus unggul penguasaan bola atas Inter. Berdasarkan catatan FotMob, Squawka, dan Whosocred, persentase penguasaan bola Juventus di laga tersebut sebesar 51,1%, sementara penguasaan bola Inter hanya 48,9% saja.  

Jika hanya menganalisisnya dari data penguasaan bola saja, maka memang Juventus yang menguasai pertandingan. Namun, seperti yang kita tahu, justru Inter yang menang dan siapapun yang menonton laga tersebut sepakat bahwa Inter yang justru mendominasi Juventus.

Bagaimana bisa? Apa dasar yang dipakai untuk menilai Inter lebih dominan ketimbang Juventus?

Untuk menilai siapa yang lebih mendominasi lawannya, dibutuhkan data lain, bukan hanya sekadar memakai persentase penguasaan bola saja. Dalam kesempatan kali ini, saya akan coba bahas salah satu data dari statistik sepak bola yang jarang dikenal dan dibahas oleh para penikmat bola tanah air.

Mengenal PPDA untuk mengukur intensitas tekanan

Data tersebut adalah PPDA. PPDA merupakan singkatan dari Passes Allowed Per Defensive Action.

Jika kepanjangan PPDA diartikan dalam bahasa Indonesia cukup lucu si, "umpan yang diizinkan per tindakan bertahan?". Daripada bingung, mari kita fokus pada fungsi dan kegunaan PPDA saja.  

Begini, mengutip penyataan Mark Bergmann dari Total Football Analysis, statistik PPDA berfungsi sebagai indikator intensitas pressing. Gampangnya, PPDA mengukur intensitas tekanan yang dilancarkan sebuah tim kepada lawannya.

Adapun rumus PPDA menurut Wyscout dihitung dengan cara membagi jumlah umpan yang dibuat oleh tim penyerang (lawan) per jumlah tindakan bertahan. Jenis tindakan bertahan yang diperhitungkan adalah jumlah tekel sukses, tekel gagal, intersep, hingga jumlah pelanggaran yang dibuat.  

Aturannya, semakin rendah nilai PPDA, maka semakin intens tekanan yang dilakukan. Max Bergmann sendiri berpendapat bahwa rata-rata tim yang lebih dominan dari lawannya punya nilai PPDA yang lebih rendah. 

Contoh terbaiknya adalah Manchester City asuhan Pep Guardiola. Seperti yang kita sudah pahami, Pep memainkan taktik possession football. Namun, Pep tak cuma mengintruksikan pemainnya untuk aktif memegang bola saja.

Saat memenangi gelar Premier League 2 musim beruntun pada 2017/2018 dan 2018/2019, Sky Sports mencatat bahwa Manchester City jadi tim dengan nilai PPDA terbaik. Selama dua musim tersebut, nilai PPDA mereka tak lebih dari 10, yaitu 8,3 pada musim 2017/2018 dan 10 pada musim 2018/2019. Selama itu, City juga jadi tim paling produktif dan paling sedikit kebobolan.  

Kembali ke statistik laga Inter vs Juventus, siapa yang punya nilai PPDA lebih rendah? Ya, sayangnya bukan Inter, melainkan Juventus, Kawan!

Understat punya datanya. Juventus tercatat punya nilai PPDA di laga tersebut sebesar 12,5. Sementara itu nilai PPDA Inter mencapai 20,4. Loh, kok bisa?

Tangkapan layar statistik Inter vs Juventus dari understat.com/match/15600
Tangkapan layar statistik Inter vs Juventus dari understat.com/match/15600
Ingat, semakin rendah, semakin dominan, maka Juventus yang punya nilai PPDA lebih rendah bisa dikatakan lebih mendominasi Inter? Jangan terburu-buru kawan, belum tentu kenyataannya demikian.

Inilah kelemahan dari penilaian PPDA, soalnya PPDA hanya dihitung di 60% lapangan akhir lawan saja. Selain itu, PPDA tidak memperhitungkan tipe tindakan bertahan yang diterapkan sebuah tim. Bisa jadi sebuah tim punya nilai PPDA tinggi karena sistem bertahannya lebih fokus untuk menutup ruang, bukan menekan dengan duel fisik.

Itulah yang terjadi dengan intruksi Antonio Conte di Derby d'Italia. Pertahanan Inter cukup dalam. Hal ini dibuktikan oleh FotMob yang mencatat bahwa Juventus dibiarkan membuat 260 operan di wilayah Inter.

FotMob juga mencatat bahwa pemain Inter lebih banyak membuat tekel sukses ketimbang Juventus, yaitu 5 berbanding 3. Saat momen bertahan itulah, Inter mampu mengunci pemain Juventus di wilayah mereka dan melancarkan serangan balik yang efektif.

Fakta tersebut terukur dalam statistik tembakan yang dibuat pemain Inter ke gawang Juventus. Inter mampu melancarkan 17 tembakan dengan 5 tembakan mengarah tepat sasaran. Sementara itu, Juventus hanya dibolehkan menembak 9 kali dan hanya 4 tembakan saja yang mengarah tepat ke gawang Inter. 

Singkatnya, dari statistik yang termuat, Inter lebih banyak membuat peluang ketimbang Juventus meskipun kalah dalam penguasaan bola. Whoscored juga mencatat bahwa Inter berhasil melakukan 2 kali serangan balik kepada Juventus, sementara Juventus tidak.

Lalu, apakah analisisnya cukup sampai disitu untuk menilai Inter lebih dominan ketimbang Juventus?

Tunggu dulu, Kawan. Dari analisis kuantitatif di atas, datanya belum cukup untuk menyatakan siapa yang lebih mendominasi dalam Derby d'Italia. Masih diperlukan data lain dalam statistik sepak bola dan data tersebut adalah xG.

Mengenal lebih jauh istilah Expected goals (xG)

Expected goals atau xG masih belum familiar di telinga pecinta sepak bola tanah air. Padahal, data yang disajikan xG sangat berguna dan memperlihatkan efektivitas sebuah serangan.

Mengutip dari bundesliga.com, statistik xG digunakan untuk menilai dan memperhitungkan sebuah peluang tembakan menjadi gol. xG adalah sebuah model prediksi yang menghitung setiap peluang berdasarkan berbagai variabel peristiwa.

xG dapat menggambarkan kualitas peluang yang diciptakan sebuah tim. Adapun variabel berbasis peristiwa yang diperhitungkan antara lain; jarak tembakan ke gawang, sudut tembakan, peluangnya berupa tendangan atau sundulan, hingga dalam situasi apa peluang tersebut tercipta.

Semakin tinggi nilai xG, semakin tinggi probabilitas terciptanya gol. Untuk mengetahui nilai xG, kita tak perlu repot-repot. Tinggal akses saja penyedia statistik sepak bola seperti understat.

Kembali ke statistik Inter vs Juventus, siapa yang nilai xG-nya paling tinggi? Ya, tentu saja Inter, bukan Juventus!

Understat mencatat, Inter punya nilai xG sebesar 1,73. Sementara Juventus hanya 0,37 saja. Ini berbanding lurus dengan banyaknya peluang yang diciptakan Inter. Dari nilai xG yang disajikan understat, kita jadi tahu tim mana yang kualitas peluangnya lebih bagus.

Akan tetapi, jangan terpaku hanya dengan satu nilai xG saja. Untuk menilai siapa yang lebih mendominasi dan lebih efektif, kita perlu melihat visualisasi data xG yang dihasilkan sebuah tim sepanjang laga. Masalahnya, ada tim yang nilai xG lebih sedikit, tetapi bisa mencetak gol lebih banyak.

Visualisasi xG tersebut bisa dilihat di xG timeline. Melalui visualisasi inilah kita dapat mengetahui gambaran total xG yang dihasilkan sebuah tim dalam interval waktu tertentu. xG timeline mampu memperlihatkan tim mana yang paling efektif mengkonversi peluang menjadi gol.

xG timeline pertandingan Inter vs Juventus. | foto: Tangkapan layar understat.com/match/15600
xG timeline pertandingan Inter vs Juventus. | foto: Tangkapan layar understat.com/match/15600

Dalam sajian data di atas terlihat dengan jelas bahwa Inter memang benar-benar mendominasi Juventus. Terlihat bahwa pemain Inter lebih banyak menciptakan peluang bagus ketimbang Juventus. Sepanjang laga, nilai xG Inter jauh mengungguli Juventus.

Dalam visualisasi xG timeline di atas, kita juga bisa berasumsi bahwa pertahanan Juventus cukup terbuka hingga pemain Inter mampu menciptakan peluang lebih banyak. Selain itu, kita juga bisa berasumsi bahwa kiper Juventus, Wojciech Szczesny tampil sangat baik hingga mampu mencegah pemain Inter mencetak lebih banyak gol.

Nah, dari data kuantitatif yang sudah kita bahas di atas, baru kita bisa menyatakan bahwa Inter memang mendominasi pertandingan Derby d'Italia. Maksud dari pembahasan ini adalah statistik dalam sepak bola tidak bisa ditelan mentah-mentah. Untuk mengatakan tim A lebih dominan dari tim B, perlu membaca berbagai data dalam statistik sepak bola dan data penguasaan bola tidak bisa dipakai sebagai penentu kualitas sebuah tim. 

Untuk itulah dibutuhkan analisis kualitatif, bukan sekadar kuantitatif dengan modal PPDA saja, xG saja, apalagi hanya modal penguasaan bola saja. Analisis kuantitatif dari data yang tersaji dalam statistik perlu dianalisis lebih lanjut.

Dalam sepak bola, faktor keberuntungan juga ada dan faktor seperti itu tidak terukur dalam angka. Semua drama yang terjadi dan situasi riil dalam sebuah pertandingan juga tidak bisa dinilai dalam angka saja. Untuk itulah dibutuhkan pengamatan secara langsung untuk bisa menganalisisnya secara kualitatif.

Sekian pembahasan kali ini. Mohon maaf bila terlalu panjang. Bila ada kritik, saran, atau masukan sila tinggalkan di kolom komentar. Di kesempatan berikutnya kita akan bahas salah kaprah yang lain. Jadi, sampai jumpa.

@IrfanPras

Referensi:

1. Pandit Football

2. Opta

3. Understat

4. Sky Sports

5. Total Football Analysis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun