Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

5 Perspektif yang Diprediksi Menjadi Sebab-Musabab Tutupnya Toko

4 Juni 2023   04:08 Diperbarui: 5 Juni 2023   11:26 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toko Buku Gunung Agung (Tangkapan layar Instagram Toko Gunung Agung via kompas.com)

Perspektif yang diprediksi menjadi sebab-musabab tutupnya toko buku tidak hanya perlu mendapat perhatian masyarakat Indonesia, tetapi juga perlu menjadi bahan kajian pemerintah dan institusi-institusi religius yang berperan dalam mempertahankan dan menyebarkan spiritualitas kehidupan di zaman ini. | Ino Sigaze.

Tebaran berita tentang berakhirnya riwayat toko buku sedang marak, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Eropa. 

Fenomena tutupnya toko buku itu menggoda nalar untuk mencoba mengkaji sebab dan alasan mengapa toko buku harus tutup, padahal toko buku sangat penting bagi para pembaca.

Perubahan zaman tentu saja berhubungan langsung dengan pertanyaan-pertanyaan kritis lainnya. Nah, dalam hal ini pertanyaannya adalah mengapa sekian banyak toko buku akhirnya tutup saat ini?

Tulisan ini mencoba menyoroti beberapa perspektif yang diprediksi menjadi sebab-musababnya.

1. Pesan Sekularisasi lebih menarik dari religiositas 


Tesis ini saya temukan ketika mengunjungi toko buku gereja Katedral Mainz yang berada persis di samping gereja Katedral itu sendiri. Padahal dari segi tata letaknya sebenarnya sangat strategis, yakni di jantung kota.

Toko buku Dom atau Dom Buchhandlung itu berada bersebelahan dengan tempat pasar akhir pekan yang dimulai sejak Jumat sampai dengan Sabtu sore.

5 perspektif yang diprediksi menjadi sebab-musabab tutupnya toko buku | Areal Toko Buku Hugendubel Mainz oleh Ino Sigaze. 
5 perspektif yang diprediksi menjadi sebab-musabab tutupnya toko buku | Areal Toko Buku Hugendubel Mainz oleh Ino Sigaze. 

Jika dari segi tata letak saja sudah tidak bisa menjadi daya tarik, maka sebenarnya apa sih sebab dari tutupnya toko buku itu sendiri?

Beberapa kali saya mencoba mengintip dari dekat, apa isi toko buku itu. Di sana saya menemukan sekitar 80% buku dengan rubrik religi, sedangkan 20% lainnya adalah buku sejarah, filsafat, biografi, dan bahasa.

Toko buku dengan jenis penawaran yang terbatas pada buku-buku religi rupanya tidak mendapat minat besar oleh pembaca modern yang memiliki daya berpikir bebas, moderat, dan progresif.

Hidup ini bukan hanya dipengaruhi oleh wawasan religiositas saja, tetapi juga dari perpaduan dinamis dengan wawasan sekuler lainnya. Dari gagasan seperti itu, riwayat dari konsep toko buku yang hanya menampilkan satu rubrik itu menemukan akhirnya. 

Ya, dunia sekuler tidak hanya tertarik dengan buku-buku religi, tetapi juga buku-buku karya sastra dan imajinasi bebas manusia."

2. Pembaca dari generasi Y dan Z akrab dengan digitalisasi

Isu tutupnya toko buku sebenarnya ada kaitannya dengan minat generasi pembaca buku dan juga bisa ditentukan oleh latar belakang negara dalam kebiasaan membaca buku.

Generasi Boomer lahir sekitar tahun 1946-1964 (berusia 59-77 tahun); Generasi X lahir antara tahun 1965-1979 (berusia 44-48 tahun); generasi Y atau Milenial lahir antara tahun 1980-1994 (berusia 29-43 tahun); dan generasi Z berkisar antara tahun kelahiran 1995-2010 (berusia 13-28 tahun).

Analisis berdasarkan rentang usia setiap generasi dapat membantu kita melihat seberapa besar perbedaan gairah membaca buku. Tentu saja, setiap negara memiliki selera baca yang berbeda-beda.

Sebagai contoh, dalam konteks Jerman, urutan minat terhadap buku berbeda dengan kenyataan di Indonesia. Pembaca yang berusia antara 59-77 tahun, bahkan lebih tua dari itu, lebih cenderung mencintai buku fisik daripada buku digital.

Sedangkan untuk usia antara 44-48 tahun, sulit untuk secara tegas membedakan prioritas mereka. Namun, jika melihat pada masa kuliah mereka, mereka lebih suka membaca buku di perpustakaan dan toko buku daripada membaca buku secara online.

Sementara itu, untuk usia antara 29-43 tahun, selera mereka sangat berbeda karena generasi Y termasuk dalam generasi yang menginginkan kecepatan.

Seorang teman saya yang juga seorang profesor di beberapa universitas di Jerman, Roma, dan Swiss pernah menceritakan bahwa dia sering menemui fenomena bahwa mahasiswa lebih memilih menggunakan tautan situs web sebagai referensi dalam tulisan ilmiah mereka daripada menggunakan buku. 

Hal ini menunjukkan bahwa generasi Y tidak lagi tertarik membaca buku di toko buku atau perpustakaan. Mereka lebih sering menggunakan gadget dengan fasilitas membaca online.

Akhirnya, hampir seluruh generasi Z enggan memegang buku saat melakukan perjalanan. Mereka senang membaca, tetapi tidak suka membaca buku fisik.

Dalam beberapa perjalanan saya dari Mainz ke Frankfurt, saya melihat bahwa anak-anak usia 13 tahun hingga mahasiswa berusia maksimal 28 tahun sebagian besar lebih sering memegang ponsel pintar daripada membawa buku. 

Mereka hanya membaca buku jika terpaksa, seperti buku pelajaran yang membantu mereka dalam belajar atau buku yang diwajibkan oleh sekolah.

3. Bagaimana Generasi X, Y, dan Z membaca

Kajian ilmiah dari Katharina Kubish pers dan Universitas Internasional IUBH mengungkapkan kenyataan ini:

Generasi X sekitar 80% membaca setiap hari dengan menggunakan media seperti buku, majalah, dan e-book.

Generasi Y sekitar 66% membaca setiap hari dengan media pilihan mereka adalah media sosial, blog, dan website.

Generasi Z sekitar 62% membaca setiap hari dengan media pilihan mereka juga adalah media sosial, blog, dan website.

Bagaimana motif membaca dari generasi X, Y, dan Z? Kita akan menemukan perbedaan selera dari setiap generasi. Generasi X dan Z sangat suka membaca dengan tema relaksasi dan informasi. Sedangkan generasi Z memiliki prioritas utama dalam hal pelatihan.

Generasi X sangat tertarik dengan topik-topik di bidang kedokteran dan kesehatan. Generasi Y sangat menyukai konten terkait kebugaran dan kecantikan. Sementara itu, generasi Z sangat tertarik pada fiksi ilmiah, fantasi, dan sastra remaja.

4. Bagaimana pengeluaran per bulan untuk membeli buku dari setiap generasi?

Tampak jelas bahwa generasi X menduduki posisi pertama dalam pengeluaran per bulan untuk membeli buku, dengan jumlah sebesar 18,21 euro. 

Generasi Y mengeluarkan 10,25 euro per bulan untuk keperluan buku, sementara generasi Z berada pada angka 8,93 euro per bulan.

Dari hasil penelitian di atas, jelas bahwa buku-buku religi dan spiritualitas telah kehilangan pasar dan daya tariknya pada semua generasi. Sebagai konsekuensinya, tidak heran jika hampir semua toko buku yang hanya menjual buku-buku religi telah tutup.

Sebaliknya, toko buku yang masih mempublikasikan karya-karya fiksi, imajinasi, sastra, pelatihan, dan penelitian ilmiah masih diminati oleh setidaknya generasi X, Y, dan Z."

5. Tantangan penerbitan mandiri (self-publishing)

Universitas Internasional Ilmu Terapan IUBH, bekerja sama dengan Books on Demand (BoD), sebuah pemimpin pasar dan teknologi di Eropa dalam bidang publikasi buku digital, telah melakukan penelitian tentang perilaku menulis dan membaca dari berbagai kelompok usia.

Hasil penelitian ini sangat mengejutkan, yaitu bahwa penerbitan mandiri buku secara independen sedang booming saat ini. Namun, yang unik adalah hanya 13% dari semua responden dari berbagai generasi yang menyatakan minat untuk menerbitkan karya mereka sendiri.

Apa yang dipublikasikan? Generasi Y dan Z memiliki preferensi sendiri dalam mempublikasikan karya-karya seperti tulisan ilmiah, jurnalistik, fakta, novel, sastra, dan panduan do-it-yourself.

Menariknya, meskipun generasi Y dan Z adalah generasi yang lebih akrab dengan digitalisasi. Penelitian itu sendiri menemukan hasil yang mengejutkan bahwa 56% dari mereka merasa khawatir bahwa tulisan mereka tidak akan dibaca, sedangkan 47% ragu bahwa tulisan mereka tidak akan dibeli oleh pembaca umum. Oleh karena itu, generasi Y dan Z menginginkan pendampingan dalam proses penulisan dan penerbitan.

Bagaimana dengan generasi X, Y, dan Z di Indonesia? Tentu saja, hal ini akan menjadi studi yang menarik jika ada penelitian yang terkait dengan hal tersebut.

Tutupnya toko buku di Indonesia dan di tempat lain mungkin disebabkan oleh dilema yang dihadapi oleh pembaca dari generasi X, Y, dan Z saat ini dalam mempublikasikan tulisan mereka sendiri untuk mendukung kecenderungan mereka yang lebih suka membaca melalui media sosial, e-book, dan blog.

Salam berbagi, Ino, 4 Juni 2023."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun