Tanpa nash yang sah, suatu hal tetap dianggap mubah. Hal-hal yang diharamkan oleh Allah memiliki alasan dan hikmah tertentu. Ruang lingkup yang haram sangat terbatas, sementara yang halal sangat luas, dengan jumlah nash yang tegas mengenai haram yang sangat sedikit.
Penetapan halal dan haram adalah hak prerogatif Allah SWT. Islam menekankan bahwa hak ini harus bebas dari campur tangan manusia, apapun statusnya dalam agama atau kehidupan duniawi.
 Mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram adalah tindakan syirik terhadap Allah SWT. Mengharamkan sesuatu yang halal serupa dengan syirik, dan Al-Qur'an menentang keras orang-orang yang mengharamkan makanan baik yang Allah izinkan.
Kesimpulan
Kesimpulan dari artikel tersebut adalah bahwa prinsip halal dan haram dalam kepemilikan harta sangat penting dalam fiqh Islam, terutama dalam konteks muamalah. Harta, yang disebut sebagai "maal," memiliki peran sentral dalam kehidupan manusia dan menjadi ujian bagi mereka. Kehalalan harta ditentukan oleh syariat Islam, dengan hal-hal yang dianggap halal jika tidak melanggar ketentuan Allah SWT dan haram jika melanggar.Â
Ada dua kategori harta haram: harta yang secara intrinsik dilarang dan harta yang menjadi haram karena cara perolehannya. Penetapan halal dan haram adalah hak eksklusif Allah dan Rasul-Nya, yang harus berlandaskan pada sumber-sumber hukum Islam, seperti Al-Qur'an dan hadis.Â
Prinsip-prinsip ini menekankan bahwa setiap aktivitas ekonomi harus memenuhi kriteria halal, termasuk dalam industri halal yang terus berkembang. Pada dasarnya, semua hal dalam muamalah dianggap halal kecuali ada nash yang jelas yang mengharamkannya. Mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dianggap sebagai tindakan syirik yang harus dihindari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI