Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apa Pesan Ketika Orang Lupa Kacamata Riben?

24 Februari 2021   04:28 Diperbarui: 24 Februari 2021   10:02 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu perjalanan tanpa rencana jauh hari sebelumnya, memang mudah menimbulkan kesan terburu-buru, bahkan mudah membuat orang lupa. Lupa apa saja tentunya, bahkan bisa lupa hal-hal yang sebenarnya sangat penting. Umumnya, lupa bisa dikaitkan langsung dengan usia. Orang biasa mengatakan seperti ini, "kamu lupa ya, oh... itu artinya kamu sudah gak muda lagi." Aneh juga sih, kenapa lupa dikaitkan dengan usia seseorang, padahal orang yang masih muda pun bisa juga lupa. Nah, ini yang perlu dibedakan, antara lupa pada usia tua dan lupa ketika masih berusia muda. 

Lupa pada usia tua yang keseringan lupa, artinya mungkin lebih karena pikun. Meskipun demikian, tidak selalu lupa pada usia tua itu berarti sudah pikun. Saya punya beberapa kisah ini: Pada tahun, 2009 saya pernah mengunjungi salah satu rumah jompo di kota Malang, waktu itu saya bertemu dengan seorang bapak yang sudah berusia 84 tahun. Pertemuan pertama langsung dengan perkenalan singkat. Setelah itu, saya langsung menyalami teman yang lainnya, ketika lima menit berlalu, saya berjalan kembali ke arah bapak yang berusia 84 tahun itu, ia mengulurkan tangannya dan bertanya, "kamu nama siapa?" Saya akhirnya sekali lagi memperkenalkan diri. Demikian juga pada waktu makan, saya duduk di sampingnya, dia bertanya lagi, "kamu nama siapa?" Waktu itu saya menjadi sadar, bahwa perjuangan yang terberat ketika bertemu orang tua yang bertanya berulang-ulang dengan pertanyaan yang sama adalah belajar menjadi sabar dan mengerti tanpa menertawakannya. Berat bukan?

Jauh lebih baik menertawakan diri sendiri ketika sadar sering lupa, daripada menertawakan orang lain yang lupa, apalagi cuma sekali.

Hari ini saya berhasil menertawakan diri saya sendiri gara-gara lupa. Sebetulnya, saya sudah tahu bahwa suhu dan cuaca hari ini lumayan panas, ya, berkisar antara 16-17 ° Celsius. Apalagi kota tujuan perjalanan saya terletak di wilayah Timur. Artinya, masuk akal bahwa pagi-pagi saya akan berhadapan dengan matahari pagi dari timur dan perjalanan pulang pasti berhadapan dengan matahari dari barat. Apa yang paling saya butuhkan untuk melindungi mata saya, tentunya riben, kaca kusam tembus cahaya yang bersifat meneduhkan atau meredupkan cahaya matahari yang menyilaukan. Akan tetapi, mengapa saya lupa?

Saya tidak bisa juga mempersalahkan diri sendiri, lebih baik menertawakan diri sendiri dan menuliskan tentang lupa. Saya percaya kejadian hari ini membuat saya menemukan tema baru untuk tulisan baru lagi. Jacques Derrida adalah salah satu filsuf abad ke-20 yang paling terkenal. Derrida juga salah satu yang paling produktif. Menjauhkan diri dari berbagai gerakan filosofis dan tradisi yang mendahuluinya di dunia intelektual Prancis (fenomenologi, eksistensialisme, dan strukturalisme), ia mengembangkan strategi yang disebut "dekonstruksi" pada pertengahan 1960-an. Gagasan yang menarik dari Derrida terkait pengalam saya adalah "kita menuliskan sesuatu karena kita mungkin segera melupakannya, atau untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada seseorang yang tidak bersama kita." (bdk. de.m.wikipedia.org)

Kita lupa agar bisa mengingat hal-hal baru.

Lupa akhirnya saya ubah jadi suatu hadiah yang indah. Mengapa demikian? Ada seorang ahli saraf di Institut Leibniz untuk Neurobiologi di Magdeburg, Magdalena Sauvage menulis seperti ini: "Kita lupa agar bisa mengingat hal-hal baru."(bdk. dasgehirn.info). Saya sungguh bersyukur hari ini, karena pengalaman lupa saya hari ini, membuat saya tidak hanya ingat hal-hal baru, tetapi juga mengetahui hal-hal baru. Sekurang-kurangnya dari ahli sarat Magdalena Sauvage, saya akhirnya tahu bahwa  memudarnya ingatan berasal dari kenyataan bahwa ingatan kita itu didistribusikan melalui jaringan otak. Dan bahwa ingatan jangka panjang disimpan di korteks serebral. Sedangkan kenangan pertama yang masih segar dibuat di hipokampus yang kemudian ditimpa dalam bentuk gabungan  di korteks. Akan tetapi, hipokampus itu penting untuk mengingat masa lalu. Wah susah ni, kayanya butuh para dokter yang bisa menjelaskan lebih baik dan mendetail lagi. Tapi, jujur ini hal baru buat saya. Meskipun demikian, menariknya bahwa Sauvage mengatakan beberapa hal ini: 

1. Seberapa baik kita mengingat, bagaimanapun, juga tergantung pada seberapa kuat jejak ingatan kita.

2. Orang yang stres tidak mengingat banyak dan lebih cepat lupa.  Hal ini karena hormon  stres, kortikosteroid memastikan bahwa dendrit di antara sel-sel saraf menjadi layu, bahkan bisa saja kematian sel saraf itu terjadi.

3. Semakin kita mencoba mengingat, semakin kurang akurat ingatannya. Hal ini menurut Sauvage terjadi karena ingatan ditimpa pada saat usaha kita untuk mengingat. 

Semua ini gara-gara lupa, kata hati saya.  Namun kali ini, saya tidak akan lupa merefleksikan apa makna dibalik kaca kusam tembus cahaya yang bersifat meneduhkan (riben) yang saya lupa itu. Sejenak saya terdiam, saya membaca pesan-pesan sms hari ini dari teman-teman saya. Dari sekian banyak pesan itu ada juga cerita tentang salah paham. Tanya hati saya: apakah saya harus buat klarifikasi secepatnya? Jujur, rasanya saya agak kecewa. Setelah tiba di rumah,  saya mengambil kembali riben hitam saya, lalu saya mengenakan sebentar sambil melihat keluar. Matahari masih ada, di luar masih terang, tetapi melalui riben ini, akhirnya jadi teduh bahkan damai dan aman. Pada waktu itulah, saya mulai diberikan pengertian agar dalam suatu persoalan, saya perlu juga mengenakan kaca kusam yang tembus cahaya yang meneduhkan. Teori sederhana ini, saya simpan di otak. Lalu saya coba bertanya tentang kejelasan salam paham itu pada orang lain yang betul mengorganisir semuanya. Anehnya, pada waktu itu saya diberi saran supaya biarkan jadi teduh dan tenang tanpa klarifikasi yang tegas. So wie so mereka orangtua yang bisa juga lupa. Lagi-lagi lupa. Ya, lupa agar bisa mengingat hal-hal baru. Kata-kata ini sungguh menolong saya untuk melihat pengalaman lupa dalam keseharian hidup saya dengan kaca mata kusam yang tembus cahaya, tetapi juga meneduhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun