Pilar terakhir dalam Threefolding adalah budaya dan masyarakat sipil. Jika Bali memiliki status khusus, peran desa adat dan komunitas lokal bisa lebih kuat dalam mengelola pariwisata. Ini bisa menjadi cara untuk menghindari eksploitasi budaya demi kepentingan komersial semata.
Namun, ada tantangan dalam menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas. Apakah masyarakat Bali siap dengan perubahan regulasi yang lebih berbasis adat? Apakah akan ada resistensi dari masyarakat non-Bali yang tinggal di pulau ini?
Bagaimana Pariwisata Akan Dikelola Jika Bali Berstatus Otonomi Khusus atau Daerah Istimewa?
Sebagai destinasi unggulan dunia, pariwisata merupakan sektor utama yang akan terdampak jika Bali memiliki status Otsus atau DI. Dalam pendekatan Threefolding, pariwisata mencakup tiga aspek: regulasi pemerintah, keterlibatan sektor swasta, dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan budaya.
Berikut adalah kemungkinan skenario pengelolaan pariwisata berdasarkan masing-masing status:
1. Jika Bali Memiliki Otonomi Khusus (Otsus)
Dengan Otsus, Bali akan mendapatkan kewenangan lebih luas untuk mengatur kebijakan pariwisatanya sendiri. Beberapa perubahan yang mungkin terjadi:
- Regulasi & Tata Kelola: Bali bisa menerapkan pajak khusus bagi wisatawan asing atau sistem kuota wisata untuk mengontrol dampak overtourism.
- Investasi & Bisnis Pariwisata: Regulasi investasi dapat lebih fleksibel, seperti batas kepemilikan properti oleh investor asing atau insentif bagi bisnis berbasis ekowisata.
- Keberlanjutan & Daya Dukung Lingkungan: Otsus dapat memberikan wewenang untuk membuat kebijakan ketat terkait daya dukung lingkungan, sampah pariwisata, dan carrying capacity destinasi.
Tantangan:
- Otsus bisa menimbulkan kecemburuan dengan daerah lain, terutama dalam penerimaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Pariwisata dari pusat.
- Dibutuhkan keselarasan antara kebijakan lokal dan nasional, agar Otsus tidak membuat regulasi yang terlalu berbeda dari kebijakan nasional.
2. Jika Bali Berstatus Daerah Istimewa (DI)
Sebagai Daerah Istimewa, Bali akan mendapatkan pengakuan khusus atas kearifan lokal dan budaya dalam pengelolaan pariwisata. Beberapa skenario yang mungkin terjadi:
- Peran Desa Adat & Krama Bali: Desa adat bisa memiliki peran lebih kuat dalam mengatur tata kelola homestay, aktivitas wisata berbasis budaya, dan ritual yang melibatkan wisatawan.
- Penerapan Hukum Adat dalam Pariwisata: Bali dapat mengatur zonasi wisata berbasis adat, misalnya area suci yang lebih ketat aturannya bagi wisatawan.
- Model Pariwisata Berbasis Komunitas (CBT): Status DI bisa memperkuat konsep pariwisata berbasis komunitas (Community-Based Tourism), di mana pendapatan lebih banyak masuk ke masyarakat lokal dibanding investor besar.
Tantangan:
- DI mungkin tidak memiliki keleluasaan fiskal sebesar Otsus, sehingga dana pengembangan pariwisata tetap bergantung pada pemerintah pusat.
- Implementasi kebijakan harus memastikan harmoni antara wisatawan, bisnis pariwisata, dan masyarakat adat, agar tidak menimbulkan konflik kepentingan.