Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Upacara Potong Gigi dalam Bingkai Solusi Quarter Life Crisis

21 Januari 2022   08:33 Diperbarui: 27 Januari 2022   12:13 3706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi budaya Hindu Bali potong gigi (Sumber: I Gede Mariana)

Potong gigi merupakan upacara tradisi yang sangat kental  bagi umat Hindu khususnya di Bali, umumnya di Indonesia. 

Upacara ini  merupakan sebuah fase penanda siklus dalam kehidupan manusia. Potong gigi termasuk dalam kelompok manusia yadnya.

Upacara manusa yadnya (ceremony related to human life) menjadi fondasi umat beragama Hindu untuk menciptakan harmoni. 

Ritual yang dilakukan untuk mendoakan agar selalu dalam perjalanan kehidupanmanusia menemuhi rahayu, rahajeng  dan jagatditha, dilaksanakan oleh semua umat Hindu dengan keyakinan bahwa upacara ini adalah salah satu utang yang harus dibayar untuk penciptaan generasi yang matang dalam menghadapi tantangan kehidupan. 

Lewat beragam ritual itu yang  merupakan rangkain tangga penghubung antara manusia dengan sang maha pencipta. 

Intinya adalah keikhlasan, seperti banyak diajarkan oleh tetua di Bali, "Jembatan paling singkat dan tepat  penyambung manusia   dengan Tuhan, bernama cinta dan keikhlasan".

Dalam dimensi keikhlasan itulah upacara potong gigi  bagi umat Hindu di Bali menjadi titik penting, karena di dalamnya terdapat mutiara keindahan pendidikan karakter.

Manusia yang bersiklus itu wajib menyadari bahwa ada jeda untuk merenungi diri dan waspada, karena sosok manusia itu pada masa remaja menuju dewasa. Di mana titik itu kerap hadir sebuah  sinyal perubahan yang berdimensi jamak, bisa baik, bisa buruk, dan campuran keduanya. Paling tidak di dimensi itu konsepsi yang perlu disadari adalah fase quarter life crisis. 

Dalam aspek itulah saya ingin memaknai dan menempatkan upacara potong gigi, yang merupakan salah satu tradisi di Bali yang sarat makna nilai ajaran Hindu, yang kerap menghadirka pencerahan yang dalam, sehingga pribadi baru bisa lahir untuk menghadapi kehidupan yang penuh gejolak.

Maka setiap pribadi diajarkan tentang inti pencerahan, yakni, tidak marah ketika dimaki, tidak sombong tatkala dipuji, tidak melekat pada kabahagiaan, dan tidak menolak kesedihan.

Dalam kesempatan ini, akan diuraiakan beberapa aspek (1) makna upacara potong gigi dari filosofis agama Hindu, (2) upacara potong gigi menghadapi quarter life crisis, (3) pelaksanaan upacara potong gigi. 

Upacara Potong Gigi di Keluarga Saya

Udara masih dingin, pada pagi buta itu, ada hujan mau trun, rintik-rintik sudah mulai terasa, semua khawatir kalau hari akan hujan. 

Anak-anak usia remaja sudah siap, bersih diri dengan mandi, dan berpakaian putih dan saput kuning. 

Mereka tampak nenawan. Secara beriringan mereka  menuju arah bale dangin dari sisi selatan menghadap ke  arah utara.

Ritual proses potong gigi | Foto: Dokumentasi Pribadi
Ritual proses potong gigi | Foto: Dokumentasi Pribadi

Para wanita setengah baya yang di rumah saya, disebut sararti, tukang banten, sibu menyiapakan banten byakala atau bya kaon, lalu melakukan prosesi ritual dihadapan anak-anak remaja itu.  

Mereka tampak meminta tangan dibersihkan disi lengis asem, serta asaban cendana sebagai tanda prosesi natab byakala dimulai, untuk menjadikan diri mereka bersih siap untuk proses selanjutnya pada acara metatah atau  potong gigi dilakukan.

Setelah itu, mobil  sudah siap di depan rumah untuk mengangkut mereka dalam rangkaian upacara selanjutnya, yaitu ptong gigi di Puri, tempat prosesi potong gigi dilakukan, yaitu sangging, yang  dikenal dengan Puri Satria Kanginan, banyak keluarga melakukan proses pemotongan gigi dilakukan. 

Walaupun beberapa keluarga melakukan di rumah masing-masing, namun banyak juga yang melakukan seperti yang keluarga kami lakukan karena beberapa alasan.

Pertama, harus menyiapkan tempat yang luas, seperti bale dangin, yang agak luas dan lebar, sehingga leluasa dengan tempat tidur yang luas untuk melakukan pemotongan gigi. Jadi kalau model ini, maka ratu sangging, bisa beliau datang ke rumah yang akan potong gigi. 

Kedua, untuk menghindari gangguan yang  konon harus disengker dengan ilmu anti majig. 

Upacara potong gigi bisa memungkinkan 'orang yang memiliki black magic, bisa menebarkan kuatan jahat, sehingga dapat menyebabkan beberapa halangan seperti sakit mendadak, gigi rontok, dan lain-lain. 

Inilah sisi kekhawatiran yang masih melekat, walaupun semua famili sudah membawa gadjed yang paling modern dan sudah canggih, namun anggapa ini masih kuat dianut masyarakat. Entahlah...

Karena memang  itu menggambarkan teknologi dan pemikiran modern belum sempurna memasuki wilayah akal.  

Teori batas akal masih membumi di kesadaran masyarakat. Teori batas akal, teori ini menyatakan bahwa permulaan terjadinya agama dikarenakan manusia mengalami gejala yang tidak dapat diterangkan oleh akalnya. 

Teori batas akal ini beasal dari pendapat seorang ilmuwan besar dari Inggris, James G. Frazer. 

Menurut Frazer,  manusia biasa memecahkan berbagai persoalan hidupnya dengan akal dan system pengetahuannya. Tetapi akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya, dan batas akal itu meluas sejalan dengan meluasnya perkembangan ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, makin maju kebudayaan manusia, maka makin luas batas akal itu.

Oleh karena itu, dapat disebutkan bahwa  semakin luas pengetahuan manusia maka kepercayaan akan hal magis pun ikut berubah. Sehingga multi literasi harus terus dikembangkan agar pemahaman masyarakat meluas dan menjadi lebih modern dan maju.

Upacara Potong Gigi  Menghadapi Quarter Life Crisis

Upacara potong gigi di Bali, dapat juga dikaitkan dengan  teori quarter life crisis, di mana teori itu terkait?

Dalam konteks ini perlu diulas sedikit tentang teori tahap perkembangan psikososial Erikson yang dikembangkan enam puluh tahun yang lalu di lingkungan sosial yang sangat berbeda dengan yang didialami orang dewasa muda sekarang. 

Teori ini  menghadirkan tantangan bagi skema tahap Eriksonian, dengan menyarankan bahwa dewasa awal harus dipisahkan menjadi dua tahap yang berbeda, yang pertama (emerging) yang  berkaitan dengan  ketidakstabilan rentang usia 18-25, dan yang kedua (dewasa awal) adalah fase selanjutnya yang lebih mapan.

Proses Ritual Potong Gigi di Bali (Dokumentasi pribadi)
Proses Ritual Potong Gigi di Bali (Dokumentasi pribadi)

Krisis semacam itu dapat mengambil dua bentuk hadir dalam diri manusia  merasa tidak mampu untuk memasuki peran dewasa) atau bentuk terkunci (merasa terjebak dalam peran dewasa). 

Krisis seperempat kehidupan secara teoritis dapat dipahami sebagai kondisi yang terletak di antara masa dewasa yang muncul dan awal dewasa, dan memiliki peran integral dalam skema neo-Eriksonian.

Kini kondisi itu,kini  dimaknai dengan quarter life crisis, yakni  kondisi seseorang memasuki umur   kehidupannya, rentanganya antara 18- 30 tahun. 

Atau dengan kata lain quarter life crisis atau krisis seperempat abad adalah periode saat usia seperempat usia seseorang  merasa tidak memiliki arah, tidak menentu, tentang perasaan emosi yang campur aduk, merasa terjebak, menginginkan perubahan, karier, penyakit, sekolah, dan keluarga. 

Bahasa mereka cenderung terfokus pada masa depan, khawatir, bingung, dan galau akan ketidakpastian kehidupannya di masa kehidupan pada masa depan. 

Umumnya, kekhawatiran ini meliputi masalah relasi, percintaan, karier, dan kehidupan social. Fase kegamangan kerap hadir pada diri seseorang, kegamangan ini haruslah  disadari.

Menarik untuk memahami usia ini karena orang berada dalam kegamangan  akan identitasnya. Perlu diketahui bahwa  ada  beberapa  tahap krisis yang dapat muncul, yaitu mulai bekerja, tinggal sendiri, memiliki pasangan, lalu merasa terkurung memulai hidup baru dan pekerjaan baru, tak lagi berpasangan, dan merasa kesepian mengisolasi diri, merombak berbagai rencana hidup jangka panjang mencari hobi dan komunitas baru, dan kembali merasa bahagia dan termotivasi.

Dalam kaitan ini, perlu diungkapkan survei yang dilakukan dengan metode wawacara semi tersrtruktur yang dilakukan Gardens & Stapleton pada tahun 2012 mengenai quarter life crisis ditemukan bahwa tantangan besar yang dialami oleh kelompok yang berada dalam fase ini adalah seputar identitas, tekanan dari dalam diri sendiri, perasaan akan ketidakpastian, dan depresi. (Stapleton & Gardens, 2012), kekhawatiran terhadap pekerjaan, hubungan asmara hingga finansial (Fitrianti, 2020). Quarter life crisis ini muncul pada kisaran usia 18-30 tahun.

Upacara potong gigi di Bali dapat diletakan sebagai wahana penyadaran diri ini pada kelompok remaja, sanga anak dihargai dengan dibuatkan event yang membuat dirinya dihargai, dirihas dengan pakaian yang terbaik yang mereka mampu lakukan, dibelikan perhiasan, diminta untuk mengundang teman-teman dekat sesusianya, disediakan makanan yang enak, sesuai dengan kemampuan keluarga itu, didokumentasikan, persis dan sebangun peryayan ulang tahun.

Upacara pototng gigi, dapat mereliasikan ditatran perilaku bagi seseorang yang bertumbuh karakternya pada tahap-tahap yang lebih tertata, yaitu, mengandung tiga aspek utama yaitu: 

  1. Faktualitas,  sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan, karena dihadiri banyak keluarga, didoakan bersama agar sang anak menjadi pribadi kuat dan tangguh dalam menghadapi tantangan kehidupan.
  2. Universalitas, yakni  kemampuan  kesadaran akan kenyataan atau sense of reality, kemampuan  menggabungkan hal yang praktis dan konkrit dengan pandangan mengenai seluruh semesta. 
  3. Aktualitas, yaitu kemampuan yang tumbuh  untuk memperkuat hubungan dengan orang lain agar mencapai tujuan bersama.

Pada akhirnya menghasilkan  perkembangan mengenai persamaan ego, suatu perasaan sadar yang kita kembangkan melalui proses interaksi sosial. 

Perkembangan ego akan selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang didapatkan seseorang sebagai hasil dari interaksinya dengan orang lain.  

Oleh karena upacara pototng gigi sekan menguatkan teri psikologi sosial Erikson, yakni  mempercayai bahwa kemampuan untuk memotivasi sikap dan perbuatan seseorang dapat memicu suatu perkembangan menjadi positif.

Potong Gigi dan Kearifan Lokal 

Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. 

Secara etimologi, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata, yakni kearifan (wisdom) dan lokal (local).

Setelah melakukan prosesi abyakala itu, pun memiliki makna bahwa penggunaan banten byakala atau byakaon itu, bermakna sebagai lambang untuk menghilangkan segala bentuk marabahaya. 

Dalam bentuk banten bayakaon pada intinya terdiri dari warna merah yaitu: sampiyan dibuat dari daun andong merah dan tetebus yang dipakai juga berwarna merah. Warna merah sebagai lambang agni/api, api sebagai lambang bayu, bayu sebagai lambang aktivitas atau perilaku.

Pelaksanaan Upacara Potong gigi 

Di keluarga saya upacara pototng gigi dilakukan sebagai bentuk tugas orang tua pada anak, utang yang harus dilakukan untuk membentuk karakter anak menjelanhg dewasa. Sehingga  anak-anak memiliki rasa tanggung jawab untuk merawatnya pada saat tua. 

Ritual ini sangat  tua, saya pernah bertanya kapan dia potong gigi, dilakukan bersama-sama saat upacara, ngerorasin setelah ngaben. 

Pengorbanan ini adalah salah satu bentuk perngorbanan dengan memotong gigi untuk berjanji dapat melakukan kebaikan atas nama kelaurag. 

Upacara potong gigi, juga dikenal dengan istilah yang berbeda, antara lain metatah, mependes, menggombetin, dan termasuk dalam kelompok panca yadnya, lima korban suci manusia, yakni dewa yadnya, rsi yadnya, manusia yadnya pitra yadnya, dan metatah ini salah satu bentuk yadnya (korban suci tulus ikhlas) pada manusia.

Mepandes (potong gigi), merupakan ritual keagamaan yang harus dilaksanakan oleh semua umat Hindu, khususnya bagi umat Hindu yang telah menginjak masa remaja. 

Dalam ajaran ini terkandung nilai-nilai pendidikan budhi pekerti yang sedang dibutuhkan pada masa remaja sebagai sarana dalam pembentukan kepribadian anak yang merupakan kelanjutan dari pembentukan di masa bayi dalam kandungan, dengan harapan lahirnya anak yang suputra (anak yang baik).

Ritual potong gigi merupakan upacara yadnya, dalam klister manusia yadnya, anak yang menginjak diwasa, diupacarai sembagi simbul, bahwa mereka siap melakoni kehidupan dewasa, namun sebelumnya semua simbol ritual itutitik beratnya adalah mmebersihkan peringatan, dan harus selalu waspada dan eling.

Bahwa manusia akan selalu diliputi oleh enam musuh, kenginan, kemarahan, iri, ketamakan, bingung Kama artinya hawa nafsu atau keinginan yang negatif (keinginan yang tidak terkendali).

Lobha artinya loba, tamak, rakus, (gelah anak, gelah aku).

Krodha artinya kemarahan, kebencian, emosi.

Moha artinya kegusaran atau kebingungan, tidak tahu jalan yang benar,Mada artinya kemabukan, tidak dapat mengontrol diri. 

Matsarya artinya irihati, atau dengki, iri melihat orang berbahagia dan senang melihat orang menderita.

Kapan Upacara Potong gigi dimulai dilakukan di Bali? 

Yadnya potong gigi tertuang dalam manuskrip Eka Prathama, yang menjadi patokan pelaksnaan upacara potong gigi di Bali.  

Awal mula upacara pototng gigi dilakukan di Bali, paling tidak  setelah ditemukan fosil di Gilimanuk, fosil diperkiran 2000 tahun lalu, diketahui gaganya terta rapi, dan tampak rata karena terjadi prose pemotongan. Maka dapat diduga paling tidak upacara potong  gigi telah ada sejak 2000 tahun silam.

Pada aspek lain juga menarik disimak bahwa potong gigi berkeaitan dengan pengorbanan suci bagian-bagian tubuh manusia seperti rambut, tindik, dan tato pada manusia. Kondisi ini berdasarkan argumentasi ahli antarofologi.

Menurut (1847-1891) adalah seorang ahli antropologi Belanda. Salah satu karangannya adalah tentang teori evolusi perkawinan dan keluarga yang berjudul Over de Primitieve Vormen van het Huwelijk an de Oorsprong van het Gezin (1880-1881).  

Yang terkenal, menyebutkan bahwa pada bangsa-bangsa pra sejarah di daerah kepulauan Polinesia, Asia Tengah dan Asia Tenggara terdapat suatu kepercayaan pentingnya memotong bagian-bagian tertentu dari tubuh seperti rambut, gigi, menusuk (melobangi) telinga, tatuage (mencacah kulit) dan sebagai upacara berkorban kepada nenek moyang. Penyiksaan diri dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai korban dalam agama, antara lain adalah tapa dan brata.

Fungsi adat Upacara Potong Gigi 

Upacara adat adalah suatu bentuk kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat secara bersifat rutin, di mana dalam prosesnya tahapan melakukan upacara adat  tersebut memiliki tingkat kepercayaan dan arti yang bagi masyarakat daerah.

Menurut ahli sosiologi dan antropologi di Indonesia ini, mengatakan jika pengertian upacara adat adalah suatu bentuk acara yang dilakukan dengan bersistem dengan dihadiiri secara penuh masyarakat, sehingga dinilai dapat membuat masyarakat merasa adanya kebangkitan dalam diri mereka. 

Pengertian upacara adat adalah asas-asas yang mengakibatkan adanya hubungan timbal-balik yang tampak nyata dalam masyarakat, meskipun ia menambahkan bahwa dalam upacara dat ada istilah "tolak bala" antra manusia Dewa, Tuhan, atau pun mahluk halus lainnya

Ada berbagai fungsi yang terdapat dalam upacara adat diantarnya adanya penciptaan pengendalian sosial, norma sosial, penanaman adanya nilai sosial, dan dipergunakan sebagai media sosial. 

Clifford Geerts, memberikan Batasan tentang  upacara adat adalah sistem sosial yang dilakukan secara individu dan kelompok yang bisa saja berupa simbul yng dilakukan untuk pengintegrasian adanya penerapan etos dan juga pandangan hidup yang ada. 

Menurutnya, arti upacara adat adalah terjadinya bagian upacara yang dilakukan secara bersistem yang akhinya mampu untuk bisa mendorong kehidupan sosial bermasyarakat yang ada dilingkungan sosialnya.

Adapun fungsi upacara adat dalam lingkungan masyarakat, antara lain:

  1. Upacara adat sebagai pengungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa; 
  2. Upacara adat sebagai pengungkapan kegembiraan terhadap hasil yang dicapai, hasil panen atau hasil pembangunan; 
  3. Upacara adat sebagai pengungkapan rasa gembira dalam menerima kunjungan tamu atau orang yang dihormati; 
  4. Upacara adat sebagai pengungkapan rasa kebersamaan dari semua warga masyarakat; dan 
  5. Upacara adat sebagai permohonan perlindungan atau berkat Tuhan Yang Maha Esa. Upacara adat merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang berkaitan dengan berbagai fungsi, sehingga mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan di masyarakat.

Upacara potong gigi mengandung makna yang dalam bagi kehidupan, yaitu: 

  1. Pergantian perilaku untuk menjadi manusia sejati yang dapat mengendalikan diri dari godaan nafsu, 
  2. Memenuhi kewajiban orang tuanya terhadap anaknya untuk menemukan hakekat manusia yang sejati, dan 
  3. Untuk dapat bertemu kembali kelak di surga antara anak dengan orang tuanya setelah samasama meninggal.

Potong Gigi dan Implementasi Ajaran Agama Hindu 

Implementasi ajaran Agama Hindu didominasi dengan ritual keagamaan, perkembangan ritual keagaman dipengaruhi adat istiadat tradisi dan budaya pada setiap pelaksanaannya. 

Aktifitas pelaksanaan ritual keagaman umat Hindu yang ada di Indonesia khususnya di Bali dilandaskan dengan kearifan lokal atau local genius, yang disebut dengan tiga kerangka dasar Agama Hindu, yakni Tattwa, Susila, dan Acara.

Ritual Agama Hindu sebagai bagian akhir dari tri kerangka dasar Agama Hindu dituangkan dalam pelaksanaan Panca Yadnya yaitu: 

1. Dewa Yadnya yaitu korban suci yang dipersembahkan atau dihaturkan sebagai tanda penghormatan kepada para dewa dengan segala manifestasinya, pelaksanaan Dewa Yadnya dilaksanakan dengan berbagai bentuk. 

Dalam kehidupan sehari-hari yadnya dapat dilakukan dengan cara melaksanakan semua aktivitas didasari oleh kesadaran, keikhlasan, penuh tanggung jawab. 

2. Rsi Yadnya yaitu korban suci yang dipersembahkan atau penghormatan kepada para Pandita atau orang suci, pelaksanaan Rsi Yadnya sebagai wujud terima kasih atas segala jasa yang telah diberikan oleh para Rsi dan orang suci pada kita. 

3. Pitra Yadnya yaitu korban suci yang dipersembahkan kepada leluhur atau orang yang sudah meninggal.

4. Manusa Yadnya yaitu korban suci yang dipersembahkan atau diperuntukkan bagi kesejahteraan manusia dan kebahagian hidup manusia. 

5. Bhuta Yadnya yaitu korban suci yang dipersembahkan kepada para bhuta kala agar tercipta kedamaian dan keharmonisan hidup di dunia ini

Upacara potong gigi memeiliki dasar filosofi dari susastra yang ada di Bali, Susastra itu termuat dalam berbagai lontar dan pulau Bali banyak menyimpan karya sastra mengenai ajaran agama Hindu baik yang dari segi filsafat maupun ritual.

Potong gigi pada aspek yadnya dapat dijelaskan bahwa  potong gigi merupakan dalam kelompok yadnya, yakni manusia yadnya. Yajna merupakan korban suci yang dilakukan dengan tulus iklas serta merupakan salah satu kewajiban umat Hindu. 

Dasar hukum dan kewajiban dari melaksanakan yajna adalah rna yaitu hutang manusia yang disebut Tri Rna meliputi: (1) Dewa Rna merupakan hutang kepada dewa sebagai pencipta dan pemelihara hidup, hutang ini di bayar dengan melaksanakan upacara Dewa Yajna dan Butha Yajna, (2) Rsi Rna merupakan hutang kepada Rsi, yang telah memberikan tuntunan tatwa, susila dan upacara, (3) Pitra Rna merupakan hutang kepada pitra (leluhur) yang telah mengadakan dan memelihara manusia di dunia ini.

Salah satu Lontar memuat  tata cara melaksanakan Manusa Yajna  adalah .Teks Lontar Eka Prathama. Pembahasananya tentang ritual manusa yajna mengenai tata upacara mulai bayi baru lahir dalam tingkatan nista, madya atau uttama. Selanjutnya upacara bayi kepus pusar sampai upacara Potong Gigi dan terakhir adalah upacara perkawinan.

Lontar Eka Prathama menjelaskan mengenai banten yang dipergunakan dalam menunjang pelaksanaan kegiatan, sehingga Lontar Eka Prathama merupakan tuntunan umat Hindu khususnya di Bali dalam melaksanakan upacara manusa yajna. Salah satu upacara yang dilaksanakan adalah prosesi upacra metatah yang terdapat dalam teks Lontar Eka Prathama. Dalam teks Lontar tersebut hanya dijelaskan sekilas mengenai pakean yang wajib dikenakan saat melaksanakan upacara potong gigi  serta banten yang dipergunakan dalam melaksanakan upacara metatah. Sehingga menjadi penting untuk mengkaji dari aspek tersebut.

Begitu juga selanjutnya upacara Potong Gigi/ metatah dimana upacara ini bermakna sebagai penyucian bagi anak yang telah akil balik, karena itu banten yang digunakan adalah banten pedudusan dan banten yang lainnya. Terakhir diuraikan adalah tentang upacara perkawinan. Ada semacam peringatan kepada mempelai dilarang keluar rumah dan sampai menginjakkan kakinya ke jalan raya sebelum melaksanakan upacara perkawinan (Suadnyana, 2019). Pelaksanaan upacara potong gigi/ metatah merupakan kewajiban orang tua kepada putra putrinya. Sebagaian besar pelaksanaan upacara metatah bertujuan untuk menghilangkan sadripu yang ada di dalam diri manusia.

Upacara Potong Gigi mengandung arti pembersihan sifat buruk yang ada pada diri manusia. Potong Gigi dalam bahasa Bali Mepandes bisa juga disebutMatatah atau Mesanggih, dimana 6 buah taring yang ada di deretan gigi atas dikikir atau ratakan, upacara ini merupakan satu kewajiban, adat istiadat dan kebudayaan yang masih terus dilakukan oleh umat Hindu di Bali secara turun temurun sampai saat ini. Adapun 6 sifat buruk dalam diri manusia atau disebut juga sad ripu yang harus dibersihkan tersebut adalah: (1) Hawa nafsu, (2) Rakus/Tamak/keserakahan, (3) Angkara murka/kemarahan, (4) Mabuk,membutakan pikiran, (5) Perasaan bingung, dan (6) Iri hati/ dengki. Dari semua sifat yang ada ini, bila tidak dikendalikan dapat mengakibatkan hal hal yang tidak baik/diinginkan, juga bisa merugikan dan membahayakan bagi anak anak yang akan beranjak dewasa kelak dikemudian hari. Oleh karena itu kewajiban bagi setiap orang tua untuk dapat memberi nasehat, bimbingan serta permohonan doa kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha ) agar anak mereka terhindar dari 6 pengaruh sifat buruk yang sudah ada sejak manusia di lahirkan di dunia.

Akan tetapi terkait dengan pelaksanaan upacara yajna khususnya manusia yajna (metatah) terdapat etika yang terkekang didalammnya, etika tersebut tertuang dalam sadripu. Sadripu tersebut merupakan enam musuh yang berada dalam diri manusai yang akan dikendalikan oleh norma atau etika itu sendiri. Selain hal tersebut dalam pelaksanaan upacara metatah terdapat etika yang harus dipatuhi seperti cara berpakaian, seperti kutipan teks berikut.

Berikut pakean orang potong gigi. Apabila laki-laki memakai kain cepuksari, berbahagialah bila ada cepukmadhu, ikat pinggang bagus anom, dan tali kapuhnya kayu sugih. Apabila perempuan kain dalamnya cepuk lubeng luwih, kain luarnya sukawredi, ikat pinggangnya juga bagus anom, dan tali selendangnya kayu sugih. Dan sebagai tempat tidurnya beserta sprainya, baik yang laki mapun perempuan sama. Tempat tidurnya tikar halus, 1 lembar, digambari smara ratih, pelindung kapalanya, balai gading, ditutup dengan kain sebagai penutupnya, kain pada balai gading, kain gedingan geringsing, alasnya permadani dan patawalasutra. Dan pembungkusnya adalah pakis lulut. Lulut oneng, sudhamala dan kayu sugih.

Dari kutipan teks Lontar tersebut dijelaskan bahwa pakian orang yang akan metatah harus sesuai yaitu berisikan kain kuning, memakai kain cepuksari dan berbagai kain pendukung lainnya, serta yang terpenting antara pakean pria dan wanita dibedakan. Sehingga dalam setiap pelasanaan upacara yajna khususnya upacara metatah terdapat etika yang wajib untuk dipatuhi. Selain cara berpakean dalam teks Lontar Eka Prathama juga disebutkan bagaimana cara berludah dan juga tempat ludah pada saat prosesi potong gigi berlangsung. Kutipan teks Lontar Eka Prathama sebagai berikut.

Lagi sebagai tempat ludahnya kelapa gading muda dikasturi. Digambari Ardanareswari, sebagai alas membuang ludah adalah kain nagasari, kemudian ludahnya itu ditanam di belakang sanggar agung, alat perenggang gigi (mulut) tebu malem 3 ruas dan ranting dapdap, setelah selesai tanam bersama-sama tempat ludah itu. Dari kutipan teks Lontar tersebut dijelaskan bahwa sarana yang dipake untuk alas dan juga tempat air liyur di tempat khusus serta pada nantinya sarana yang dipergunakan terserbut mendapat tempat khusus sehingga tidak dibuang sembarangan. Dengan demikian terdapat etika yang sangat kental sekali yang tertanam dalam tradisi dan juga agama dari setiap upacara yajna yang dilaksanakna.

