Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nenek Tua, Menyepi Menuju Laut Utara

18 September 2020   11:52 Diperbarui: 18 September 2020   12:01 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pinterest

Akibatnya , Anakku, dalam kesendirianku , tak banyak orang hirau. Nenek Tua itu, dalam kaca mataku dia adalah seorang pertapa, pemuja sakti Tuhan, dalam rentang hidupnya, selalu rajin membantu, ngayah di pura kawitan., ngayah di pura sad kahyangan , sebagai abdi brahmana, dia juga membantu banyak kehidupan orang banyak, tidak sedikit keponakan dan cucunya dibantu, perbuatan itu pergi seiring berlalunya waktu, maka ketika nenek tua tak mampu , mereka memang semua seakan menjauh karena predikat 'bisa ngeleyak itu memformat pikiran mereka, menjadi sekaras batu, dan simpati dan empati seakan menguap, kemanusian telah berubah menjadi setingkat hewan.

Aku tidak tahu, apakah ngelmu itu sesungguhnya ada? Apakah yang dilakukan sebelumnya sehingga itu bisa terjadi? aku mengoreknya, sebagai catatan sejarah hidupnya. "Anakku, dulu usiaku belasan tahun, aku menderita sakit, katanya pelan, aku datang ke seorang balian,tak ada dokter ketika zaman penjajahan belanda dahulu, aku tidak tahu,aku melakukan prosesi ritual, dengan tulisan-tulisan (rerajahan) semua ditulis yang bisa menghidupkan dewata nawa sanga dalam tubuhku, itu membuat aku selalu merasa hidup dan ringan, sesungguhnya itulah awal pembelajaran "sastra dalam diri' membuat kita bisa kemana kita suka. Namun ketika sudah lama, aku pikir tidak cocok, aku ingin dibersihkan, sayang jro balian itu, sudah mangkat lebih dahulu.

Maka aku mencoba ke balian yang lain, Jro balian baru memberikan protokol dengan melakukan prosesi ritual,melukat diatas gumuk orang mati di kuburan, menghayat pada Sang Adi Budha, seperti yang diajarkan oleh Empu Bajrasatwa, kepada sang Batur Taskara seperti dikisahkan dalam Tantri Kamandaka.

Prosesi melukat itu, ' malah mempertajam ilmuku, aku harus menyatu dengan kekuatan-Nya, menerawang menelusuri ajian pembebasan "Siwer mas", terasa setelah itu, pelepasan mulai lah mewujudkan dirinya dalam bentuk yang paling hakiki ' sampian emas' " namun, godaan dan ego kerap tak mampu dibedakan, kerap nalar dan egokulah yang bergerak memasuki zone 'alam bawah sadar manusia.

Akibatnya semuanya membenciku, dan tidak mau simpati padaku, tak ada yang sudi mendekati diriku, semuanya menolak bertemu denganku termasuk mereka semua yang dahulu aku besarkan. Kini, kematian itu, aku sadari disebab kan oleh karma sendiri, sesuai dengan kontrak kehidupannya di dunia ini. Tahukah engkau bahwa dengan cara seperti itu, aku bersyukur bahwa aku tidak ada lagi rasa keterikatan pada keluarga. Biarkanlah aku pergi sendiri, sesuai dengan hakikatku, lahir sendiri dan pergi sendiri.

Lalu, penderitaan menjelang ajal tiba, bagian dari karmaku, engkau akan tahu, setelah hari pas kematianku, engkau akan mendapat tanda perjalananku., apakah aku orang jahat atau orang baik, nanti saat itu akan tiba padamu.

Anakku, lakukanlah apa yang Aku perintahkan, " Aku minta padamu, atas perkenan Dewa Siwa, tuliskanlah sastra Weda digidatku, supaya aku bisa dikenali di alam sana bahwa aku adalah salah seorang bakta Durga --Kali, lalu taburkan abu suci dari sastra yang ditulis itu di sekitar tempaku, anakku.... agar tempat ini menjadi suci, dan memudahkan perjalananku bersatu dengan Siwa Mahadewa

Pelan namun pasti , dia berkata lagi, " mohonlah pada kuwil Ligam Yoni, dan , mohonkan tirta dengan air bungkak (kelapa muda) , dengan kembang pucuk bang tiga biji pada sanggah kemulan, setelah memohon itu, bersihkanlah tubuhku, dengan mengusap menggunakan tiga pucuk daun kelor, lalu alasi tubuhku dengan tikar pandan, setelah itu pukul-pukullah tubuhku dengan tujuh batang kelor, Kemudian kelor itu bawa ke laut aturkan semua itu pada Dewa Baruna, di segara selatan. Sampaikan pesanku, pada Dewa Baruna, bahwa itu dilakukan atas junjunganku Siwa --Mahadewa, untuk menerima semua ilmu, kekurangan dan kelemahanku , sehingga aku bisa bersatu dengan-Nya. Setelah itu ambillah air laut itu, bawa ketiampat ini dan sucikan tempat ini, anakku, aku akan segera mati, ini dua rantasan yang aku sudah siapkan, pakailah itu.Aku akan bahagia menatapnya.

Aku lakukan semua perintahnya dengan sungguh-sungguh, air mataku tak bisa berhenti menetes, betapa 'hidup nenek ini luar biasa dalam kesendiriannya, kematiannya diketahui, dan persiapan sudah dia bayangkan.

Dia tersenyum dan berkata, Anakku, pesanku terakhir, bila aku meninggal, ambillah segenggam tanah di salah satu tempat pertigaan jalan raya, itu akan mambawa rohku bertemu dengan Siwa, lalu zasadku bakarlah dengan sarana tambahan berupa empat potong kayu bakar , dan satu potong kayu cendana kecil, yang dilengkapi kajang dan mohonlah kajang kepada Dewa Siwa, sebagai simbul bahwa aku adalah baktanya. Lakukan "sekerura", (persembahan uang kepeng pada lingkungan ) dengan uang kepeng 5 biji dan bunga gumitir, terima kasih aku sampaikan padamu. Lalu Abu jenasahku buanglah ke laut utara, sebab, arah utara , seperti yang dilakukan Bisma, saat utarayana, melepaskan badan raganya, itu kuyakini, agar aku menuju Siwaloka.

Kini pergilah..... jika engkau berdiam ditempat ini, kematianku, akan membuat orang lain berkata, bahwa engkau mewarisi limuku, itu pertanda buruk bagimu, karena engkau akan mendapat predikat baru" dakin tundunan" ....... pergilah, anakku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun