Seandainya dulu saya tidak memungutnya dan hanya membiarkannya saja, maka dia hanya akan membusuk sebagai sampah.
Ini ada kisah kecil yang menjadi alasan khusus, mengapa saya memungut pohon asam yang dibuang itu. Ketika saya melihat pohon asam terbuang itu, saya terkenang peristiwa ketika saya kecil dulu.
Waktu itu kira-kira saya berusia enam tahun. Suatu subuh, ketika alam masih gelap, saya bersama kakak mengendap-endap keluar rumah supaya tidak ketahuan, terutama oleh ortu. Pintupun tidak kami kunci. Kami pergi untuk mencari buah asam yang berjatuhan di sepanjang jalan. Waktu itu di kotaku Makassar, di sepanjang jalan Karebosi, di sekitar pekuburan orang Belanda atau Jera Balandaya dalam bahasa Makassar dan Rumah Penjara (dulu kalau tidak salah namanya demikian), dalam bahasa makassar disebut Balla Tarungkua dan jalan-jalan di sekitarnya ditanami pohon asam.
Waktu itu sedang musimnya berbuah. Bila kami perginya kesiangan, kami sudah keduluan orang lain atau buah asam itu sebagian rusak terinjak orang yang berlalu lalang. Hasilnya lumayan banyak lho, dapat sekantong penuh. Itu karena kami buru-buru pulang, karena takut ketahuan, jadi kami tidak berani berjalan sampai jauh.  Seandainya lagi, kami berani memanjat pohonnya dan menggoyang-goyangkan dahannya, pasti hasilnya lebih banyak, bisa  sampai beberapa kantong.
Sesampai di rumah, ternyata kami sudah ditunggu ibu dan dimarahi habis-habisan. Untung kami tidak dirotan. Dasar bandel, kakak saya masih berani mengambil kembali buah asam kami, yang disita ibu sebagai hukuman. Tentu secara diam-diam dan kemudian secara sembunyi-sembunyi dia bikin permen asam. Jika penasaran ingin tahu seperti apa permen asam itu, carilah ke toko oleh-oleh di Makassar.
Namun buatan kakak saya pada waktu itu kayaknya yang paling enak, deh.
Soalnya, permen asam kami dipadatkan dengan gula halus, sedangkan yang dijual hanya memakai gula pasir.
Jadi inilah keterkaitan saya dengan pohon asam, sehingga tergerak mengadopsinya dari tempat sampah.
Ternyata pohon asam dari dulu memang sosial, ya?!
Tapi eeei...tunggu dulu, pohon asam ini yang sosial atau saya, ya?!
Terserahlah, biar Anda yang menilai…