Inilah tatacara orang potong gigi, mendirikan sanggar tawang, di depan sanggar kemulan, uakara sanggar lengkap. Banten yang dinaikkan di sanggar tawang banten suci 4 perangkat, disertai dengan catur warba, lengkap sebagaimana suci biasanya. Dibawah tambahkan caru, peji, uduh, pisang lalung, agar lengkap seperti biasanya. Mwah banten pedudusan, tekeng ayabannya, sega garuda tan kari, genep satingkahing caru padudusan.

Terjemahan: 

Lagi banten pedudusan, serta ayabannya, nasi garuda lengkap sebagai tata cara caru padudusan. Mwah ring arepning amuja dandaning adudus, paruk sawolu, makaklentingan, tekaning carat nyuk mawarna 8. Terjemahan: Lagi (upacara) di depan pendet memuja adalah perangkat penyucian, periuk delapan buah, berisi uang, disertai buah kelapa (muda) 8 jenis. Mwah paruk alit 4, maka catur kumba. Dyun pere, kumba carat 4, mwah caratan, pane, sasenden, kekeb, keren, dangdang lemah, kuskusan anyar, mesi sarwa rwi-rwi 108, palungan, suwir pepek, ilir, cucukin don, kalasa anyar, pada 1. Pari rong tenah, parahwatning anenun, kampil mesi beras. Malih panyukcuk itik belang kalung, ayam sudhamala, celeng muani, garboda, pungu-pungu, patlasan anut dina, kukusuk sudhamala. Terjemahan: Lagi periuk kecil 4 buah untuk catur kumba, tempayan pere, kuba carat 4, dan kendi, panai, senden, tutup, keren, periuk tanah, kuskusan baru, berisi jenis-jenis duri sebanyak 108, lumpang, siwur pepek, kipas, pucuk daun, tikar halus masing-masing satu. Padi dua tenah, perlengkapan menenun, kampil berisi beras. Lagi sebagai pemucuk itik belang kalung, ayam sudhamala, babi jantan, garboda, pungu-pungu, patlasan sesuai dengan hari, kukusuk sudhamala.

Berdasarkan sarana upakara tersebut telah menunjukan bahwa Upacara Metatah dalam Teks Lonat Eka Prathama, merupakan sebuah religi kehidupan masyarakat yang memberikan pernyataan dan sahnya peningkatan status seorang anak menjadi dewasa. Saran upakara berfungsi sebagai religiusitas keagamaan masyarakat Hindu pada khususnya yang memilki fungsi sekala-niskala (alam nyata atau gaib), alam sekala menjadi saksinya adalah para manusia yang hadir dan menyelesaikan upacara tersebut, sedangkan niskala adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Hyang Maha Esa diwujudkan dalam bentuk sarana upakara. Inilah menunjukan sikap bhakti manusia terhadap para dewa atau Tuhan yang telah memberikan segala anugrahnya kepada seluruh manusia di dunia.

Sebagai sebuah kepercayaan lokal masyarakat Hindu Bali pelaksanaan upacara potong gigi tidak terlepas dari penggunanaan sarana pendukung seperti banten dan alat lainnya. Sarana tersebut bermakna perwujudan Tuhan yang nirguna ke dalam saguna brahman.

Selain itu banten merupakan simbul beragama atau berreligius masyarakat Hindu Bali. Dalam teks Lontar Eka Prathama penggunaan banten dalam upacara potong gigi sangat banyak sekali perannya.  Seperti tetulis dengan rapi pada sloka tersebut :

Nyan tingkahing babaline wong wus atatah, angadegaken sanggara tawang, ryarepning kabuyutan, genep sakramaning sanggar tawang, caru kang munggagi sanggar tawang, banten suci 4 dandanan, tekeng catur warna genep kadi kramaning suci kayng lagi. Ring sor tambehana caru, sakutu-kutuning walantaga, den jangkep kadi nguni.

 Terjemahan:

Inilah tatacara orang potong gigi, mendirikan sanggar tawang, di depan sanggar kemulan, uakara sanggar lengkap. Banten yang dinaikkan di sanggar tawang banten suci 4 perangkat, disertai dengan catur warba, lengkap sebagaimana suci biasanya. Dibawah tambahkan caru, peji, uduh, pisang lalung, agar lengkap seperti biasanya. Dari kutipan teks Lontar tersebut telah mencerminkan keberagamaan di Bali, dimana setiap pembuatan bangunan berupa sanggar pendukung menempatkan banten sebagai simbolnya, kemudian di bawah meletakkan caru sebagai simbul keharmonisan.

Dari hal tersebut religius masyarakat dari zaman kuno yang tertuang dalam teks Lontar Eka Prathama sangat tercermin sekali melalui perwujudan banten. Selain kutipan teks tersebut dijelaskan pula secara detail banten yang dipergunakan dalam upacara potong gigi, sebagai berikut.

Mwah paruk alit 4, maka catur kumba. Dyun pere, kumba carat 4, mwah caratan, pane, sasenden, kekeb, keren, dangdang lemah, kuskusan anyar, mesi sarwa rwi-rwi 108, palungan, suwir pepek, ilir, cucukin don, kalasa anyar, pada 1. Pari rong tenah, parahwatning anenun, kampil mesi beras. Malih panyukcuk itik belang kalung, ayam sudhamala, celeng muani, garboda, pungu-pungu, patlasan anut dina, kukusuk sudhamala.

Terjemahan: Lagi periuk kecil 4 buah untuk catur kumba, tempayan pere, kuba carat 4, dan kendi, panai, senden, tutup, keren, periuk tanah, kuskusan baru, berisi jenis-jenis duri sebanyak 108, lumpang, siwur pepek, kipas, pucuk daun, tikar halus masing-masing satu. Padi dua tenah, perlengkapan menenun, kampil berisi beras. Lagi sebagai pemucuk itik belang kalung, ayam sudhamala, babi jantan, garboda, pungu-pungu, patlasan sesuai dengan hari, kukusuk sudhamala. Selain menempatkan banten secara detail peletaan sarana banten juga disesuaikan dengan tattwa, meskipun pada dasarnya umat Hindu di bali beragama berdasarkan acara yaitu praktek, akan tetapi tidak terlepas dari tattwa dan susila secabagai tonggak ukur pelaksanaan kegiatan yajna umat Hindu. Melalui penggunaan banten dapat dilihat secara gamblang mengenai pemaknaan relegius terkait dengan upacara potong gigi khususnya dalam teks Lontar Eka Prathama. Semua jenis benda tersebut merupakan perlengkapan inti dari pelaksanaan  upacara manusa yajna metatah. Makna dari keberadaan benda-benda tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda. Akan teteapi secara umum makna dari sarana upacara tersebut adalah bentuk perjalanan hidup manusia, dimana pelaksanaan upacara metatah merupakan peningkatan status seseorang dari masa anak-anak menjadi remaja dan siap untuk meningkat ke status berikutnya. Dalam menjalakan kehidupan diperlukan sarana penujang, sebagai contoh sederhana ketika memerlukan air untuk minum dipergunakan kendi, caratan, serta dalam membuat kain di tempatkan peralatan nenun, dipergunakan binatang sebagai pendukung kehidupan. Sehingga binatang-binatang tersebut memiliki perannya tersendiri. Semua perlengkapan upacara tersebut merupakan bekal untuk menjalakan kehidupan di dunia secara material.

Kesimpulan:

  • Upacara potong gigi termasuk dalam upacara yang berkaitan dengan ritus peralihan. Upacara potong gigi merupakan peralihan dari masa remaja ke masa dewasa. Dari masa-masa yang harus dilewati dalam lingkar hidup manusia, sering dianggap sebagai suatu masa yang berbahaya bagi manusia
  • Upacara Potong Gigi mengandung makna yang dalam bagi kehidupan, yaitu: (1). Pergantian perilaku untuk menjadi manusia sejati yang dapat mengendalikan diri dari godaan nafsu, (2) memenuhi kewajiban orang tuanya terhadap anaknya untuk menemukan hakekat manusia yang sejati, dan (3) untuk dapat bertemu kembali kelak di surga antara anak dengan orang tuanya setelah samasama meninggal.
  • Pelaksanaan upacara yajna di Bali di atur dalam berbagai sumber sastra, yang salah satunya adalah Lontar sebagai sumber pengetahuan dalam melaksanakan ritual keagamaan. Lontar Eka Prathama merupakan salah satu lontar yajna dipergunakan sebagai pedoman pelaksanaan ritual keagamaan masyarakat Hindu Bali. Etika pelaksanaan ritual metatah khusunya penting dicermati guna menciptakan ritual yang benar-benar mengandung konsep yajna yaitu tulis dan iklas. Selain itu penggunaan banten juga dipaparkan dalam lontar Eka Prathama, serta makna dari banten yang dipergunakan. Menjadi penting memberikan makna filosofi dari setiap tindakan yang dilakukan manusia untuk lebih memahami dan  mengenai ajaran agama Hindu.

Moga bermanfaat ****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun