Pendidikan modern kerap kali dipandang sebagai jalan utama menuju kemajuan, namun realitasnya justru memperlihatkan banyak ketidakpastian. Kurikulum yang silih berganti mengikuti arus global, standar kompetensi yang cenderung seragam, hingga capaian akademis yang lebih banyak menekankan angka, sering kali menjauhkan pendidikan dari substansi kehidupan nyata. Akibatnya, sekolah tidak selalu berhasil membentuk manusia yang adaptif terhadap perubahan zaman, melainkan hanya lulusan yang mengejar target tanpa pijakan pada nilai dan identitas budaya mereka sendiri.
Di tengah situasi itu, pendidikan berbasis kearifan lokal muncul sebagai alternatif yang lebih kontekstual dan membumi. Kearifan lokal bukan sekadar warisan tradisi, melainkan pengetahuan yang tumbuh dari pengalaman kolektif masyarakat. Ia menyentuh aspek kehidupan sehari-hari, menanamkan nilai, dan menuntun manusia untuk hidup selaras dengan lingkungannya. Potret nyata dari pendidikan berbasis kearifan lokal dapat dilihat pada masyarakat Baduy di Lebak, Banten. Di sana, proses belajar tidak bergantung pada bangku sekolah formal, melainkan tertanam dalam kehidupan. Anak-anak Baduy belajar bertani, menjaga hutan, memahami adat, dan menghormati leluhur dengan cara mengikuti praktik sehari-hari orang tua dan komunitasnya. Apa yang mereka pelajari selalu disesuaikan dengan kebutuhan hidupnya, bukan sekadar hafalan abstrak yang terlepas dari realitas.
Penelitian akademis pun memperkuat relevansi pendekatan ini. Sebuah riset di Universitas Pendidikan Indonesia menemukan bahwa model pembelajaran kooperatif berbasis kearifan lokal masyarakat Baduy mampu meningkatkan karakter kerja sama dan hasil belajar siswa secara signifikan. Bahkan, pengembangan bahan ajar tematik berbasis budaya Baduy yang diuji coba dalam bentuk e-modul dinilai sangat layak, dengan tingkat efektivitas di atas 85 persen. Siswa tidak hanya lebih memahami materi, tetapi juga merasa lebih dekat dengan pembelajaran karena menyentuh pengalaman mereka sendiri.
Lebih jauh, pendidikan berbasis kearifan lokal Baduy terbukti mendorong literasi lingkungan dan komunikasi sains yang lebih kuat. Nilai-nilai dasar masyarakat Baduy, seperti kejujuran, kesederhanaan, tanggung jawab sosial, serta harmoni dengan alam, diwariskan tidak melalui ceramah, tetapi melalui keteladanan dan praktik kolektif. Dalam bahasa akademis, ini menunjukkan bahwa pendidikan yang menanamkan nilai (value-based education) akan lebih bertahan menghadapi tantangan zaman dibanding pendidikan yang sekadar mengejar sertifikat.
Potret tersebut memberikan kritik yang jelas terhadap pendidikan modern yang sering kehilangan substansi. Sementara pendidikan formal sibuk menyesuaikan diri dengan kurikulum global, masyarakat adat Baduy menunjukkan bahwa pendidikan sejati tidak boleh tercerabut dari akar budaya. Dengan berpijak pada kearifan lokal, pendidikan tidak hanya mencetak manusia yang cerdas, tetapi juga manusia yang berkarakter, adaptif, dan relevan dengan tantangan nyata kehidupan. Inilah jawaban atas ketidakpastian pola pendidikan modern: sebuah pendidikan yang membumi, berakar, namun tetap mampu menatap masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI