Salah satu akar dari bobroknya DPR adalah mahalnya biaya politik di Indonesia. Untuk bisa duduk di Senayan, seorang calon anggota DPR harus mengeluarkan dana miliaran rupiah; mulai dari mahar partai, biaya kampanye, hingga praktik politik uang.
Ketika akhirnya berhasil lolos, tidak sedikit yang kemudian terjebak dalam mentalitas "balik modal". Korupsi, jual beli kebijakan, hingga penggadaian kepentingan publik kepada oligarki menjadi jalan pintas yang mereka tempuh.
Di sisi lain, partai politik sebagai gerbang masuk justru sering lebih mengutamakan calon yang punya uang ketimbang yang punya kompetensi, integritas, atau rekam jejak pengabdian.
Kondisi ini semakin diperparah dengan rendahnya kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi. Masih banyak pemilih yang tergoda oleh popularitas instan, penampilan di layar kaca, atau sekadar iming-iming uang saat masa kampanye. Fenomena money politics dan politik citra membuat kualitas wakil rakyat yang terpilih sering kali tidak mencerminkan kebutuhan rakyat, melainkan kemampuan finansial kandidat. Dengan kata lain, DPR yang kita miliki hari ini sesungguhnya merupakan cerminan dari sistem politik yang rusak secara struktural.
Dalam perspektif teori politik, fenomena ini bisa dijelaskan lewat teori elite (Pareto, Mosca, Michels) yang menegaskan bahwa dalam setiap masyarakat akan selalu ada segelintir elite yang menguasai sumber daya politik dan ekonomi.
Di Indonesia, elite politik dan ekonomi sering kali berkelindan, melahirkan praktik oligarki yang memengaruhi arah kebijakan DPR. Sementara dari kacamata teori demokrasi modern, DPR merupakan bagian dari mekanisme checks and balances yang mutlak diperlukan.
Membubarkan DPR hanya akan meruntuhkan pilar pengawasan terhadap pemerintah. Tanpa DPR, presiden dan eksekutif bisa melenggang dengan kekuasaan absolut tanpa kontrol legislatif. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi konstitusional yang kita anut.
Pembubaran DPR bukanlah Jawaban!
Membubarkan suatu institusi seperti DPR bukanlah jawaban maupun solusi. Jika melihat berbagai faktor penyebab dan akar permasalahan maka yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan reformasi menyeluruh sistem politik kita. Mulai dari pembiayaan politik yang lebih transparan dan terjangkau, rekrutmen kader partai yang berbasis integritas dan kapasitas, hingga pendidikan politik masyarakat agar tidak terus-menerus menjadi korban money politics.
Selain itu, lembaga pengawas internal maupun eksternal DPR harus diperkuat, sehingga perilaku menyimpang bisa diminimalisir. Reformasi DPR bukan perkara mudah, tetapi jauh lebih realistis dan lebih selaras dengan prinsip demokrasi ketimbang menghapusnya.
Pada akhirnya, benar bahwa DPR hari ini dipenuhi persoalan dan kerap membuat rakyat kecewa. Tetapi menyerukan pembubaran DPR bukanlah jawaban, melainkan langkah mundur yang berpotensi merusak tatanan demokrasi kita.