Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indahnya Imlek di Bali: Sebuah Sinkritisme Budaya

1 Februari 2022   19:50 Diperbarui: 1 Februari 2022   20:45 1407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di rumah saya, keluarga biasanya menyebut Imlek itu, sebagai galungan China, begitu juga dengan Idul Fitri . disebut galungan selam, galungan kristen untuk natal. Istilah itu melekat turun temurun hingga kini.

Kondisi seperti  ini terus terjaga,  adalah bentuk toleransi yang sangat membanggakan, karena semuanya dianggap sebagai bentuk 'menyame braya, kita semua  bersaudara. 

Konsep itu  sesuia ajaran Hindu yang tumbuh di bali , yakni  Vasudhaiva Kutumbakam (Sansekerta dari "vasudha"= bumi; "iva"= adalah ; dan "kutumbakam", keluarga), selanjutnya secara bebas berarti. 

Seluruh dunia adalah satu keluarga tunggal. Secara  arfiah bermakna universal, bahwa   seluruh dunia benar-benar hanya satu keluarga. Dunia ini seperti keluarga inti yang kecil dan erat.

Pada  perayaan Imlek, di kampung saya  dipercaya, bila peryaannya murni dan tulus maka akan  ada ciri-ciri khusus  pada alam lingkungan   yakni adanya hujan dan angin linus (putting beliung yang kecil dan tidak berbahaya), artinya dalam pandangan di keluarga kami ada yang berkata "Dewanya saudara kita orang China itu sudah datang, dan ayah atau ibu saya berseru, para dewa  sudah datang dan mereka saudara orang China kita itu, pasti sangat bahagia,  apa yang dihaturkan sudah diterima. keluarga kami pun merasakan demikian. 

Kalau pas hari Imlek ada kejadian seperti tersebut di atas.   Begitulah pandangan tradisional orang Bali di desa saya terhadap perayaan Imlek itu, memang musim hujan dan angin kecang diberengi petir menyambar pada perayaan Imlek Tahun ini 1 Februari 2022.

Di Bali, orang China telah mengalami interaksi  budaya dengan orang bali, tradisi Hindu, yang sangat kental, konsep ini dikenal dengan  beragam konsep  seperti akulturasi, adaptasi , asimilasi , amalgamasi   sinkritisme. Apa perbedaan sesungguhnya makna dari masing-masing  konsepsi  itu?


Akulturasi itu merupakan  prosessocial transformation, psikologis, dan budaya yang bermula dari keseimbangan dua budaya sekaligus beradaptasi dengan budaya yang berlaku di masyarakat. 

Dan menurut, merriam-webster.com/dictionary menyebutkan bahwa akulturasi adalah    modifikasi budaya individu, kelompok, atau orang dengan mengadaptasi atau meminjam ciri-ciri dari budaya lain.

Apa perbedaan antara akulturasi, asimilasi, dan amalgamasi?

Akulturasi adalah salah satu dari beberapa bentuk kontak budaya, dan memiliki beberapa istilah yang terkait erat, termasuk asimilasi dan amalgamasi. Meskipun ketiga kata ini merujuk pada perubahan karena kontak antara budaya yang berbeda, ada perbedaan mencolok di antara mereka. 

Akulturasi sering dikaitkan dengan penaklukan atau ekspansi politik, dan diterapkan pada proses perubahan kepercayaan atau praktik tradisional yang terjadi ketika sistem budaya satu kelompok menggantikan sistem budaya yang lain. 

Asimilasi mengacu pada proses di mana individu dan kelompok dari warisan yang berbeda memperoleh kebiasaan dasar, sikap, dan cara hidup dari budaya merangkul. 

Amalgamasi mengacu pada pencampuran budaya, bukan satu kelompok menghilangkan yang lain (akulturasi) atau satu kelompok mencampurkan dirinya ke yang lain (asimilasi).

Darilaman Wikipedia,  sinkritisme itu . adalah suatu proses perpaduan yang sangat beragam dari beberapa pemahaman kepercayaan atau aliran-aliran agama.  

Pada sinkretisme terjadi proses pencampuradukkan berbagai unsur aliran atau paham, sehingga hasil yang didapat dalam bentuk abstrak yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan. Istilah ini bisa mengacu kepada upaya untuk bergabung dan melakukan sebuah analogi atas beberapa ciri-ciri tradisi, terutama dalam teologi dan mitologi agama, dan dengan demikian menegaskan sebuah kesatuan pendekatan yang melandasi memungkinkan untuk berlaku inklusif pada agama lain.

Sinkretisme juga terjadi umumnya di sastra, musik, memperwakilkan seni dan lain ekspresi budaya. Selain itu juga terjadi pada arsitektur, sinkretik politik, dalam dalam dimensi poltik tentu memiliki nama yang berbeda.

Genostisime, merupakan sinkritisme Gerakan  yang mencampurkan antara filsafat Yunani, agama Yahudi dan agama Kristen di Eropa dan Amerika Utara. Ada juga aliran Buddha Mahayana yang merupakan pencampuran antara ajaran agama Hindu  dengan Budha,  .

Orang Yunani kuno terutama menggunakan istilah synkrtismos untuk menggambarkan bergabungnya orang-orang Yunani dalam menentang musuh bersama. 

Pada awal abad ke-17, penutur bahasa Inggris mengadopsi istilah sinkretisme dalam bentuk bahasa Inggris untuk merujuk pada penyatuan keyakinan agama yang berbeda. 

Tiga abad kemudian, para leksikografer dari Webster's New International Dictionary of the English Language edisi 1909 menambahkan definisi baru tentang sinkretisme ("penyatuan atau peleburan menjadi satu atau dua atau lebih bentuk infleksi yang awalnya berbeda, pada dua kasus"), tetapi ini pengertian khusus jarang ditemui di luar bidang linguistik. Beberapa istilah terkait yang mungkin Anda temui adalah sinkretisasi ("berusaha menyatukan dan menyelaraskan"), sinkretis ("orang yang menganjurkan sinkretisme"), dan sinkretis dan sinkretistik ("dicirikan atau dibawa oleh sinkretisme").

Sinkritisme Imleks dan Bali

Di Bali sinkritisme itu, terlihat dari bentuk bangunan tempat ibadah orang Thiongoa yang ada di pedalaman Pulau Bali seperti di Kintamani,  dan para umat  datang  ke kongco membawa banten seperti yang biasa kita lihat  di pura-pura Hindu di Bali.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa  Orang Bali menganggap orang Cina sebagai kakak tertua dan memasukkan unsur-unsur budaya Cina dalam kesenian dan ritual adat. 

Selain itu, adanya Tarian  Baris China, Barong Landung, sampai  Gong Beri, adalah contoh-contoh pengaruh budaya China dalam seni tari Bali. Kondidi ini, justru  memperlihatkan keunikan tersendiri,

Kita bisa melihat adanya ornament di Bali yang dikenal patra china, Patra hina biasa digunakan oleh masyarakat Bali sebagai ornamen pada bangunan tradisional Bali, salah satunya di Pura. 

Patra China,  yang ada di bali bercorak bunga kembang sepatu. Dugaan ini adalah bahwa  bunga kembang sepatu  menurut  Brink Jr.(1963) , berasal dari China, hal ini diperkuat karena  sebutan tanaman ini sebagai "China Rose Flower" yang berasal dari asia timur.

Ornamen yang dikenal dengan sebutan Patra China, itu  merupakan symbol   dari pola rasionalitas masyarakat Bali tercermin dari bentuk arsitekturnya, terutama pada bangunan yang ada di pura. Pola tersebut tercermin dari pembagian bangunan kedalam tiga bagian, yaitu bagian bawah yang tidak sakral (nista/ tepas), bagian tengah (madya/batur), dan bagian atas (utama/sari) yang merupakan bagian tersakral. 

Pada bangunan di pura, ornamen patra china dapat ditempelkan pada bagian bawah, tengah, atau atas bangunan. Patra ini hanya bersifat dekoratif dan digunakan sebagai salah satu simbol makhluk hidup (tumbuhan/flora) ciptaan Sang Hyang Widhi Washa.

Sejarah budaya China telah ada  kisah cerita yang menarik yaitu,  perkawinan Raja Bali Sri Raja Jayapangus dengan puteri Cina bernama Kang Cing Wei pada abad ke-12 atau pasangan beda budaya yang kemudian berakhir pada keberadaan Pura Balingkang di Kintamani. 

Sebuah pura yang indah di Kawasan Gunung Batur yang sangat memukau. Dan terletak Pura Dalem Balingkang terletak di Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kab. Bangli - Bali. Desa Pinggan sendiri cukup memiliki nilai eksotik  sebagai obyek wisata dengan melihat matahari terbit yang sangat indah dari lokasi pura ini.

Di sini juga terdapat sebuah pemujaan dalam bentuk  koin China (uang kepeng), dan ukurannya sangat besar, yang terletak  di  sudut Timur Laut sebagai linggih atau stana Ratu Ayu Mas Subandar,

Ratu mas Subandar, yang diyakini  semasa hidupnya adalah permasisuri raja yang berasal dari negeri Cina dan bernama Kang Cing We, pelinggih tersebut berkaitan untuk memohon keberuntungan. 

Dalam kontek nama yaitu Pura Dalem Balingkang, Dalem berasal dari nama Keraton yaitu Kuta Dalem, sedangkan Balingkang berasal dari kata Bali dan Ing Kang dihubungkan dengan pernikahan raja Jaya Pangus dengan Puteri Cina bernama Kang Cing Wie, digabungkan menjadi Bali-Ing-Kang yang sekarang bernama Balingkang. Raja Jaya Pangus Harkajalancana memerintah pada tahun 1181-1269 Masehi (saka 1103-1191), sosok raja terkenal pada masa Bali Kuno.

Selain itu, sejumlah pura di Bali terdapat juga pemujaan untuk etnis China seperti bentuk pagoda atapun kongco, penggunaan uang kepeng dari Cina (pis bolong) untuk perlengkapan upacara yadnya umat Hindu dan Lingga berupa barong landung pada sejumlah pura, bentuk sinkritisme budaya yang terus terjaga hingga kini.

Dalam susastra kisah yang sangat terkenal juga menarik yaitu Bukan hanya itu, dalam hal penggunaan uang kepeng atau koin Cina yang bagian tengahnya bolong, "sampai sekarang di Bali, di agama Hindu, menjadi alat upacara yang harus ada."

Akulturasi lain bisa terlihat jelas  antara budaya China dengan Hindu di Bali, yaitu   di Desa Candikuning, Tabanan, Bali. Di sini toleransi beragama ditunjukkan di sebuah pura yang bernama Pura Batu Meringgit. 

Keberadaan Pura Batu Meringgit dan Klenteng yang ada di dalamnya menarik perhatian mahasiwa sejarah Undiksha, yaitu  I Putu Sandiasa Adiawan (2015) , hasil kajiannya dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul " Sinkretisme Hindu-Buddha (Konghuchu) di Pura Batu Meringgit, Desa Candikuning, Tabanan, Bali (Studi tentang Sejarah dan Potensinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah).

Dia tertarik mengkajinya lebih jauh karena  dilihat dari segi struktur , tempat suci itu  bukan menunjukkan struktur pura yang umum di Bali, terlebih dilihat dari dimensi multikulturalisme. 

Pura yang menunjukkan harmonisasi etnis Cina dan Hindu Bali ini, secara langsung mau pun tidak langsung memberikan pemahaman yang lebih. Hasil temuannya adalah,  Pura dan Kongco Batu Meringgit merupakan bangunan yang bercorak Hindu-Buddha, di mana bangunan ini menunjukkan adanya semacam sinkritisme budaya Hindu-Buddha.

Histori  keberadaan Pura dan Kongco Batu Meringgit di Desa Pakraman Candikuning  diduga didirikan pada masa perjalanan Ida Rsi Madura pada abad ke 11-12 Masehi. Kongconya sendiri diduga dibangun oleh Jaya Kasunu yang merupakan keturunan dari Jaya Pangus. 

Beliau mendirikan Kongco dengan tujuan untuk menghormati Jaya Pangus yang menikah dengan perempuan Cina, Selain itu beberapa aspek  untuk sumber belajar sejarah , ada beberapa aspek  antara lain, (a) historis, (b)  sinkretisme, (c)  bentuk fisik bangunan, (d)  gotong royong dan kebersamaan, dan (e) religius.

Kesaman dengan Tradisi Hindu di Bali dengan China, mungkin karena secara historis dan budaya, sama-sama serupa, Hindu dan Konghucu  sama-sama agama arwah, jadi menyembah leluhur, sama-sama pakai air suci dan dupa.  Tata cara sembahyangnya itu mirip sekali antara Hindu dan Konghucu,

Kita harus mengakui, selama ini telah terjadi akulturasi  China dan Budaya orang Bali, dari sana saya sepakat dengan  Thung Ju Lan, akulturasi adalah proses yang panjang. "Mulai dari kontak, interaksi, integrasi, baru akulturasi. Tahap akhir baru asimilasi. 

Lalu akulturasi itu tersendat-sendat, karena  integrasi dihalangi dengan politik segregasi masa lalu, atau kini dihembuskan dengan politik aliran yang kian menguat. Namun demikian, kita harus belajar banyak pada 'kearifan lokal' oleh para leluhur kita bahwa mereka hidup sangat damai dan harmoni. Selamat tahun baru China, Gong Xi Fa Cai!****

Referensi

  • Adiawan, I. P. S., & Sendratari, L. P. (2015). Sinkretisme Hindu-Buddha (Konghuchu) di Pura Batu Meringgit, Desa Candikuning, Tabanan, Bali (Studi tentang Sejarah dan Potensinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah). Widya Winayata: Jurnal Pendidikan Sejarah, 3(2).
  • Adnyana, P. E. S. (2020). Karya Prof. Phalgunadi "Sekilas Sejarah Evolusi Agama Hindu": Menelisik dan Memahaminya dalam Bingkai Filsafat Sejarah Hindu. Sanjiwani: Jurnal Filsafat, 11(2), 153-166.
  • Suija, I. W. (2018). Imlek tradition of the Hindu community in Gunungsari Village, Seririt, Buleleng Regency, Bali. In Proceeding Book: International Seminar, Bali Hinduism, Tradition and Interreligious Studies, Hindu University of Indonesia, Denpasar, Bali (pp. 215-220).
  • Hendrawan, F., & Beynon, D. (2019). An Evaluation of the Implementation of Chinese Temple Layout Principles in Bali, Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun