Pada hari Jumat di bulan Januari, saat libur panjang yang dinanti, David, 33 tahun, pergi bersama keluarganya. Ia ditemani istri dan anaknya yang berumur satu tahun lebih. Mereka tinggal di Kecamatan Pontianak Barat, Kota Pontianak. Saat ini, David bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan memiliki hobi bermain sepatu roda. Ia telah mengunjungi Malaysia sebanyak enam kali untuk mengikuti lomba sepatu roda dan berlibur. Perjalanan itu dilakukan baik bersama keluarga maupun teman-temannya.
Tahun lalu, David menggunakan mobil pribadi untuk pergi ke sana. Sementara tahun ini, David memilih bus demi pengalaman yang berbeda. Ia ingin merasakan bagaimana perjalanan menggunakan transportasi umum sekaligus menikmati pemandangan sepanjang perjalanan yang mungkin tidak terlalu diperhatikan ketika mengemudi sendiri.
Perjalanan dimulai dengan memesan tiket bus jauh-jauh hari agar mendapatkan tempat duduk yang nyaman. Untuk keberangkatan, mereka memilih bus SDS seharga Rp. 250.000 per orang. Sedangkan untuk perjalanan pulang, mereka memesan bus Asia seharga Rp. 350.000 per orang. Bus Asia dipilih karena ukurannya lebih besar, nyaman, dan eksklusif. Jumlah kursinya lebih sedikit, sehingga penumpang bisa lebih leluasa dan berbaring selama perjalanan. Mereka memutuskan berangkat pada pukul 22.30 malam agar anak mereka bisa tidur nyenyak sepanjang perjalanan.
Dari Terminal Ambawang menuju Entikong, perjalanan memakan waktu sekitar lima jam. Mereka tiba sekitar pukul 03.00 pagi di gerbang perbatasan. Namun, mereka harus menunggu karena pintu baru dibuka pukul 07.00 pagi. Supir bus meminta semua penumpang segera turun dan mengantri. Musim liburan menyebabkan sekitar sebelas bus menunggu di sana, sehingga antrean menjadi cukup panjang. Meskipun harus menunggu lama, David dan keluarganya tetap merasa antusias karena perjalanan ini merupakan pengalaman yang berbeda dari perjalanan sebelumnya, karena pertamakali nya mereka membawa anak pertamanya pergi berliburan ke luar negri.
Saat pengecekan paspor, barang bawaan mereka dipindai untuk memastikan tidak ada barang terlarang yang dibawa. Pada bagian imigrasi Indonesia, mereka mendapatkan cap di paspor sebagai tanda izin keluar dari negara. Menariknya, di Malaysia, cap tersebut disebut "cop," yang juga berfungsi sebagai stempel izin masuk ke negara tersebut.
Setelah berjalan kaki melewati gerbang antar negara, mereka mengantri di bagian imigrasi Malaysia sekitar 30 menit. Pada loket pemeriksaan, petugas bertanya mengenai tentang tempat tinggal dan tujuan perjalanan. Mereka juga memeriksa riwayat perjalanan melalui paspor. Sesudah memindai sidik jari untuk verifikasi identitas, mereka diberikan cap yang menunjukkan jumlah hari yang diizinkan untuk berkunjung. Jumlah hari yang diberikan bervariasi tergantung pada tujuan perjalanan dan jenis visa yang dimiliki. Setelah semua proses selesai, mereka akhirnya bisa melanjutkan perjalanan ke Kuching.
Sesudah proses imigrasi selesai, perjalanan dilanjutkan menuju pusat kota. Perjalanan memakan waktu sekitar 1 hingga 3 jam tergantung kondisi lalu lintas. Mereka tiba sekitar pukul 13.30 siang di terminal bus. Dari terminal, mereka memesan layanan transportasi melalui aplikasi Grab dengan tarif 17 ringgit untuk menuju hotel. Meskipun hotel ini seharga 65 ringgit per malam dan tidak tergolong mewah, fasilitasnya cukup baik. Kamarnya bersih, nyaman, dan terletak di pusat kota. Hal ini memudahkan mereka mengakses berbagai tempat wisata dan pusat perbelanjaan.
Selama enam hari di Kuching, mereka menghabiskan sekitar Rp. 1.200.000 untuk biaya penginapan. Di sepanjang perjalanan menuju hotel, mereka melihat banyak gedung tua dengan arsitektur khas kolonial. Bangunan tersebut memberikan nuansa sejarah yang unik di tengah kota modern. Sesampai nya mereka di hotel dan memilih untuk beristirahat dan memulihkan tenaga, malam harinya mereka berjalan-jalan di sekitar Waterfront. Tempat ini terkenal dengan pemandangan sungainya yang indah dan suasana yang ramai. Di sana, banyak gerai makanan dan minuman yang menggoda selera.
Mereka membeli kacang rebus seharga 5 ringgit per gelas. Kacang tersebut berisi kacang merah dan kacang tanah. Selain itu, mereka juga mencoba lekor, makanan khas disana  yang mirip dengan kerupuk basah yang berasal dari Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Tetapi yang membuat nya berbeda yaitu memiliki tekstur yang lebih kering.
Untuk makan malam, mereka memilih nasi ayam panggang. Hidangan ini disajikan dengan bumbu khas Malaysia yang lezat. Selama perjalanan liburan ini, mereka menghabiskan sekitar Rp. 1.500.000 untuk makanan dan minuman yang digunakan dalam 6 hari. Sambil menikmati makanan, mereka duduk di pinggir sungai. Dengan menyaksikan kapal-kapal wisata yang melintas dengan lampu-lampu yang berkilauan di air. Suasana malam yang indah semakin menambah kenikmatan perjalanan mereka.
Keesokan harinya, David meluangkan waktu untuk bermain sepatu roda di Civic Center. Tempat ini merupakan pusat kegiatan anak muda yang memiliki berbagai fasilitas olahraga. Di antaranya lapangan futsal, basket, skate park, tenis, badminton, dan menara yang digunakan untuk melihat pemandangan kota dari ketinggian. Jarak dari hotel ke Civic Center sekitar 30 menit berjalan kaki atau 10 menit dengan Grab. Demi menghemat biaya dan menikmati suasana kota, David memilih berjalan kaki. Trotoar di sana sangat nyaman, teduh, dan kendaraan tertib sehingga aman bagi pejalan kaki. Membawa sepatu roda sepanjang perjalanan terasa cukup berat. Namun, semangatnya tidak surut karena ingin merasakan sensasi bermain di skate park yang berbeda dari biasanya. Ia juga berbincang dengan beberapa anak muda lokal yang memiliki hobi serupa dengan dirinya.