Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

5 Perspektif yang Diprediksi Menjadi Sebab-Musabab Tutupnya Toko

4 Juni 2023   04:08 Diperbarui: 5 Juni 2023   11:26 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toko Buku Gunung Agung (Tangkapan layar Instagram Toko Gunung Agung via kompas.com)

Toko buku dengan jenis penawaran yang terbatas pada buku-buku religi rupanya tidak mendapat minat besar oleh pembaca modern yang memiliki daya berpikir bebas, moderat, dan progresif.

Hidup ini bukan hanya dipengaruhi oleh wawasan religiositas saja, tetapi juga dari perpaduan dinamis dengan wawasan sekuler lainnya. Dari gagasan seperti itu, riwayat dari konsep toko buku yang hanya menampilkan satu rubrik itu menemukan akhirnya. 

Ya, dunia sekuler tidak hanya tertarik dengan buku-buku religi, tetapi juga buku-buku karya sastra dan imajinasi bebas manusia."

2. Pembaca dari generasi Y dan Z akrab dengan digitalisasi

Isu tutupnya toko buku sebenarnya ada kaitannya dengan minat generasi pembaca buku dan juga bisa ditentukan oleh latar belakang negara dalam kebiasaan membaca buku.

Generasi Boomer lahir sekitar tahun 1946-1964 (berusia 59-77 tahun); Generasi X lahir antara tahun 1965-1979 (berusia 44-48 tahun); generasi Y atau Milenial lahir antara tahun 1980-1994 (berusia 29-43 tahun); dan generasi Z berkisar antara tahun kelahiran 1995-2010 (berusia 13-28 tahun).

Analisis berdasarkan rentang usia setiap generasi dapat membantu kita melihat seberapa besar perbedaan gairah membaca buku. Tentu saja, setiap negara memiliki selera baca yang berbeda-beda.

Sebagai contoh, dalam konteks Jerman, urutan minat terhadap buku berbeda dengan kenyataan di Indonesia. Pembaca yang berusia antara 59-77 tahun, bahkan lebih tua dari itu, lebih cenderung mencintai buku fisik daripada buku digital.

Sedangkan untuk usia antara 44-48 tahun, sulit untuk secara tegas membedakan prioritas mereka. Namun, jika melihat pada masa kuliah mereka, mereka lebih suka membaca buku di perpustakaan dan toko buku daripada membaca buku secara online.

Sementara itu, untuk usia antara 29-43 tahun, selera mereka sangat berbeda karena generasi Y termasuk dalam generasi yang menginginkan kecepatan.

Seorang teman saya yang juga seorang profesor di beberapa universitas di Jerman, Roma, dan Swiss pernah menceritakan bahwa dia sering menemui fenomena bahwa mahasiswa lebih memilih menggunakan tautan situs web sebagai referensi dalam tulisan ilmiah mereka daripada menggunakan buku. 

Hal ini menunjukkan bahwa generasi Y tidak lagi tertarik membaca buku di toko buku atau perpustakaan. Mereka lebih sering menggunakan gadget dengan fasilitas membaca online.

Akhirnya, hampir seluruh generasi Z enggan memegang buku saat melakukan perjalanan. Mereka senang membaca, tetapi tidak suka membaca buku fisik.

Dalam beberapa perjalanan saya dari Mainz ke Frankfurt, saya melihat bahwa anak-anak usia 13 tahun hingga mahasiswa berusia maksimal 28 tahun sebagian besar lebih sering memegang ponsel pintar daripada membawa buku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun