Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Dunia dalam Satu Meja" dan Ragam Pesannya

23 Oktober 2021   05:25 Diperbarui: 27 Oktober 2021   12:18 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dunia dalam satu meja (Die Welt an einem Tisch) dan Ragam Pesannya | Dokumen diambil dari: t3n.de

"Dunia dalam satu meja" akan hadir tanpa konotasi macam-macam, jika orang-orang yang duduk di sekitarnya mengerti apa artinya perbedaan dan keberagaman.

Deru angin sisa-sisa badai hari kemarin masih terasa. Daun-daun kuning jatuh bertaburan riuh di jalan-jalan, lorong, bahkan terdampar di samping jendela.

Sebagian daun-daun itu tersapu pergi karena terlindas kendaraan mewah. Persis di bawah pohon dengan taburan daun jatuh tak beraturan itu, terpental sepotong kertas.

Kertas itu adalah cabikan dari koran bekas entah koran apa dan sejak kapan. Saya melihat ada garis bawah merah pada satu kalimat, di sana tertulis, " Die Welt an einem Tisch" atau dunia dalam satu meja.

Hembusan angin menerpa daun-daun dan kertas hingga berantakan terbang dan terdampar tidak terarah. Entah mengapa sepotong kertas bergaris bawah merah itu memikat mata saya siang itu.

Tanpa ragu-ragu saya mengambil kertas  itu dan membacanya sambil terus berjalan menuju ke tempat kerja. Saya sungguh tergoda oleh kalimat itu, seakan-akan seperti sepucuk surat cinta dari orang yang tidak dikenal.

Bertubi pertanyaan datang menghimpit pikiran dan hati saya waktu itu: Apa arti dari ungkapan itu? Mengapa saya bisa menemukan kertas dengan tulisan itu di sana dan sekarang?

Apakah ungkapan itu relevan? Tiba-tiba, saya seperti terbawa ke ruang kesendirian (Einsamkeit) untuk berdialog dengan diri sendiri. Seperti ada rasa takut berdiri di luar rumah, saya pun bergegas masuk ke ruang dalam.

Deru angin terdengar dari ruang dalam. Wuuuhhhhh, wuuuhhh...terlihat pohon-pohon menari, namun dengan wajah sedih, karena terlalu banyak dahan-dahan kecil yang patah dan jatuh. Belum lagi, tidak terhitung berapa banyak daun yang gugur sejak kemarin.

Terdengar bisikan kecil di tengah riuh angin itu, "Dunia dalam satu meja." Apa sih maksudnya? tanyaku lagi.

Die Welt an einem Tisch: Ungkapan yang muncul setelah ada kenyataan di universitas

Ungkapan itu membuat saya ingat hari-hari di Universitas. Kamar makan tersusun barisan meja yang begitu banyak. Semeja bisa enam orang duduk di sana. 

Jam makan siang sudah dibuka sejak jam 12.00 siang sampai jam 12.30. Di kamar makan itu terlihat wajah berbeda, oleh karena mahasiswa dari berbagai negara ada di sana.

Bukan cuma soal beda warna kulit, tapi di dalam ruangan itu terlihat beda keyakinan. Namun, meja-meja makan telah menjadi simbol kebersamaan kami. 

Di sana tidak ada batas dan dinding perbedaan yang saling menyingkirkan, tetapi cuma terlihat semeja cuma ada orang-orang yang berbeda-beda. Kenyataan seperti itu sudah lama dan begitu sering saya saksian, namun saya tidak pernah sampai pada ungkapan  "Die Welt an einem Tisch."

Tentu merupakan kebahagiaan sendiri bahwa pengalaman yang menyenangkan dan penuh arti itu telah mendahului sebuah ungkapan yang ditemukan secara kebetulan. Ternyata, berada dalam satu lingkaran meja dengan orang berbeda itu menjadi simbol dari ungkapan "Die Welt an einem Tisch".

Di sana tidak hanya ada percakapan, tetapi ada juga perhatian dan pengertian. Di sana ada rasa bahwa saya berbeda, namun saya ada di depan dan di sampingnya.

Yang lain pernah mendengar dan berbicara, yang lain lagi pernah diam dan bertanya. Ada juga letupan canda dan tawa tanpa ocehan yang melecehkan sesama.

Saling percaya dan hormat satu dengan yang lain tumbuh dalam iklim meja makan dari kehadiran yang berbeda-beda itu. Ya, dalam satu meja, kami belajar tentang apa yang tidak diprogramkan secara formal di bangku kuliah.

Dunia dalam satu meja adalah simbol dari kemajuan teknologi komunikasi saat ini

Fenomena yang menarik adalah setelah makan siang, kami masih punya waktu untuk duduk-duduk sambil menunggu antrian secangkir kopi panas dari mesin otomatis.

Satu per satu mulai mengeluarkan Handphone (HP) masing-masing. Ternyata setiap orang mengakses informasi bukan di negara di mana kami tinggal, tetapi pada saat yang sama, masing-masing orang mengakses informasi dan berita dari negaranya sendiri.

Dalam satu meja terlihat ekspresi berbeda-beda: Ada cetusan kesal, ada yang mendesah dan berkata jengkel dan marah, ada yang spontan tertawa meledak, tapi ada pula yang begitu khusyuk dalam sunyi menelusuri dinding wajah google tentang situasi negaranya.

Terdengar pertanyaan, was ist los? Atau ada apa? Ya, semuanya berlangsung tanpa syarat, tanpa janji apalagi paksaan. Spontan, semua bisa cerita apa saja tentang situasi di negaranya, tentang teman, keluarga dan apa saja.

Kenyataan seperti itu terjadi dalam satu meja. Benar kan, dunia ini ada dalam satu meja? Saya akhirnya membayangkan di Indonesia khususnya di universitas dan di sekolah-sekolah, bisa saja suasana seperti itu terjadi.

Nah, bisa dibayangkan bahwa Indonesia yang beragam itu ada dalam satu meja. Tentu menarik dan apa sih kisahnya, lagi-lagi penasaran. Keberagaman di Indonesia sama dengan keberagaman yang ada di dunia. Mungkin Indonesia bisa menjadi simbol dari dunia dalam satu meja.

Deru badai dan angin sisa seperti telah menjauh dari kota tempat tinggal saya. Kini malam menghimpit dengan gelap yang disengat dengan dingin 9 derajat celcius.

Lapisan baju tebal seakan tidak ada kompromi untuk boleh dilupakan. Lapisan wajib tentunya, tapi bukan cuma saya lho, orang bule saja pakai dua Pullover.

Di sebuah ruangan kecil saya hendak mencari suatu bacaan untuk malam hari itu. Di sana ada tertulis dengan kode I dan II, angka Romawi. Saya bertanya pada teman saya, yang mana bacaan untuk malam nanti.

Jawabannya dengan ketus dan malah bertanya kepada saya, "menurut kamu bacaan I atau II?" Saya bilang, "ya kamu yang mesti tentukan bacaannya." Dia langsung menunjukkan bahwa bacaan dengan kode I. 

Tanya dia lebih lanjut, "Kamu tahu enggak, mengapa I (satu)?" Saya tertawa sejenak lalu menjawab, "ya karena tahun 2021 dong." Aneh bukan? Katanya, "Kode I untuk tahun ganjil dan kode II untuk tahun genap"

Lho, satu kok dibilang ganjil sih?

Kisah yang terakhir ini membawa saya kepada ranah keraguan tentang "dunia dalam satu meja." Kalau "satu" itu ganjil, tentu dunia dalam "satu meja", ya juga ganjil dong?

Keraguan tentang dunia dalam satu meja

Keraguan (dubium) dalam hal ini mengarahkan saya sendiri kepada keterbukaan pada tanggapan kritis orang lain. Tentu tidak semua orang yang melihat bahwa ungkapan "dunia dalam satu meja" itu menarik.

Dunia dalam satu meja itu bisa saja gampang-gampang susah dalam pemaknaannya, tentu jika tanpa keterbukaan dan kepercayaan satu dengan yang lainnya. Atau juga bisa sangat menimbulkan keraguan karena dalam satu meja bisa menghasilkan kompromi yang tidak sehat. 

Kompromi karena kepentingan tertentu bisa saja terjadi dalam satu meja. Oleh karena itu, sebagai orang bebas, saya membaca tulisan dari kertas lepas itu dari dua arah. 

Arah dari sudut pandang positif tentu bukan saja menjadi simbol dari persaudaraan, kebersamaan, perhatian dan solidaritas, tetapi juga terkait dengan globalisasi informasi yang bisa diakses dari satu meja. 

Sudut pandang yang lain bahwa ke-satu-an itu bisa melahirkan ungkapan "Unter dem Tisch" atau di bawah meja. Ungkapan itu memiliki konotasi negatif bahwa ada sesuatu yang dirahasiakan.

Tidak heran bukan? Tokoh-tokoh politik yang tiba-tiba saja terjerat kamera wartawan, berdua dalam satu meja, padahal biasanya mereka berbeda pandangan politik, gaya dan cara menjadi seorang pemimpin.

Kecurigaan terkait koalisi dan kompromi lainnya melahirkan rasa ingin tahu yang begitu besar dari siapa saja yang melihatnya. Jadi, satu meja bisa juga ganjil lho. 

Beberapa kesimpulan:

Demikian percikan dua pengalaman berbeda yang membawa saya pada refleksi dua arah tentang arti dan pesan dari dunia dalam satu meja dan juga tentang konotasi angka "satu" sebagai yang ganjil dalam tataran pemahaman matematis. 

1. Satu yang pasti bahwa rangkaian cerita-cerita itu memberikan pesan bahwa duduk bersama dengan  orang lain membentuk sikap batin untuk belajar menghormati, memberikan perhatian, respek dan hal-hal positif lainnya.

2. Orang perlu menerima bahwa dunia global ini bisa diakses dalam satu ruang yang sama, transparansinya perlu dikembalikan agar manusia juga bisa belajar terbuka dan berbagi.

3. Satu hal atau satu ungkapan harus dikaji melalui sudut pandang yang berbeda untuk memunculkan nilai dan pesan-pesan lainnya yang belum diangkat ke permukaan realitas hidup di satu sisi dan bermakna edukatif pada sisi lainnya.

Salam berbagi, ino, 23.10.2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun