Jaman berubah cepat saat era pendirian bank swasta seperti jamur yang tumbuh di saat musim penghujan dimana saat itu Indonesia mengalami boom ekonomi dan setiap pengusaha baik perusahaan dan perorangan asal cukup punya modal tidak besar bisa mendirikan bank. Era itu pengawasan bank oleh Bank Indonesia kepada bank swasta walaupun peraturannya ketat tapi dalam eksekusinya longgar. Hal yang wajar sepertinya karena sebagai calon macan Asia, Indonesia dianggap sangat kuat fundamental ekonominya. Dollar AS saat itu masih dibawah Rp.5.000 dan China saat itu masih belum lama membuka ekonomi bebasnya.
Saat itu boleh dibilang tidak ada orang bahkan ahli ekonomi yang memprediksi Indonesia masuk jurang kegelapan dalam resesi ekonomi pada tahun 1998 yang membuat Rupiah terjerembab ke Rp.17 ribu per dollar AS. Semua lancar dan pemerintah yakin pondasi ekonomi Indonesia kuat yang akhirnya itu cuma lips service saja dan akhirnya pemerintah orde baru setelah berkuasa 32 tahun pun digulingkan.
Tapi apa sebenarnya pokok inti dari tragedi keuangan Indonesia dimana Indonesia harus berurusan dengan IMF (International Monetary Fund) , apalagi kalau salah satunya problemnya adalah pinjaman swasta Indonesia dalam bentuk Dollar AS yang sangat besar dengan durasi pembayaran hutang jangka pendek, ternyata digelontorkan untuk proyek jangka panjang di Indonesia, yang akhirnya membuat pembayaran hutang ke luar negeri menjadi tersendat karena nilai dollarnya melonjak dan karena hal ini banyak perusahaan yang bangkrut.
Hal lain adalah kepercayaan kepada pemerintahan Orde Baru telah membawa petaka dan kurang akal sehat sehingga ini membuat aturan CAR (Capital Adequacy Ratio) atau rasio kecukupan modal yang tadinya telah digariskan Bank Indonesia (BI) sekian persen pada bank swasta nasional, banyak dilanggar. Dan banyak pula praktek tidak lazim terjadi ketika sebuah grup bisnis mendirikan bank dan menarik dana dari pihak ketiga, dan disalurkan “hanya” atau sebagian besar ke anak perusahaan dari grup bisnis tersebut. BI sendiripun pasti punya andil dalam krisis ini karena pengawasannya yang kurang ketat akibat terlena dari ekonomi Indonesia yang sedang boom saat itu.
Itu hanyalah sekilas tentang cerita sejumlah bank swasta nasional yang didirikan pada tahun 1990an dan akhirnya kolaps tidak lama setelah krisis moneter tahun 1998. Cerita tentang likuidasi bank, pesangon buat karyawan, pembayaran tabungan nasabah lewat jaminan pemerintah dan lain-lain sudah jadi berita biasa pada era tersebut. Namun itu hanya cerita kenangan sedih para karyawan bank saat itu yang terpaksa harus berpisah dengan karyawan lainnya karena bank tempat mereka mencari nafkah akhirnya dihentikan operasinya oleh pemerintah alias dilikuidasi.
Namun hal tersebut bukanlah halangan bagi sejumlah teman untuk menghidupkan lagi pertemanan yang sudah sangat lama itu untuk terjalin lagi. Hal ini karena tidak semua karyawan bank saat itu akhirnya bertahan di bidang keuangan ini. Ada yang pindah dan bekerja ke bidang-bidang lain dan tidak semuanya hingga sekarang menjadi bankers. Dan inilah inti dari persahabatan dan pertemanan yang hangat yang masih ada di kalangan teman-teman karyawan bank.
Silaturahmi itu membuat panjang umur dan memberikan kesempatan untuk mendapatkan rejeki, dan itu benar adanya. Semoga pengalaman pahit di masa lalu menjadi titik tolak untuk melangkah ke tempat yang lebih baik dengan tetap menjalin silaturahmi.
Selamat reuni teman-teman Bank Asiatic yang berkantor saat itu di Jalan Taman Kebon Sirih-Tanah Abang-Jakarta Pusat. Reuni tak mengenal likuidasi yang ada silaturahmi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI