Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Sejarawan - Pegiat Sejarah, Sastra, Budaya dan Literasi

Ayo Nulis untuk Abadikan Kisah, Berbagi Inspirasi dan Menembus Batas

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Review Kegiatan Sambang Museum ke Museum, Kolaboraksi Melalui Musik

14 Januari 2019   11:32 Diperbarui: 14 Januari 2019   11:46 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri-korps Musik Reenactor

Musik adalah bahasa Universal. Dengan musik kita bisa mendengarkan lantunan nada nada yang indah. Musik juga banyak berkiprah dalam ruang lingkup sejarah. Dengan ide membuat Korps Musik Reenactor, sebagai salah satu kegiatan reenactment dari kesejarahan, Komunitas Reenactor Malang melalui musium Reenactor merilis program Sambang Musium Ke Musium. Berikut Reviewnya.

Ide Sambang Musium Ke Musium

Musium Reenactor Ngalam dan Musium Musik Indonesia adalah dua musium yang berada di Kota Malang. Ternyata musik adalah jembatan untuk menjalin komunikasi antar Musium. Ide sambang Musium ke Musium adalah upaya positif untuk saling memperkenalkan potensi masing masing musium. 

Dengan membangun sinergi, diharapkan ada kerjasama di masa masa mendatang. Ada banyak titik temu yang bisa dibahas dalam acara Sambang tersebut. Sambang adalah ajang silaturahmi untuk memperkenalkan diri. 

Pepatah bilang, Tak kenal maka tak sayang. Inilah ruh awal Korps Musik Reenactor bertandang ke Musium Musik Indonesia Pada Hari Jum'at, 11 Januari 2019. Dengan menampilkan kembali musik musik karya Ismail Madjuki, serasa menerobos ruang dan waktu kembali ke masa perjuangan. 

Medendangkan kembali Karya Ismail Mardjuki

Ismail Marzuki adalah orang Betawi asli. Ia dilahirkan pada 11 Mei 1914 di Kampung Senen, Kwitang, yang kini termasuk wilayah Jakarta Pusat. Nama aslinya hanya Ismail saja sebetulnya yang kemudian ia tambahkan dengan nama ayahnya, Marzuki. Sejak itulah, nama Ismail Marzuki selalu melekat pada dirinya.

Oleh orang-orang di sekitar rumahnya, Ismail disapa dengan panggilan Mail atau Maing. Sedangkan oleh orang-orang Belanda yang kerap mendengar suara merdunya kala bernyanyi, Ismail dipanggil Benjamin atau Ben (Ninok Leksono, Seabad Ismail Marzuki, 2014).

Mail memang sudah menyukai kesenian sejak kecil. Itu berasal dari sang ayah yang memang sering memainkan rebana dan acapkali memainkan musik keroncong, juga gambus. Bakat Mail kian terasah setelah berinteraksi dengan Perkumpulan Kaum Betawi, organisasi masyarakat yang bergerak di bidang kebudayaan, termasuk musik.

Meskipun sempat pula aktif di gerakan Kepanduan (cikal-bakal Pramuka), namun jalan hidup Mail memang seolah ditakdirkan untuk menjadi seorang seniman. Tahun 1931 atau ketika berusia 17 tahun, Ismail bergabung dengan Lief Java, grup musik ternama yang sudah berdiri sejak tahun 1918 dengan nama awal Rukun Agawe Santoso. 

Semasa di Lief Java itulah Ismail Marzuki berhasil menciptakan lagu untuk pertamakalinya yang ia beri judul "O Sarinah". Bersama Lief Java, nama Ismail sebagai musisi semakin dikenal. Ia kerap tampil dalam acara-acara yang dihelat orang-orang Belanda saat itu, juga sering mengisi siaran musik di radio.

Pergaulannya pun sangat luas. Tidak hanya dengan sesama orang Betawi atau orang pribumi saja, Ismail Marzuki punya banyak teman dan kolega dari kalangan bangsa Belanda juga kaum peranakan Cina maupun Arab yang tinggal di Hindia (Indonesia) kala itu.

Meskipun begitu, bukan berarti Ismail Marzuki rela negerinya dijajah. Hanya saja, situasi saat itu memang belum memungkinkan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan karena pemerintahan kolonial Hindia Belanda masih sangat kuat berkuasa.

Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, ia turut bergabung dengan rekan-rekan pejuang meskipun bukan berasal dari kalangan militer. Ia memilih berjuang sesuai dengan kapasitasnya sebagai seniman, yakni menciptakan lagu bertema perjuangan dan mengabdikan diri untuk RRI yang dibentuk tak lama setelah Indonesia merdeka. Sayang, umur Ismail Marzuki tidak terlalu panjang,  ia wafat pada usia 44 tahun karena penyakit yang menyerang paru-parunya.  

Ismail Marzuki merumuskan lirik "Sepasang Mata Bola" dalam suatu perjalanan pada 1946. Hal tersebut diungkapkan oleh Yusuf Ronodipuro yang bersama Ismail menumpang kereta dari Jakarta menuju ibukota RI kala itu, Yogyakarta (Alwi Shahab, Ismail Marzuki: Santri yang Melegenda Lewat Lagu Perjuangan, dalam Republika, 2016)

Nantinya, Yogyakarta menjadi ajang perang pejuang republik melawan Belanda, menjadi lokasi pertempuran heroik yang melegenda dengan nama Serangan Umum 1 Maret 1949. Coba simak sebait lirik "Sepasang Mata Bola" berikut ini:

Sepasang mata bola
Dari balik jendela
Datang dari Jakarta
Menuju medan perwira

Memang demikian adanya. Ismail Marzuki datang dari Jakarta menuju kota yang ternyata benar-benar menjadi medan perwira. 

Meskipun dikenal sebagai seniman atau musisi, Ismail nyatanya nyaris selalu ada manakala terjadi pertempuran. Misalnya di Jakarta pada awal September 1945 saat NICA (Belanda) datang, juga ketika meletusnya peristiwa Bandung Lautan Api di medio Maret 1946.

Sikap perlawanan juga pernah ia tunjukkan sewaktu Belanda mengambil-alih Radio Republik Indonesia (RRI) di Jakarta dan menggantinya dengan nama Radio Omroep In Overgangstijd (ROIO) pada akhir 1946. Ismail Marzuki yang memang kerap mengisi siaran musik di RRI dirayu agar mau bekerja di ROIO. 

Belanda menawarkan gaji besar, mobil, dan berbagai fasilitas lainnya. Namun, semuanya itu ia tolak dengan tegas (Ahmad Naroth, Bang Ma'ing Anak Betawi, 1982). Daripada bekerjasama, terlebih lagi bekerja untuk kepentingan Belanda, Ismail memilih hengkang dari RRI yang telah berubah wujud menjadi ROIO itu. 

Begitulah cara yang ia lakukan untuk menjaga harga diri dan martabat negeri. Ismail Marzuki kembali mengabdi untuk RRI setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada pemerintah RI pada penghujung tahun 1949.

Berikut Penampilan Korps Musik Reenactor

Korps Musik Reenactor Ngalam mendendangkan Kembali Karya Ismail Mardjuki

dokpri-Penampilan di Musium Musik Indonesia
dokpri-Penampilan di Musium Musik Indonesia
Musik, Sejarah dan Reenactor

Belajar sejarah seperti yang dilakukan Reenactor Ngalam tidak melulu perang perangan, namun juga bisa melalui media Musik. Dalam Musik juga ada sejarah, terutama kisah Yang Kami sebutkan diatas. Musik Karya Ismail Mardjuki sangat lekat dengan nuansa Perjuangan, Karena Beliau sendiri adalah pejuang perang kemerdekaan yang bertempur melalui lantunan musik.

Reenactor melalui unik Korps Musik Reenactor mencoba me-reka ulang musik musik karya Ismail Mardjuki dengan harapan memperkenalkan metode pembelajaran sejarah dengan cara yang unik. Pakaian yang digunakan Korps Musik Reenactor juga memberikan nuansa perjuangan. inilah korelasi Musik, Sejarah dan Reenactor.

Penasaran dengan bagaimana Reenactor bermusik? Sampai Jumpa di review selanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun