Mohon tunggu...
INS Saputra
INS Saputra Mohon Tunggu... Penulis - Profesional IT, praktisi, pengamat.

Profesional IT, praktisi, pengamat.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Peta Koalisi Pilpres 2019

26 Juli 2018   15:16 Diperbarui: 30 Juli 2018   21:38 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pilpres 2019 (www.rmol.co)

Pendaftaran calon presiden dan wakil presiden untuk pilpres 2019 tinggal menghitung hari. Berbagai manuver politik telah dilakukan oleh partai politik untuk menentukan teman koalisinya.

Tercatat pada hari Senin (23/07/2017) malam, calon petahana Presiden Jokowi telah berkumpul dengan keenam Ketua Umum parpol pendukung pemerintah, yakni Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PPP Romahurmuziy, Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang dan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh. Keesokan harinya, Selasa (24/07/2018) Ketua Umum PAN yang juga Ketua MPR, Zulkifli Hasan juga datang bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Bogor. Pada malam harinya Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto datang menemui Presiden ke-6 RI SBY di Mega Kuningan, Jakarta. Hari Rabu (25/07/2017) malam giliran Ketum PAN Zulkifli Hasan yang bertandang ke Mega Kuningan bertemu SBY.

Dari serangkaian pertemuan Ketua Umum partai tersebut nampak jelas telihat bahwa semuanya bertujuan untuk memantapkan dan menjajaki kemungkinan koalisi untuk pilpres 2019.

Sebagai pengamat, penulis berpendapat bahwa sebelum masa pendaftaran Capres-Cawapres pada 04-10 Agustus 2018 mendatang, koalisi masih cair dan semua kemungkinan masih bisa terjadi. Prediksi penulis, sedikitnya ada 3 (tiga) kemungkinan koalisi:

Pertama adalah koalisi head-to-head Jokowi vs Prabowo (siapa pun cawapresnya). Dengan kemungkinan ini maka hanya  ada dua koalisi besar yakni koalisi partai pendukung pemerintah saat ini dan koalisi partai oposisi plus Demokrat. Sikap PAN hingga saat ini masih abu-abu, namun diprediksi akan bergabung ke koalisi oposisi. 

Partai koalisi pendukung pemerintah terdiri dari PDI Perjuangan (dengan persentase kursi DPR 19,5%), Partai Golkar (16,2%), PKB (8,4%), PPP (7%), Nasdem (6,3%) dan Hanura (2,9%) dengan jumlah persentase total kursi di DPR 60,3%. Partai oposisi terdiri dari Gerindra (13%), PAN (8,7%), PKS (7,1%) ditambah Demokrat (10,9%) dengan total persentase kursi di DPR 39,7%. Sesuai UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) adalah 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya.

Kedua masih koalisi head-to-head Jokowi vs Prabowo namun sedikit variasi pada partai pendukung koalisinya. Jika tiba-tiba hubungan Mega-SBY mencair di detik terakhir menjelang pendaftaran Capres-Cawapres, bisa saja Demokrat mengalihkan dukungannya ke koalisi Jokowi. Pada saat bersamaan, jika Ketua Umum PKB Cak Imin kecewa tidak dijadikan cawapres oleh Jokowi, bisa saja PKB menyebrang ke koalisi Prabowo. Belum lagi posisi PAN yang hingga saat ini belum jelas antara ikut Jokowi atau Prabowo. Dikutip dari beberapa media, Ketua Majelis Kehormatan PAN Amien Rais yang juga besan dari Zulkifli Hasan pernah mengancam akan menggelar KLB (Kongres Luar Biasa) jika PAN mendukung Jokowi. Jika KLB digelar maka sama saja dengan melengserkan Zulhas (panggilan Zulkifli Hasan) dari jabatan Ketua Umum PAN. Dalam politik, jangankan besan sesama saudara pun bisa saling bersebrangan.

Ketiga adalah koalisi poros ketiga. Koalisi ini terjadi jika dan hanya jika Demokrat-PAN-PKB bersatu membuat poros ketiga. Dua partai saja (Demokrat dan PAN) belum cukup untuk memenuhi syarat ambang batas 20% kursi DPR. 

Untuk menarik PKB keluar dari koalisi Jokowi (jika Cak Imin bukan Cawapres Jokowi) dibutuhkan upaya yang sangat luar biasa dari Demokrat dan PAN. Kursi RI 2 harus diberikan ke Cak Imin. Itu pun PKB masih berhitung peluang untuk memenangkan pilpres karena harus melihat terlebih dahulu siapa Capres yang ditawarkan oleh Demokrat-PAN. Jika AHY yang diajukan sebagai Capres, mungkin PKB tidak akan mau bergabung karena kemungkinan menangnya kecil. Namun jika yang diajukan adalah Jenderal Gatot misalnya, bisa jadi Cak Imin tidak akan berpikir dua kali. 

Namun apakah SBY rela anak emasnya AHY tidak mendapatkan posisi Cawapres? Dalam politik semua bisa dibicarakan baik-baik. Bisa saja Demokrat yang memiliki kursi lebih banyak di DPR saat ini dibandingkan PAN dan PKB akan mendapatkan kursi menteri terbanyak di kabinet Gatot-Imin (GAIN) jika seandainya terpilih nanti. 

Bahkan AHY juga bisa menduduki menteri strategis seperti Menkopolhukkam (perluasan dari Menkopolkam) atau Menhankamber (Menteri Pertahanan dan Keamanan Siber) sebagai perluasan dari Menhan. Partai Demokrat dengan bargaining position yang kuat,  juga bisa meminta komitmen tertulis kepada PAN dan PKB untuk mendukung AHY menjadi Capres atau Cawapres 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun