Rindu kami padamu ya Rasul, rindu tiada bertepi. Betapa jarak darimu ya Rasul, serasa engkau di sini. Cinta ikhlasmu pada manusia, bagai cahaya suwarga. Dapatkah kami membalas cintamu, secara bersahaja.
Lamat-lamat, nada itu menggelitik indera pendengaranku. Syahdu, menyejukkan dan menggetarkan kalbu. Pertanyaan pun muncul. Sudahkah aku mencintai Nabi shalallahu alaihi wa.sallam? Kalau aku mengaku mencintai beliau, apa buktinya? Ketika mendengar nama beliau disebut, sering aku lalai bersalawat. Julukan sebagai orang pelit, otomatis kusandang.
Salawat, ya, baru ucapan salawat saja, aku sering abai. Hal yang bisa diucapkan kapan saja, tanpa mengeluarkan banyak tenaga dan tanpa biaya. Apatah lagi hal lain yang lebih berat. Ampuni ya Robb, hamba yang dhoif ini.
***
Anganku melayang, ingat dengan kisah salah satu sahabat. Beliau merupakan sahabat utama, yang menjadi khalifah pertama sekaligus mertua Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Tak salah, Â beliau adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu anhu.
Kisahnya sungguh menimbulkan decak kagum. Kelembutan hatinya, sungguh menentramkan siapa saja yang mengenalnya. Kecintaan dan dukungannya pada Rasulullah tak mungkin diragukan lagi.
Saat orang-orang kafir Quraisy mentertawakan Rasulullah yang mengisahkan tentang Isra' Mi'raj, tanpa bertanya tanpa ragu, Abu Bakar membenarkan kisah tersebut. Bungkamlah mulut-mulut yang mendustakan dan mentertawakan.
Apa lagikah bukti cinta Ash-Siddiq kepada Rasulullah?
Meleleh air mataku, saat membaca kisah perjalanan hijrah Rasulullah yang didampingi oleh sahabat tercinta. Saat sampai di Gua Tsur. Apa yang dilakukan Abu Bakar?
"Demi Allah, jangan engkau masuk ya Rasulullah. Biarkan aku masuk dahulu. Jika ada sesuatu di gua ini, biarlah aku yang mengalaminya."
Abu Bakar lantas memasuki gua dan membersihkannya. Beberapa lubang yang ada disumbat dengan sobekan pakaian Abu Bakar. Dua lubang yang lain ditutup dengan kedua kaki beliau. Setelah dirasa aman, ayah Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha itu mempersilakan Rasulullah memasuki gua.
Ibnu Abu Quhafah mempersilakan Nabi Muhammad tidur dengan kepala di pangkuannya. Tak ingin Rasul tercinta terganggu tidur lelapnya, Abu Bakar tidak bergerak sedikit pun, sementara kaki beliau disengat hewan yang menghuni dua lubang tersebut.