Mohon tunggu...
I Nyoman Cahyadi Wijaya
I Nyoman Cahyadi Wijaya Mohon Tunggu... Dosen, Praktisi Pariwisata & Street Writer

cogito ergo sum - sum ergo cogito

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Otonomi Khusus atau Daerah Istimewa untuk Bali? Menilik dari Perspektif Threefolding

30 Januari 2025   09:50 Diperbarui: 30 Januari 2025   09:50 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Bali dikenal sebagai pusat pariwisata Indonesia dengan keunikan budaya yang kuat. Namun, di tengah dinamika ekonomi, politik, dan budaya, muncul wacana agar Bali mendapatkan status Otonomi Khusus (Otsus) atau Daerah Istimewa (DI). Apakah status ini relevan dan menguntungkan bagi Bali?

Untuk memahami ini, kita dapat menggunakan pendekatan Threefolding dari Rudolf Steiner dan Nicanor Perlas, yang membagi sistem sosial menjadi tiga pilar: politik (pemerintah), ekonomi (sektor swasta), dan budaya (masyarakat sipil).

Perspektif Politik: Kewenangan dan Risiko Otonomi

Dalam konsep Threefolding, politik mencerminkan peran negara dalam menjaga keadilan dan hukum. Jika Bali mendapatkan Otsus, maka akan ada kewenangan lebih besar dalam pengelolaan regulasi pariwisata, pajak daerah, dan perlindungan budaya. Namun, Otsus juga bisa menjadi isu sensitif, mengingat pengalaman Papua yang mendapat status ini setelah berbagai konflik sosial.

Sementara itu, status Daerah Istimewa (DI) lebih berbasis pada sejarah dan budaya, seperti yang dimiliki Yogyakarta dan Aceh, secara praktis diterapkan di DIY berdasarkan UU No. 13 Tahun 2012 Sultan otomatis menjadi Gubernur, sistem pemerintahan berlandaskan tradisi kerajaan. Sementara di Aceh UU No. 11 Tahun 2006 Memiliki hukum Syariah dan bendera daerah, tetapi juga memiliki unsur Otsus. Papua dan Papua Barat (UU No. 21 Tahun 2001 direvisi jadi UU No. 2 Tahun 2021) Dana Otsus besar, tapi tetap dalam sistem NKRI. 

Jika Bali mendapat status DI, maka kemungkinan besar akan ada penguatan peran Majelis Desa Adat (MDA) yang berdiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 2017 tentang Penataan Desa. 

Perspektif Ekonomi: Peluang dan Tantangan untuk Sektor Swasta

Sektor ekonomi dalam Threefolding mencerminkan bagaimana kebijakan daerah berdampak pada bisnis dan investasi. Jika Bali memiliki Otsus, ada kemungkinan bisa menetapkan pajak khusus untuk turis asing, seperti pajak keberlanjutan yang lebih tinggi. Ini bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) namun berisiko membuat investor lebih selektif.

Di sisi lain, jika Bali menjadi Daerah Istimewa, pengelolaan ekonomi masih mengikuti aturan nasional, tetapi dengan fokus kuat pada keberlanjutan dan perlindungan ekonomi berbasis komunitas. Tantangannya adalah memastikan regulasi ini tetap menarik bagi dunia usaha.

Kepentingan ekonomi dalam ranah Daerah Istimewa tetap mendapatkan Dana Alokasi Umum (DAU) seperti daerah lain tanpa alokasi khusus tambahan. Sedangkan Otonomi Khusus mendapatkan Dana Otsus, yang biasanya lebih besar dibandingkan dana transfer daerah biasa, seperti Papua yang mendapat dana 2,25% dari DAU nasional.

Perspektif Budaya: Partisipasi Masyarakat dalam Tata Kelola

Pilar terakhir dalam Threefolding adalah budaya dan masyarakat sipil. Jika Bali memiliki status khusus, peran desa adat dan komunitas lokal bisa lebih kuat dalam mengelola pariwisata. Ini bisa menjadi cara untuk menghindari eksploitasi budaya demi kepentingan komersial semata.

Namun, ada tantangan dalam menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas. Apakah masyarakat Bali siap dengan perubahan regulasi yang lebih berbasis adat? Apakah akan ada resistensi dari masyarakat non-Bali yang tinggal di pulau ini?

Bagaimana Pariwisata Akan Dikelola Jika Bali Berstatus Otonomi Khusus atau Daerah Istimewa?

Sebagai destinasi unggulan dunia, pariwisata merupakan sektor utama yang akan terdampak jika Bali memiliki status Otsus atau DI. Dalam pendekatan Threefolding, pariwisata mencakup tiga aspek: regulasi pemerintah, keterlibatan sektor swasta, dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan budaya.

Berikut adalah kemungkinan skenario pengelolaan pariwisata berdasarkan masing-masing status:

1. Jika Bali Memiliki Otonomi Khusus (Otsus)

Dengan Otsus, Bali akan mendapatkan kewenangan lebih luas untuk mengatur kebijakan pariwisatanya sendiri. Beberapa perubahan yang mungkin terjadi:

  • Regulasi & Tata Kelola: Bali bisa menerapkan pajak khusus bagi wisatawan asing atau sistem kuota wisata untuk mengontrol dampak overtourism.
  • Investasi & Bisnis Pariwisata: Regulasi investasi dapat lebih fleksibel, seperti batas kepemilikan properti oleh investor asing atau insentif bagi bisnis berbasis ekowisata.
  • Keberlanjutan & Daya Dukung Lingkungan: Otsus dapat memberikan wewenang untuk membuat kebijakan ketat terkait daya dukung lingkungan, sampah pariwisata, dan carrying capacity destinasi.

Tantangan:

  • Otsus bisa menimbulkan kecemburuan dengan daerah lain, terutama dalam penerimaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Pariwisata dari pusat.
  • Dibutuhkan keselarasan antara kebijakan lokal dan nasional, agar Otsus tidak membuat regulasi yang terlalu berbeda dari kebijakan nasional.

2. Jika Bali Berstatus Daerah Istimewa (DI)

Sebagai Daerah Istimewa, Bali akan mendapatkan pengakuan khusus atas kearifan lokal dan budaya dalam pengelolaan pariwisata. Beberapa skenario yang mungkin terjadi:

  • Peran Desa Adat & Krama Bali: Desa adat bisa memiliki peran lebih kuat dalam mengatur tata kelola homestay, aktivitas wisata berbasis budaya, dan ritual yang melibatkan wisatawan.
  • Penerapan Hukum Adat dalam Pariwisata: Bali dapat mengatur zonasi wisata berbasis adat, misalnya area suci yang lebih ketat aturannya bagi wisatawan.
  • Model Pariwisata Berbasis Komunitas (CBT): Status DI bisa memperkuat konsep pariwisata berbasis komunitas (Community-Based Tourism), di mana pendapatan lebih banyak masuk ke masyarakat lokal dibanding investor besar.

Tantangan:

  • DI mungkin tidak memiliki keleluasaan fiskal sebesar Otsus, sehingga dana pengembangan pariwisata tetap bergantung pada pemerintah pusat.
  • Implementasi kebijakan harus memastikan harmoni antara wisatawan, bisnis pariwisata, dan masyarakat adat, agar tidak menimbulkan konflik kepentingan.

Pendekatan Threefolding menunjukkan bahwa keputusan mengenai Otonomi Khusus (Otsus) atau Daerah Istimewa (DI) bagi Bali harus dilihat dari tiga aspek: politik, ekonomi, dan budaya. Jika keleluasaan fiskal dan regulasi menjadi prioritas, maka Otsus lebih menguntungkan, terutama dalam pengelolaan pariwisata berbasis daya dukung lingkungan. Sebaliknya, jika yang ditekankan adalah penguatan identitas budaya dan peran adat dalam tata kelola, maka Daerah Istimewa lebih relevan.

Pada akhirnya, pilihan status khusus bagi Bali harus mempertimbangkan keseimbangan antara keberlanjutan pariwisata, kesejahteraan masyarakat lokal, dan daya tarik destinasi bagi wisatawan internasional.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun