Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Ada 3 Alasan Naturalisasi PSSI Belum Bisa Meraih Pasar Sepak Bola Eropa

20 Januari 2022   04:17 Diperbarui: 24 Januari 2022   13:33 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tentang mempertanyakan naturalisasi PSSI, dilema ekonomi dan kaderisasi pemain tanah air | Dokumen diambil dari: indosport.com

Konsep seperti itu perlu dibalik, PSSI perlu membuat terobosan untuk membuka lahan investasi pemain tanah air dengan dana yang besar, tetapi berdampak pada masa depan Indonesia seluruhnya.

Alternatif terobosan untuk menarik minat pemain tanah air

Terobosan -terobosan yang ada saat ini rupanya belum cukup merangkul Indonesia yang luas ini. Pertanyaanya, mengapa sekolah bola cuma ada di ibu kota? Mengapa sekolah bola tidak bisa dirujuk ke setiap provinsi dengan maksud untuk merekrut pemain kabupaten yang punya potensi luar biasa?

Kalau soal akademi sepak bola, ya bisa saja cukup di Jakarta atau di beberapa tempat lainnya, tetapi sekolah bola masih terlalu sedikit sebagai kesempatan bagi generasi muda untuk menatap masa depannya melalui sepak bola.

Mengapa tidak banyak orang berharap bahwa sekolah bola tidak punya masa depan? Nah, konsep itu tidak meyakinkan anak bangsa ini, karena rasa cinta kita pada pemain tanah air belum cukup yang berdampak pada konsekuensi bayaran untuk pemain tanah air sendiri masih terlalu kecil atau tidak stabil.

Nah, tentu kembali lagi kepada perhitungan ekonomi. Seberapa serius bangsa ini memikirkan kemajuan bangsa ini khususnya di bidang sepak bola? Kalau PSSI saat ini serius, maka kisruh masa lalu PSSI harus ditinggalkan, lalu bangun semangat baru untuk lebih terbuka dan lebih bergairah membangun jaringan dan blusukan untuk memperoleh pemain-pemain yang punya potensi.

Di Jerman misalnya, orang tidak bekerja tetapi bisa hidup dengan bermain sepak bola, walau itu cuma bermain di klub-klub kecil di negara bagian. Hal penting sekali untuk menumbuhkan minat pemain tanah air adalah penghargaan bagi anak bangsa yang punya minat dan bakat sejak dari dini.

Nah, Indonesia rupanya masih tertinggal dalam memberikan harapan dan penghargaan kepada anak bangsa ini bahwa dari sepak bola pun orang bisa hidup mapan. Kalau saja konsep itu sudah berubah, maka akan banyak sekali anak bangsa ini yang mau fokus pada sepak bola, karena baginya sepak bola adalah hidup dan masa depannya. Dia tidak akan merana kalau hanya memilih bermain bola.

Saya masih ingat, kakak saya dulu selalu bilang begini, "kamu main bola berjam-jam, nanti kalau lapar kamu makan bola itu."  Ungkapan itu sederhana sekali, tetapi di dalamnya sebenarnya ada konsep sebaliknya, "kamu boleh bermain sepak bola sepanjang hari, asalkan bisa menghidupimu."

Ini soal logika yang belum dimiliki bangsa ini, sepak bola belum bisa menjadi satu cabang olahraga yang setara dengan orang memilih bidang kuliah menjadi guru misalnya. Sampai kapan baru akan berubah konsep dan gagasan kita?

Demikian catatan singkat mengenai naturalisasi PSSI yang berkaitan erat dengan dilema ekonomi bangsa, kaderisasi, seleksi pemain tanah air. Naturalisasi tetap dibutuhkan, tetapi tidak bisa semata-mata menjadi prioritas yang mengabaikan perhatian kepada pemain tanah air.  Proses seleksi dan kaderisasi yang secara konkret melalui pendirian sekolah bola yang menyebar ke daerah-daerah adalah pilihan yang sangat mendasar demi masa depan kancah sepak bola Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun