“Hahahay, Jayyy” Mata Rita membesar mendengar jawabanku. “Trus??” Kejarnya.
“Jujur, sebenarnya aku justru takut kalau-kalau dia memiliki pula rasa seperti saya merasakannya. Untuk apa? Aku tak lagi sendiri, begitupun dengan dia. Aib, dosa, impossible," kataku
“Welleh, beneran? bukannya kamu suka tantangan? Sekali lagi Rita belum menagkap nelangsa teramatku.
“Hush, aku serius tau?”
“Weits, kalian mau refresh apa berantem sih?” Raihan buru-buru menengahi dengan mimik jenakanya.
"Si Rita tuh. Jelek-jelek begini aku adalah seorang suami dan ayah yang baik bagi anak-anak dan istriku. Merekalah segalanya cinta, rindu dan tanggungjawabku”.
“Teorimu Jay, bagaimanapun ketika seorang suami atau seorang istri yang merindukan sosok perempuan lain dalam benaknya, itu tetap saja selingkuh namanya” Rita tetap teguh pada paradigma perempuan kebanyakannya.
“Menurutku tergantung dari bagaimana sesorang itu meng-implementasikan kerinduannya. ‘Selingkuh’ dalam batas-batas tertentu itu tidak masalah,” elakku sambil mencolek Raihan. “Tapi??” Rita hendak membantahku tetapi buru-buru Raihan angkat bicara.
“Benar kata Jay, sayang. Pernah dengar cerita dua laut yang mengalir berdampingan yang satu tawar dan yang lainnya asin tetapi di antara keduanya ada dinding dan batas yang menghalanginya, bukan? Nah, andaikan hati Jay dan hati dia dua lautan yang mengalir dan bertemu tetapi tidaklah menyatu karena terhalang oleh sebuah batas dimana keduanya tidak saling melampaui, maka haruskah mereka dustakankah nikmat Tuhan itu?”
Sejenak kami bertiga terdiam. Aku sendiri larut dalam memikirkan analogi yang diangkat Raihan barusan. Angin laut berhembus meniup daun-daun vinus, api unggun yang kami buat sudah mulai redup. Tetapi diskusi kami semakin hangat seolah hendak menemani bulan sampai pagi. “Benar, kan?? dalam konteks dua laut tadi, kenapa tidak?? Raihan kembali menegaskan.
“Wallah, teori pembenaran” Sela Rita mulai sinis pada paparan Raihan.