Mohon tunggu...
Intsiawati Ayus. SH.MH
Intsiawati Ayus. SH.MH Mohon Tunggu... -

Berangkat dari praktisi hukum, Saya terpilih kembali menjadi anggota DPD mewakili Provinsi Riau dengan menempati peringkat kedua dengan dukungan suara 144559 suara Dalam pandangan saya, sebagai lembaga baru keberadaan DPD dilihat dari kedudukan, fungsi, dan kewenangan diharapkan mampu melakukan penyempurnaan-penyempurnaan dalam memperjuangkan kepentingan daerah. Pandangan dan harapan masyarakat lebih besar ditujukan kepada anggota dan lembaga DPD ketimbang anggota dan lembaga DPR karena masyarakat memandang anggota dan lembaga DPR lebih berorientasi pada kepentingan kekuasaan dan partai. Anggota DPR masih dipandang sebagai wakil partai, bukan wakil rakyat. Maka dipundak DPD-lah mereka menggantungkan harapan untuk mengubah nasibnya. Silahkan klik, www.intsiawati.com dan blog.intsiawati.com untuk info lengkap.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dana Perimbangan dan Kuku Sentralisme Pusat

31 Maret 2013   12:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:57 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JURUS sentralisme pusat kembali dimainkan. Buah diberlakukannya UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 yang resentralistik telah menurunkan kebijakan demi kebijakan Pusat yang semakin ketat bahkan cenderung merepresi daerah.

Kritik deras daerah terhadap Permendagri No.13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang cenderung menyeragamkan bahkan mengganggu kreativitas dan inovasi daerah tak membuat pusat surut. Keluarnya PP No. 110/2007 tentang Penghapusan Dana Alokasi Umum (DAU) bagi sejumlah daerah yang dinilai memiliki kapasitas fiskal tinggi menambah deret peraturan pusat yang sentralistik itu. Belum lama ini muncul pula PP No. 6/2008 tentang Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, yang semakin memperjelas bahwa Pusat begitu bernafsu memperkuat instrumennya untuk ’mengendalikan’ daerah.

Kalaupun daerah-daerah meradang, pusat sepertinya tak ambil pusing untuk menggubrisnya. Dan ini tampaknya akan terus berlanjut sampai pusat menancapkan kukunya cukup dalam di daerah.

Padahal daerah baru saja menggeliat. Pemerintah pusat bak eksekutor berdarah dingin. Betapa tidak, penghapusan prinsip hold harmless dan memberlakukan penghitungan DAU secara murni pada tahun 2008 dengan mengusung UU No. 33/2004 pasal 107 (2) kemudian mengeluarkan PP No. 110/2007 untuk mengatur penghapusan DAU adalah pukulan yang amat keras bagi daerah, terutama bagi daerah-daerah yang dianggap kaya. Bahkan tak sampai situ saja, dalam PP No. 6/2008 pusat kini memiliki sejumlah perangkat kontrol ketat bagi daerah yang salah satu obyeknya adalah pendapatan dan alokasi pembiayaan daerah dalam APBD yang semakin seret itu.

Perubahan kebijakan fiskal yang ekstrim ini jelas telah mengacaukan perencanaan pembangunan di daerah-daerah. Sejumlah daerah akhirnya harus keteteran dan frustasi karena bingung mengatur anggaran untuk pembiayaan rutin. Rokan Hilir (Rohil) misalnya, yang semula mendapat alokasi DAU sebesar 91 M kini hanya digantikan dengan 22 M dana penyeimbang. Padahal, melalui DAU itulah selama ini Rohil memiliki kemampuan bukan saja untuk membayar gaji para tenaga honor, termasuk gaji PNS, tapi juga membiayai program kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Belum lagi Bengkalis dan Siak yang sama sekali tidak mendapat DAU harus menerima secara besar hati melepas hak pendanaan yang sebenarnya jika ditinjau dari sudut keadilan tidak bisa diterima.

Berbeda dengan daerah-daerah yang telah memiliki infrastruktur yang mapan seperti Jakarta, bagi daerah-daerah yang baru tumbuh berkembang keberadaan DAU jelas begitu penting artinya karena bisa menopang pembiayaan infrastruktur. Celakanya, pusat tak ambil pusing dengan hal ini. Pusat sepertinya tidak sensitif, lebih senang main pukul rata dan mementingkan dirinya sendiri.

Secara normatif, alokasi anggaran publik sesungguhnya adalah cerminan komitmen politik. Dengan kata lain, angka-angka dalam DAU ataupun DBH secara langsung terkait dengan kualitas penghargaan pusat atas hak-hak lokal serta pemenuhan rasa keadilan terhadap daerah. Jika kebijakan yang dilakukan pusat tidak lagi memperhitungkan berbagai dinamika serta aspek yang berkembang di masyarakat daerah, maka pusat sesungguhnya bisa dianggap sudah berbuat sewenang-wenang.

Konsep DAU pada awalnya adalah alat untuk menyeimbangkan kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah. Jika kita lihat sekarang, pada prakteknya bukan lagi sebagai dana perimbangan pusat-daerah tapi lebih cenderung menjadi dana perimbangan antardaerah. Kriteria formula DAU yang kini berlaku intinya lebih mengacu pada APBD per kapita, sehingga jika dilihat dari segi jumlah penduduk, per penduduk, maka tiap daerah akan memperoleh jumlah yang relatif sama. Alhasil, ketika DBH dianggap sudah lebih dari cukup untuk mencapai jumlah APBD per kapita maka seperti yang terjadi di Riau yang daerah-daerahnya memiliki bagi hasil tinggi, DAU-nya kemudian dihapuskan atau dikurangi.

Formula DAU semacam ini tentu membawa konsekuensi yang merugikan daerah-daerah yang memiliki bagi hasil (DBH) dan lebih menguntungkan daerah-daerah yang tidak memiliki bagi hasil. DAU bukan lagi untuk mengatasi ‘vertikal fiscal imbalance’ tapi sekarang lebih pada 'horizontal fiscal imbalance'. Dengan kata lain, fungsi DAU sebagai penyeimbang kesenjangan antar pusat-daerah kini menyeleweng dari tujuannya.

Celakanya pula, dana tersebut tak pernah benar-benar diserahkan sepenuhnya kepada daerah. Mulai dari perencanaan dan penggunaannya selalu harus mendapatkan persetujuan Pusat. Dan segala urusan dan keputusan daerah ujung-ujungnya tetap balik ke Jakarta.

Dengan kondisi seperti ini, jelaslah bahwa Pusat memegang kendali yang kuat. Dan bisa diduga, ini adalah bagian dari strategi pusat agar tetap bisa melakukan penjajahan atas daerah. Jika kita lihat total belanja nasional yang jumlahnya Rp. 850 triliun, yang dibagikan kepada 32 propinsi hanyalah Rp. 281 triliun, sedangkan dana yang dikelola pemerintah pusat sendiri hampir dua kali lipat atau sekitar Rp. 580 triliun. Jadi, sementara daerah-daerah miskin disuruh menutup kekurangan anggarannya dengan DAU dan daerah-daerah kaya dipaksa untuk berpuas diri dengan dana bagi hasil (DBH), pusat masih memiliki peluang untuk berfoya-foya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun