Belakangan isu mengenai kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menuai kritik tajam dari publik. Isu terbaru yang mengemuka adalah rencana kenaikan tunjangan atau gaji anggota DPR, yang jika dihitung-hitung bisa setara dengan tambahan hampir Rp3 juta per hari.
Di tengah kondisi masyarakat yang masih berjuang menghadapi ketidakpastian ekonomi, kebijakan semacam ini jelas memantik amarah publik. Kritik semakin keras karena DPR dianggap sering absen dari fungsi utamanya: menyerap aspirasi rakyat, melakukan pengawasan yang tegas terhadap pemerintah, dan menghasilkan produk legislasi yang berkualitas.
Namun, munculnya suara-suara ekstrem yang mendorong agar DPR dibubarkan justru menghadirkan persoalan baru yang lebih berbahaya.
Memang benar, DPR memiliki segudang masalah: citra yang kerap tercoreng skandal korupsi, legislasi yang lamban, serta gaya hidup mewah sebagian anggotanya yang kontras dengan kondisi rakyat.
Tetapi, membubarkan DPR sama saja dengan menihilkan prinsip demokrasi dan membuka jalan bagi lahirnya kekuasaan absolut di tangan eksekutif. Sejarah sudah berkali-kali menunjukkan bahwa kekuasaan tanpa kontrol hanya akan melahirkan tirani.
DPR: Antara Fungsi Ideal dan Realitas Buram
Dalam teori representasi politik Hanna Pitkin, seorang legislator seharusnya bertindak sebagai wakil yang menyalurkan aspirasi rakyat. Namun, dalam praktik di Indonesia, fungsi representasi ini justru sering berubah menjadi representasi kepentingan oligarki dan partai politik. Tidak jarang, keputusan DPR lebih berpihak pada elite ketimbang rakyat.
Kasus-kasus terbaru semakin memperkuat stigma itu. Misalnya, polemik kenaikan gaji DPR yang beredar luas pada Agustus 2025, memicu kemarahan karena dianggap tidak memiliki urgensi dan tidak berempati pada kondisi rakyat.
Selain itu, publik masih mengingat skandal korupsi BTS Kominfo yang menyeret mantan Menkominfo Johnny G. Plate menjadi sebuah kasus besar yang mencuatkan dugaan adanya keterlibatan jaringan politik di Senayan. Belum lagi isu politik uang dalam pemilu legislatif serta praktik lobi-lobi gelap dalam pengesahan undang-undang, yang semakin mengikis legitimasi DPR.
Dengan sederet catatan buram tersebut, wajar bila publik bersuara lantang. Namun, apakah pembubaran DPR merupakan solusi?
Mengapa DPR menjadi lembaga yang bermasalah?
Salah satu akar dari bobroknya DPR adalah mahalnya biaya politik di Indonesia. Untuk bisa duduk di Senayan, seorang calon anggota DPR harus mengeluarkan dana miliaran rupiah; mulai dari mahar partai, biaya kampanye, hingga praktik politik uang.
Ketika akhirnya berhasil lolos, tidak sedikit yang kemudian terjebak dalam mentalitas "balik modal". Korupsi, jual beli kebijakan, hingga penggadaian kepentingan publik kepada oligarki menjadi jalan pintas yang mereka tempuh.
Di sisi lain, partai politik sebagai gerbang masuk justru sering lebih mengutamakan calon yang punya uang ketimbang yang punya kompetensi, integritas, atau rekam jejak pengabdian.
Kondisi ini semakin diperparah dengan rendahnya kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi. Masih banyak pemilih yang tergoda oleh popularitas instan, penampilan di layar kaca, atau sekadar iming-iming uang saat masa kampanye. Fenomena money politics dan politik citra membuat kualitas wakil rakyat yang terpilih sering kali tidak mencerminkan kebutuhan rakyat, melainkan kemampuan finansial kandidat. Dengan kata lain, DPR yang kita miliki hari ini sesungguhnya merupakan cerminan dari sistem politik yang rusak secara struktural.
Dalam perspektif teori politik, fenomena ini bisa dijelaskan lewat teori elite (Pareto, Mosca, Michels) yang menegaskan bahwa dalam setiap masyarakat akan selalu ada segelintir elite yang menguasai sumber daya politik dan ekonomi.
Di Indonesia, elite politik dan ekonomi sering kali berkelindan, melahirkan praktik oligarki yang memengaruhi arah kebijakan DPR. Sementara dari kacamata teori demokrasi modern, DPR merupakan bagian dari mekanisme checks and balances yang mutlak diperlukan.
Membubarkan DPR hanya akan meruntuhkan pilar pengawasan terhadap pemerintah. Tanpa DPR, presiden dan eksekutif bisa melenggang dengan kekuasaan absolut tanpa kontrol legislatif. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi konstitusional yang kita anut.
Pembubaran DPR bukanlah Jawaban!
Membubarkan suatu institusi seperti DPR bukanlah jawaban maupun solusi. Jika melihat berbagai faktor penyebab dan akar permasalahan maka yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan reformasi menyeluruh sistem politik kita. Mulai dari pembiayaan politik yang lebih transparan dan terjangkau, rekrutmen kader partai yang berbasis integritas dan kapasitas, hingga pendidikan politik masyarakat agar tidak terus-menerus menjadi korban money politics.
Selain itu, lembaga pengawas internal maupun eksternal DPR harus diperkuat, sehingga perilaku menyimpang bisa diminimalisir. Reformasi DPR bukan perkara mudah, tetapi jauh lebih realistis dan lebih selaras dengan prinsip demokrasi ketimbang menghapusnya.
Pada akhirnya, benar bahwa DPR hari ini dipenuhi persoalan dan kerap membuat rakyat kecewa. Tetapi menyerukan pembubaran DPR bukanlah jawaban, melainkan langkah mundur yang berpotensi merusak tatanan demokrasi kita.
Yang diperlukan adalah perbaikan sistemik, keberanian masyarakat untuk lebih kritis dalam memilih, serta komitmen partai politik untuk mencetak kader yang benar-benar berjuang demi rakyat, bukan sekadar demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Hanya dengan itu, DPR bisa kembali menjadi institusi yang benar-benar mencerminkan kedaulatan rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI