Mohon tunggu...
Irene Sugiharto
Irene Sugiharto Mohon Tunggu... Konsultan / Trainer

Konsultan dalam bidang pengembangan kepribadian. Trainer in personality development.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Udara, Warna, dan Ketahanan Mental: Pelajaran dari Negeri Utara

29 April 2025   14:22 Diperbarui: 29 April 2025   14:22 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto by: Irene Sugiharto - Helsinki di bulan April (Museum Seni Amos Rex)

"Udara adalah udara. Tergantung bagaimana kita beradaptasi dengannya. Kalau dingin, ya jaketnya tambah. Masih dingin? Heater nya tambah,"ucap seorang wanita Filipina yang telah menetap di Helsinki selama 30 tahun". Ia menjawab pertanyaan saya tentang bagaimana ia bertahan hidup di iklim ekstrem Skandinavia.

Percakapan ini terjadi ketika saya berkunjung singkat ke ibu kota Finlandia beberapa waktu lalu. Awalnya, kami berbincang tentang makna persahabatan baginya sebagai perantau. Namun, saya penasaran dengan kemampuannya bertahan di negara yang suhunya bisa mencapai minus 30 derajat Celcius saat musim dingin.

Jawaban sederhana wanita itu membuat saya tertegun. Terdengar mudah, namun saya yakin praktiknya jauh dari sederhana. Bagaimana seseorang bisa beradaptasi dengan kondisi cuaca yang begitu ekstrem, berbeda jauh dari iklim tropis negara asalnya?

Menariknya, wanita itu juga mengakui bahwa banyak penduduk Finlandia terdampak kesehatan mentalnya akibat "gloomy weather" yang berkepanjangan. Bahkan ketika negara-negara Eropa lain sudah menikmati hangatnya musim panas, Finlandia masih sering diselimuti kelabu.

Fenomena ini mengingatkan saya pada apa yang saya sebut sebagai "common state of unhappiness" dalam artikel-artikel sebelumnya. Kondisi lingkungan fisik ternyata memiliki pengaruh signifikan terhadap keadaan psikologis manusia.

Studi oleh Nasi et al (2023) yang saya baca dari British Psychological Society, memperkenalkan konsep "transilience" - kapabilitas manusia untuk secara konsisten, fleksibel, dan positif menghadapi perubahan iklim.

Para peneliti menemukan bahwa dalam kondisi keterpaksaan, kemampuan resiliensi ini akan muncul secara alami.

Sementara menelusuri jalan-jalan di Skandinavia, saya mulai memahami mengapa banyak merek lokal memfokuskan produk mereka pada warna-warna cerah. Ini seperti psikologi warna yang bekerja pada skala sosial. Warna-warna terang menjadi "penghibur lara" saat musim dingin berkepanjangan. Bahkan salju yang putih dinanti-nantikan karena membawa terang di tengah gelap musim dingin.

Jika direnungkan, fenomena ini memiliki relevansi dengan apa yang kita alami di Jakarta. Kita mengeluhkan udara yang semakin panas dan dampak pemanasan global, namun mungkin belum mengembangkan "transilience" seperti yang ditunjukkan penduduk negeri-negeri utara.

Cerita tentang musim dingin Skandinavia yang gelap dan berkepanjangan sebenarnya mengajarkan kita tentang pentingnya ketahanan mental dalam menghadapi tantangan lingkungan. Baik itu di Utara yang dingin atau di khatulistiwa yang semakin panas, adaptasi dan ketahanan mental menjadi kunci utama kesejahteraan kita.

Mungkin kita perlu belajar dari wanita Filipina yang telah 30 tahun bertahan di negeri salju itu: ketika lingkungan tidak bisa diubah, kitalah yang harus beradaptasi. "Udara adalah udara" sederhana namun mengandung kebijaksanaan yang dalam tentang resiliensi manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun