Di tengah derasnya arus modernisasi dan industrialisasi pendidikan, masyarakat kerap memaknai sekolah hanya sebagai tempat formal untuk memperoleh ijazah dan nilai akademik. Padahal, hakikat pendidikan jauh melampaui itu. Sekolah semestinya menjadi ruang belajar yang menumbuhkan manusia, bukan sekadar lembaga administratif. Ia adalah tempat di mana seseorang memahami dirinya, lingkungannya, dan kehidupan. Namun, dalam praktiknya, banyak lembaga pendidikan kehilangan semangat belajar yang sesungguhnya, terjebak dalam rutinitas penilaian, ujian, dan pencapaian angka semata.
Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 70% siswa SMA di Indonesia masih menganggap sekolah sebagai kewajiban formal, bukan sebagai kebutuhan belajar yang menyenangkan. Akibatnya, semangat eksplorasi dan kreativitas siswa kian menurun. Di Provinsi Banten, misalnya, angka partisipasi sekolah (APS) untuk kelompok usia 16--18 tahun pada tahun 2023 hanya mencapai 69,64%, di bawah rata-rata nasional yang berada di 73,42%. Kondisi ini memperlihatkan bahwa masih banyak remaja yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA/sederajat.
Lebih jauh, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah (RLS) masyarakat Banten baru mencapai 8,93 tahun, sedangkan harapan lama sekolah (HLS) berada di kisaran 13,02 tahun. Artinya, masih terdapat kesenjangan sekitar empat tahun antara lamanya pendidikan yang diharapkan dan yang benar-benar dijalani masyarakat. Kesenjangan ini mencerminkan masih terbatasnya akses, motivasi, dan dukungan sosial terhadap pendidikan formal, khususnya di wilayah-wilayah pedesaan dan komunitas adat.
Jika kita menengok pada kearifan lokal, masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak, Banten, memberi contoh menarik tentang bagaimana makna belajar tidak selalu identik dengan sekolah formal. Suku Baduy, yang dikenal menjaga adat dan menolak modernisasi, melarang anak-anaknya mengikuti sekolah umum karena dianggap dapat mengubah tatanan nilai dan pola hidup mereka. Namun, hal itu tidak berarti mereka menolak proses belajar. Justru sebaliknya, masyarakat Baduy menjalankan sistem pendidikan nonformal berbasis pengalaman hidup, alam, dan kebersamaan. Anak-anak mereka belajar menanam, berdagang, membaca tanda-tanda alam, menjaga hutan, dan memahami filosofi hidup sederhana melalui praktik sehari-hari.
Penelitian Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengenai adaptasi sosial masyarakat Baduy terhadap perubahan budaya menunjukkan bahwa meskipun tidak bersekolah secara formal, masyarakat Baduy memiliki tingkat pengetahuan ekologis dan sosial yang tinggi, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam dan relasi sosial. Hal ini membuktikan bahwa belajar bisa tumbuh tanpa harus terikat pada sistem sekolah formal. Seperti yang tampak di wilayah Banten lainnya, beberapa komunitas adat atau pedesaan juga mengembangkan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan pendidikan keaksaraan fungsional untuk menekan buta aksara. Berdasarkan data UNESCO tahun 2024, tingkat literasi masyarakat dewasa di Indonesia telah mencapai 96%, dengan illiteracy rate atau angka buta huruf tinggal 0,92%, sebagian besar karena adanya kegiatan belajar nonformal di daerah terpencil seperti Lebak dan Pandeglang.
Kondisi ini menunjukkan bahwa belajar tidak selalu membutuhkan bangunan sekolah, tetapi membutuhkan kesadaran dan kemauan. Sekolah yang sejati adalah tempat di mana semangat belajar hidup, bukan sekadar tempat di mana siswa hadir setiap hari. Jika sekolah kehilangan semangat belajar, ia akan berubah menjadi ruang kosong yang kering makna. Sebaliknya, bila belajar menjadi budaya, maka bahkan di luar tembok sekolah pun pendidikan sejati dapat tumbuh subur.
Dengan demikian, memaknai kata "Sekolah" dengan "Belajar" berarti mengembalikan pendidikan pada esensinya , membentuk manusia yang berpikir kritis, beretika, mandiri, dan mampu hidup berdampingan dengan sesama serta alam. Pendidikan sejati bukan hanya menyiapkan manusia untuk bekerja, tetapi juga untuk menjadi manusia yang terus belajar sepanjang hayat. Masyarakat Baduy menjadi pengingat berharga bahwa meski tanpa gedung, papan tulis, atau seragam, proses belajar sejati tetap berlangsung dari alam, dari pengalaman, dan dari kehidupan itu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI