Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Sejarawan - Pegiat Sejarah, Sastra, Budaya dan Literasi

Ayo Nulis untuk Abadikan Kisah, Berbagi Inspirasi dan Menembus Batas

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Review Kegiatan Sambang Museum ke Museum, Kolaboraksi Melalui Musik

14 Januari 2019   11:32 Diperbarui: 14 Januari 2019   11:46 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri-korps Musik Reenactor

Pergaulannya pun sangat luas. Tidak hanya dengan sesama orang Betawi atau orang pribumi saja, Ismail Marzuki punya banyak teman dan kolega dari kalangan bangsa Belanda juga kaum peranakan Cina maupun Arab yang tinggal di Hindia (Indonesia) kala itu.

Meskipun begitu, bukan berarti Ismail Marzuki rela negerinya dijajah. Hanya saja, situasi saat itu memang belum memungkinkan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan karena pemerintahan kolonial Hindia Belanda masih sangat kuat berkuasa.

Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, ia turut bergabung dengan rekan-rekan pejuang meskipun bukan berasal dari kalangan militer. Ia memilih berjuang sesuai dengan kapasitasnya sebagai seniman, yakni menciptakan lagu bertema perjuangan dan mengabdikan diri untuk RRI yang dibentuk tak lama setelah Indonesia merdeka. Sayang, umur Ismail Marzuki tidak terlalu panjang,  ia wafat pada usia 44 tahun karena penyakit yang menyerang paru-parunya.  

Ismail Marzuki merumuskan lirik "Sepasang Mata Bola" dalam suatu perjalanan pada 1946. Hal tersebut diungkapkan oleh Yusuf Ronodipuro yang bersama Ismail menumpang kereta dari Jakarta menuju ibukota RI kala itu, Yogyakarta (Alwi Shahab, Ismail Marzuki: Santri yang Melegenda Lewat Lagu Perjuangan, dalam Republika, 2016)

Nantinya, Yogyakarta menjadi ajang perang pejuang republik melawan Belanda, menjadi lokasi pertempuran heroik yang melegenda dengan nama Serangan Umum 1 Maret 1949. Coba simak sebait lirik "Sepasang Mata Bola" berikut ini:

Sepasang mata bola
Dari balik jendela
Datang dari Jakarta
Menuju medan perwira

Memang demikian adanya. Ismail Marzuki datang dari Jakarta menuju kota yang ternyata benar-benar menjadi medan perwira. 

Meskipun dikenal sebagai seniman atau musisi, Ismail nyatanya nyaris selalu ada manakala terjadi pertempuran. Misalnya di Jakarta pada awal September 1945 saat NICA (Belanda) datang, juga ketika meletusnya peristiwa Bandung Lautan Api di medio Maret 1946.

Sikap perlawanan juga pernah ia tunjukkan sewaktu Belanda mengambil-alih Radio Republik Indonesia (RRI) di Jakarta dan menggantinya dengan nama Radio Omroep In Overgangstijd (ROIO) pada akhir 1946. Ismail Marzuki yang memang kerap mengisi siaran musik di RRI dirayu agar mau bekerja di ROIO. 

Belanda menawarkan gaji besar, mobil, dan berbagai fasilitas lainnya. Namun, semuanya itu ia tolak dengan tegas (Ahmad Naroth, Bang Ma'ing Anak Betawi, 1982). Daripada bekerjasama, terlebih lagi bekerja untuk kepentingan Belanda, Ismail memilih hengkang dari RRI yang telah berubah wujud menjadi ROIO itu. 

Begitulah cara yang ia lakukan untuk menjaga harga diri dan martabat negeri. Ismail Marzuki kembali mengabdi untuk RRI setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada pemerintah RI pada penghujung tahun 1949.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun