Mohon tunggu...
inna dalilah
inna dalilah Mohon Tunggu... Guru - Kepsek SDN 16 Singkawang

travelling, punya beberapa buku pribadi dan antalogi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Guru Tak Bertuan

2 Februari 2023   11:43 Diperbarui: 2 Februari 2023   11:57 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Baiklah Bu Dewi, saya minta ibu mau menerima tawaran saya ini." jawab bu Dina penuh harap. Akhirnya kami bertiga  meninggalkan ruang Bu Dina. Tak lama kemudian aku pergi menemui temanku. Aku mendapat info bahwa  sekolahnya memerlukan guru kelas, menggantikan guru yang sudah purnatugas. Aku segera menemui kepala sekolahnya, Bu Ida. Setelah berbincang sejenak, alhamdulillah aku diterima menjadi guru kelas di sekolah Bu Ida. Aku sedikit lega.

Keesokan harinya aku dipanggil lagi oleh Bu Dina.

"Bu Dewi, saya punya kabar gembira. Guru GTT yang akan ditugaskan ke sekolah kita hanya dua orang, yang satu dipinta oleh pak Gunawan. Dia butuh guru karena gurunya sudah sangat minim. Jadi Bu Dewi bisa tetap mengajar di kelas VI," berkata Bu Dina dengan senyum sumringah. Aku tersentuh melihat pandangan matanya yang menatap penuh cinta. Layaknya cinta seorang ibu terhadap anaknya.

"Maafkan saya, Bu. Saya sudah diterima di sekolah Bu Ida. Saya dapat kabar dari teman saya,  bahwa di sekolahnya memerlukan seorang guru kelas, dan saya diterima untuk mengabdi di sana. Meski berat rasanya untuk meninggalkan rekan-rekan guru yang ada di sini, tapi saya butuh kejelasan posisi saya," jawabku perlahan.

"Bukankah sudah saya katakan, agar Bu Dewi sedikit bersabar. Jangan gegabah meningggalkan sekolah ini sebelum SK Pengangkatan Guru GTT terbit," berkata Bu Dina dengan nada suara yang sedikit meninggi. Terlihat ada setitik amarah di sana.

"Sekali lagi maafkan saya, Bu. Saya sudah terlanjur menerima tawaran untuk mengajar di sekolah Bu Ida. Tidak mungkin saya mencabut kembali surat permohonan saya," jawabku terbata-bata.

"Kalau sudah demikian keputusanmu, saya tidak berhak untuk menahan kepergian Bu Dewi. Ibu berhak menentukan masa depan ibu sendiri. Saya paham dengan kondisi ibu," terdengar suara Bu Dina tak berdaya.

"Terimakasih atas pengertian ibu. Terimakasih juga atas bimbingan ibu kepada saya selama ini. Kebaikan ibu tidak akan pernah saya lupakan Bu," jawabku sambil meneteskan airmata yang sudah lama kutahan. Aku berdiri dan memeluk Bu Dina. Dekapannya begitu hangat, membuat aku merasa teduh di dalamnya. Dia adalah sosok kepala sekolah yang arif,  bijaksana, dan mengayomi.

"Saya pamit Bu,." kataku tersendat pilu.

"Baiklah Bu Dewi. Semoga kamu sukses di sekolah yang baru," jawab Bu Dina lembut. Akupun pergi meninggalkan ruangan Bu Dina. Segera kukemaskan bukuku dan pamit dengan semua personil yang ada. Tangis tak dapat dielakkan lagi. Inilah nasib guru honor sepertiku. Tidak punya kejelasan yang pasti. Bagai Guru tak bertuan

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun