"Hai Yo. Kenapa tiba-tiba dateng? Nggak ngabarin pula."
"Hehe nggak Nad, iseng aja. Abis dari kantor nggak tahu mau ngapain, gue kesini aja."
"Lah, lo pikir rumah gue pengungsian orang-orang iseng apa?."
Rio mengernyitkan dahinya. Dia menatap Nadia kebingungan. "Lo lagi ada masalah ya? Cerita aja udah."
"Ih apaan sih." jawab Nadia setelah menyenderkan badannya lemah ke sofa.
"Tuh kan, jujur aja deh. Itu tangan lo kenapa banyak tinta pulpen?."
Nadia mengecek telapak tangannya. Dan benar apa yang dikatakan Rio, telapak tangan Nadia nyaris penuh dengan tinta pulpen.
"Iya iya. Gue lagi stres banget nih. Desain gaun pesenan belom jadi. Stres banget gue."
Rio menggeser pelan gelas berisi teh di atas meja dan berkata, "Nih, minum dulu."
Nadia menoleh bingung. "Buat gue?." tanya Nadia yang dijawab Rio dengan anggukan. Nadia meminum segelas teh tersebut. Pikirannya kini tak sekacau tadi. Nadia mulai bercerita pada Rio, sesekali diselingi canda tawa.
Rio, sahabat kecil Nadia tahu sekali bagaimana cara membuat Nadia tersenyum. Mereka bersahabat sejak berusia tujuh tahun. Awal pertemuan mereka berawal ketika hujan mengguyur kota Jakarta sore itu. Nadia duduk di tanah basah sambil menangis. Tiba-tiba Rio datang dengan membawa payung.