Malamnya, saat menyantap sepiring gulai kambing sederhana bersama ibunya, Atisa bertanya, "Bu, siapa yang dulu Ibu beri daging qurban?"
Bu Rahma menggeleng. "Ibu tidak ingat, Nak. Waktu itu Ibu ikut gotong-royong membagikan daging di kampung lama. Mungkin salah satu anak yang Ibu beri daging... Ibu gak nyangka, sekian tahun kemudian, dia ingat dan membalasnya."
Atisa memandangi ibunya lama. "Berarti... satu kebaikan kecil bisa jadi besar ya, Bu?"
Bu Rahma tersenyum. "Iya, Nak. Sangat besar, apalagi kalau ikhlas."
Sejak hari itu, Atisa memimpikan hal yang sama setiap malam: bahwa kelak, jika ia besar dan punya rezeki lebih, ia akan menyembelih kambing bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk orang-orang yang selama ini hanya bisa menonton dari jendela---seperti dirinya dulu.
Dan tahun demi tahun berlalu. Pada Hari Raya Qurban sepuluh tahun kemudian, seorang gadis muda dengan jilbab abu-abu dan senyum tulus terlihat di masjid yang sama. Di tangannya, tergenggam kwitansi qurban atas nama:
"Atisa Rahma & Ibunya."
Dan dari kejauhan, seorang gadis kecil melihat kambing mereka disembelih. Matanya bersinar. Mungkin, sepuluh tahun lagi, ceritanya akan berulang. Karena seperti takbir yang tak pernah padam, kebaikan yang ikhlas akan selalu menemukan jalannya kembali.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI