Jumlah sekolah swasta di jenjang pendidikan SMA/SMK sekarang lebih banyak didirikan daripada sekolah negeri di sejumlah daerah. Pendiriannya tidak terkendali dan kualitasnya pun dipertanyakan. Ini akibat sejak otonomi daerah diberlakukan.Â
Jumlah total SMA di Indonesia, 55 persen sekolah swasta sementara untuk SMK, 70 persen adalah sekolah swasta. Seperti dikutip Kompas Cetak, Sabtu, 26 September 2015, banyak sekolah swasta yang perkelasnya jumlahnya dibawah standar maksimal yaitu 36 murid per kelas. Menurut Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hamid Muhammad, banyak sekolah swasta yang berdiri dan mutunya di luar standar pelayanan umum dan tidak bisa ditutup karena sudah telanjur memiliki murid. Jadi cara terbaik untuk memilih sekolah adalah sebelum berdiri. Wah orang tua musti hati-hati karena kalau keburu menyerahkan uang pendaftaran, uang gedung, administrasi dan lainnya akan kecewa.Â
Efek otonomi daerah banyak sekolah menengah swasta tidak sesuai standar yang digariskan pemerintah pusat, banyak tahapan yang dilewati, dan izinnya diberikan secara asal-asalan..waduh. Seperti buah simalakama ketika pemerintah pusat minta sekolah swasta menyamakan standarnya dengan sekolah negeri, banyak sekolah swasta terancam ditutup sehingga banyak yang protes.Â
Pendirian sekolah menengah memang pesat pertumbuhannya sebagai antisipasi dari permintaan masyarakat dimana terdapat penambahan murid sebanyak hampir 440 ribu orang (5,26 persen) pada tahun ajaran 2015/2016 yaitu sekitar 8.770.000 murid dari sebelumnya 8.330.000 murid. Dan faktanya masih ada sekitar 14 ribu lulusan SMP yang tidak tertampung. Penambahan ini membuat banyak sekolah menengah kaget karena tiap kelas bisa diisi oleh 44 orang! Walah...
Fakta menarik lainnya disamping ribuan orang tidak tertampung di sekolah menengah adalah menurunnya kelanjutan sekolah lulusan SMP ke sekolah menengah dibandingkan lulusan SD yang masuk ke SMP. Sebanyak 95,3 persen lulusan SD ke SMP, sementara hanya 92 persen lulusan SMP ke SMA/SMK (sumber dari Totok Amin Soefijanto, Konsultan Pendidikan Analytical and Capacity Development/ACDP Indonesia).Â
Banyak yang akhirnya putus sekolah karena membantu ekonomi keluarganya, walaupun pada akhirnya mereka mungkin akan sekolah informal, namun sepertinya banyak dari mereka sulit bersekolah lagi karena sudah beda situasi dan kondisinya.
Halo wajib belajar 12 tahun....sepertinya masih perlu dikampanyekan tentang pentingnya pendidikan untuk masa depan. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI