Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hic et Nunc

30 Desember 2022   09:14 Diperbarui: 30 Desember 2022   09:21 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen Hic et Nunc (dokpri)

"Sukur iso nyawaaangNggunung deso dadhi rejo
Bene ora ilang
Nggone podho loroooo lopoooo
..."
Suara kemayu cempreng, tapi nge-bass "Mbak Yuni" membuat Karto semakin limbung.


Ditimpali permainan kentrung Paino yang matanya merem melek memandang ke langit-langit pos kamling seakan transe, sebait syair lagu keroncong Caping Gunung itu seakan ikut menggayuti langit yang di mata Karto sudah akan runtuh menimpanya.


"Pulang Mas To?", tanya Mbak Yuni genit saat Karto melintas depan pos kamling.


"Njih Yu," balas Karto sopan mengiyakan Mbak Yuni yang sesungguhnya bukan perempuan.


Duet keroncong absurd Mbak Yuni, banci kaleng yang malam ini tidak beroperasi dan Paino pengamen berbekal kentrung yang biasa mangkal di warung tongseng di samping kantor polisi seakan mengiringi langkah gontai Karto yang menghilang masuk ke pengkolan gang pertama sebelah kiri.


***


Jam sembilan malam di kos-kosan kamar petak.
Karto memandikan Rio, anaknya yang berusia 1,5 tahun dengan air dingin.
Rio menggigil sambil tertawa mengikik saat guyuran air dari gayung dari ayahnya menerpa kepalanya.


Karto tersenyum. Pahit.
"Maafkan bapakmu Le...", bathin Karto.
Sudah seminggu lebih Karto pulang tidak bawa uang. Sudah seminggu lebih sejak sebelum Natal, tidak ada orang yang memakai jasanya menggali tanah berbekal, pacul, linggis dan tampah.


"Maafkan bapakmu Le...", bathin Karto lagi.
"Tidak ada uang di kantong bapak malam ini Le..."
"Tidak tahu apa besok kita jadi tahun baruan ke bonbin atau tidak. Kita tunggu ibumu pulang sebentar lagi yo Le...."
Rio tersenyum dengan mata bulat beningnya. Bocah itu melihat bapaknya yang komat kamit sambil menyabuni keteknya.
***


Hampir jam sebelas malam. Suara-suara mercon dari arah lapangan di kampung atas seakan mengiringi Narsih pulang dari mini market tempat dia bekerja.
Karto duduk di lantai menyuapi Rio yang makan telap telep*. Nasi putih lauk indomie goreng.
"Makan dulu Dik", sapaan pertama Karto ke Narsih istrinya.


Narsih tidak menjawab, menggantung tas di belakang pintu lalu duduk di lantai memangku Rio yang memegangi gelas plastik bergambar robot sambil mengunyah.
"Aku gajiannya baru hari Rabu depan mas", kata Narsih menatap Karto seakan minta pengertian.
Karto menahan diri untuk tidak menghela nafas.


"Yo wis ra opo-opo Dik", jawab Karto sambil melanjutkan menyuapi Rio.
Mencium pipi Rio lalu memindahkannya ke sampingnya, Narsih mengisi piringnya dengan nasi dan indomie goreng lalu mulai makan.
Tidak ada dialog.
Tidak ada gerakan.
Hanya pendaran cahaya dari layar tablet yang sudah sangat dekil dan suara dialek melayu serial Upin-Ipin yang mengumandang dari tablet yang dipandangi oleh Rio tanpa berkedip yang memenuhi kamar kos serba guna dua kali dua itu.


Karto berusaha fokus menyuapi Rio agar kabut tertahan.
Narti berusaha fokus ke piringnya agar mendung tak jadi hujan.
Di luar suara terompet tahun baru dan mercon dari arah kampung atas semakin menjadi jadi.


***


Tengah malam kurang lima menit. Rio sudah pulas tertidur dari tadi di atas ranjang berkerangka besi.
Narsih masuk ke kamar kos sehabis mencuci piring dandang sekaligus mandi di kamar mandi di ujung gang rumah kos-kosan.
Karto masih duduk di lantai memandangi kosong layar tablet yang masih menyala saat istrinya masuk ke petak mereka.
Selesai handuki rambut, Narsih merapat di lantai di samping Karto.


Bau minyak cem-ceman.
Karto merangkul Narsih.
Karto mengelus Narsih.
"Mas...",bisik Narsih lirih.
Narsih mengelus Karto.
Narsih merangkul Karto.
"Dik...", bisik Karto sangat lirih.
Nafas memburu.
Karto menggeser tubuhnya seraya menarik ke luar sehelai kasur bersprei warna usang, ukuran satu orang dari bawah ranjang Rio.
Narsih bergerak menselonjorkan kaki lalu merebahkan diri.
Karto mendekat di atasnya.
Merapat.
Mengulum lembut bibir Narsih sambil kembali mengelus.
***


Terompet, mercon tahun baru memecah telinga.
Duet absurd keroncong Mbak Yuni-Paino di Pos Kamling semakin menggila.
Paino makin merem melek tranche memainkan gitar kecil kentrung mautnya.
Suara ngebass "Mbak Yuni" semakin dahsyat menggebu...
"Di bawah sinar bulan purnama
Hati sedih tak dirasaaaa
Si miskin pun yang hidup sengsara
Semalam itu bersuka.."

Jakarta (Cawang Kompor), akhir Desember 2022
Jepe-Jepe untuk Inspirasiana
*telap-telep: lahap
**hic et nunc: di sini dan sekarang!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun