Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cara Mengubah Suasana Kerja yang Penuh Tantangan

17 Maret 2021   11:54 Diperbarui: 17 Maret 2021   15:09 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap hari sudah pasti seseorang berkomunikasi dengan banyak orang, apakah itu komunikasi langsung, maupun komunikasi melalui berbagai macam media. Otomatis dalam setiap momen komunikasi itu berisikan tema-tema percakapan. Umumnya mulai dari tema kerja, pendidikan, rumah tangga, politik, bencana banjir, hutang, korupsi, ghosting, baper, prank, kepo, dll. Tentu ada beragam tema yang menjadi hidangan percakapan setiap orang bersama dengan lawan bicaranya setiap hari. 

Dari sekian tema yang dibicarakan entah langsung maupun tidak langsung, orang akan menjumpai keluhan tentang suasana di tempat kerja. Sekurang-kurangnya berangkat dari kesadaran dan pengamatan pribadi dalam hidup bersama dalam satu rumah. Sebenarnya mudah sekali untuk tahu dalam kesempatan apa suasana rumah atau bahkan di tempat kerja itu berubah. Perubahan suasana itu terjadi karena seseorang berjumpa dengan realitas lain, yang tentu tidak diharapkannya.

Oleh karena begitu seringnya tayangan tentang persoalan, masalah dunia ini, suatu saat saya mengundurkan diri untuk tidak mendengar dan menonton berita itu. Memang sih, waktu itu pikiran saya menjadi jauh lebih tenang. Teman saya orang Eropa pernah dalam tutur bahasa aslinya, dia berkata begini: Mein Gott, ueber alle sehen die Menschen nur komplizierte Dinge atau Oh Tuhan, di mana-mana manusia melihat hanya persoalan-persoalan. Meskipun dia mengatakan seperti itu, dia tetap saja menonton dan mengikuti semua berita itu. Ya, saya sih kagum sekali dengan orangtua yang sudah berusia 82 tahun itu. 

Saya akhirnya menyadari hal yang penting ini: Usia dan kematangan pribadi seseorang tentu berbeda-beda. Usia dan kematangan cara berpikir pasti juga ada hubungannya. Suatu waktu, saya memberanikan diri untuk bertanya padanya, mengapa ia tidak menghindari dari berita tentang persoalan-persoalan itu. Jawabannya sangat mengejutkan saya. Saya terjemahkan langsung saja: Tidak tahukah kamu bahwa saya seorang imam Karmelit yang dipanggil Tuhan untuk berdoa bagi dunia dan orang-orang yang punya persoalan? Waktu itu saya menjadi tahu bahwa ia sungguh seorang Karmelit. Ya, para Karmelit memang dipanggil untuk menghayati kharisma hidup mereka yang berdoa, bersaudara dan melayani. Ia bertanya kepada saya, sampai saya menjadi kapok pada waktu itu. Katanya, "Ayo katakan kepada saya, di mana di dunia ini yang tidak punya persoalan?" Saya terkejut setelah mendengar pertanyaan yang keras dan tajam itu.

Saya hanya bisa berdiri kaku sampai lama terdiam saja. Lalu saya coba berargumentasi seperti ini: Memang di mana saja sih ada persoalan, ada saja hal yang rumit, ya di mana-mana. Maksud saya bahwa orang sudah tahu bahwa di mana-mana ada persoalan, tetapi orang tidak harus  membicarakan lagi di kamar makan lalu di ruang rekreasi atau dalam setiap perjumpaan pribadi dengan orang rumah itu dibicarakan lagi. Kan masih banyak sekali tema kehidupan ini.

Nah, sebagian besar orang tidak menyadari bahwa gara-gara keseringan menyebut kata rumit atau persoalan, akhirnya pikiran diseret masuk ke dalam persoalan. Akan tetapi, menariknya bahwa dia masih sempat juga menjelaskan hal yang bagi saya sangat bijak: Jika kamu tidak melihat kenyataan dunia, maka kamu akan kehilangan simpati. Jika kamu tidak mendengar tentang persoalan dunia, kamu pasti tidak punya hati peduli dan jika kamu sama sekali tidak punya rasa tertarik dengan persoalan dunia, maka hatimu hanya akan penuh dengan ambisi dirimu saja. Saya akhirnya berterima kasih kepadanya karena jawabannya yang bagi saya bijaksana dan bisa mendatangkan inspirasi bagi hidup saya.

Hari ini, ketika gerimis selesai, saya menatap dari dalam kamar saya yang sepi menembusi kaca bening ke luar, di mana pihak petugas parkir sedang memperhatikan mobil-mobil yang parkir di samping kamar saya. Terdengar ada diskusi kecil, hanya karena seseorang memarkir mobil tanpa membayar karcis parkiran otomatis. Lagi-lagi rumit ni. Kata hati saya, kenapa sih, semakin saya tidak ingin melihat hal yang rumit, malah saya diperlihatkan lebih sering lagi hal rumit atau persoalan.

Kepalaku jadi nyut-nyut hanya karena satu kata itu. Rumit...rumit..rumit. Saya akhirnya berusaha menyepi sejenak ke sungai Rhein. Ya, halusnya mencari kesunyian diri dan berusaha menggantikan kata rumit dan atau persoalan dengan keindahan, sepi di sungai Rhein. Saat saya senang-senangnya memotret Rhein yang mengalir hening, terdengar pesan masuk. Karena penasaran, saya akhirnya berusaha membaca pesan itu, OMG... apa yang tertulis? Di dalam pesan itu tertulis seperti ini: Aneh tukangnya, kerjanya tidak becus, rusak semua barang-barangnya. Masalah baru lagi. Tidak ada akhirnya nih.

Saya berdiri persis pada pagar dinding sungai Rhein sambil terus berusaha memahami kejadian-kejadian hari ini. Ya mulai dari diskusi, sampai ke pesan-pesan pribadi, berita. Rasanya pesan dan informasi tentang keluhan di tempat kerja tidak pernah berakhir. Pertanyaan yang penting setelah bergulat dengan perjumpaan dengan realitas hidup dan segala macam persoalannya adalah cara pandang seperti apakah agar orang bisa mengubah suasana di tempat kerjanya atau di rumahnya dan agar orang tidak pernah merasa bahwa hidup ini seperti dikejar persoalan atau masalah?

Ada 2 cara pandang yang bisa saya utarakan berdasarkan pengalaman pribadi selama ini:

1. Berani memiliki cara pandang yang beda dari yang sudah biasa-biasa (Belajar dari sang lebah madu)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun