Selepas salat dan khutbah, panitia mulai menyiapkan penyembelihan. Beberapa warga berkerumun, termasuk anak-anak yang bersorak saat kambing-kambing digiring satu per satu.
Bu Rahma menarik tangan Atisa. "Ayo kita pulang, nanti Ibu masak nasi goreng aja ya, spesial Hari Raya," katanya, berusaha terdengar ceria.
Namun baru beberapa langkah, seorang pria paruh baya berpakaian putih menghampiri mereka. "Bu Rahma?"
Bu Rahma berhenti dan mengangguk. "Iya, saya."
"Saya Pak Lukman, dari panitia qurban. Tahun ini ada seseorang yang ingin menitipkan qurbannya atas nama Ibu dan Atisa."
Kening Bu Rahma berkerut. "Maaf, maksudnya? Kami tidak mendaftar apa-apa, Pak."
"Seseorang menitipkan dana qurban dan meminta agar kami menyembelih atas nama Ibu dan putri Ibu. Katanya, 'Saya pernah menerima daging qurban dari Bu Rahma bertahun-tahun lalu, saat saya masih anak jalanan.' Sekarang dia ingin membalas kebaikan itu."
Bu Rahma terdiam. Bibirnya bergetar. Air mata menetes di pipinya. Atisa memegang tangan ibunya, bingung.
"Bu... kita qurban?"
Dengan suara tercekat, Bu Rahma mengangguk. "Iya, Nak. Kita qurban..."
Atisa tidak mengerti sepenuhnya apa yang terjadi. Tapi ketika kambing itu disembelih atas nama mereka, ia merasa hatinya bergetar. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tahu rasanya menjadi orang yang memberi, bukan sekadar yang diberi.