Mohon tunggu...
Ramzy Atsil
Ramzy Atsil Mohon Tunggu... Mahasiswa

saya seorang mahasiswa tingkat akhir di Universitas Jenderal Soedirman. Jurusan yang saya ambil adalah Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebisingan yang Dikelola Algoritma dan Hilangnya Otonomi dalam Mendengarkan Musik Elektronik

11 Oktober 2025   00:09 Diperbarui: 11 Oktober 2025   00:41 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendahuluan

Saya masih ingat dengan jelas bagaimana saya pertama kali mengenal musik elektronik. Saat itu saya masih duduk di bangku kelas 5 SD. Kakak saya sering menggunakan lagu-lagu dengan dentuman cepat dan melodi sintetis sebagai alarm pagi. Awalnya saya merasa suara itu aneh, bahkan sedikit mengganggu. Namun lama-kelamaan, saya justru mulai menikmati ritmenya. Titik baliknya terjadi ketika saya menonton sebuah video reaction di YouTube bersama teman saya, di sana terdengar sebuah lagu yang membuat saya benar-benar terpikat. Saya belum tahu apa itu "EDM", tetapi sejak saat itu, saya seperti menemukan bahasa musik yang paling cocok dengan diri saya. Bahkan sampai saya berumur 21 tahun ini, saya masih mendengarkannya setiap hari. Tetapi kini, pengalaman mendengarkan musik terasa berbeda. Di tengah banjir rekomendasi dari Spotify dan YouTube, saya mulai bertanya-tanya: apakah saya benar-benar memilih musik saya sendiri, ataukah algoritma yang memilihkan untuk saya? Pertanyaan ini membawa saya pada refleksi yang lebih dalam tentang bagaimana sistem digital mengatur cara kita menikmati seni. Musik yang dulunya terasa bebas dan eksperimental kini perlahan dikurasi, dioptimalkan, dan dikomodifikasi dalam logika algoritmik yang menata selera kita secara halus namun nyata.

Kurasi Algoritmik

Dalam dunia musik digital hari ini, hampir setiap lagu yang saya dengar diatur oleh sistem yang bekerja secara diam-diam, yang biasa disebut dengan algoritma. Spotify, YouTube, dan berbagai platform streaming lain kini menjadi semacam kurator otomatis yang menentukan apa yang saya dengarkan selanjutnya. Di satu sisi, sistem ini terasa membantu, saya tidak perlu lagi mencari lagu baru satu per satu, karena rekomendasi datang dengan sendirinya. Namun di sisi lain, saya mulai menyadari bahwa kemudahan ini justru mengubah cara saya berinteraksi dengan musik. Saya tidak lagi menelusuri musik berdasarkan rasa ingin tahu, tetapi mengikuti pola yang diciptakan oleh sistem yang mengenal saya melalui data. Penelitian menunjukkan bahwa algoritma rekomendasi semacam ini perlahan mempersempit keberagaman musik yang dikonsumsi pendengar, karena lebih sering menampilkan lagu-lagu yang "aman" atau serupa dengan preferensi sebelumnya. Akibatnya, selera musik menjadi semakin homogen, dan peluang bagi genre eksperimental atau seniman baru untuk muncul semakin kecil. Dalam konteks musik elektronik, efek ini terasa jelas: banyak lagu EDM kini terdengar serupa, disusun dengan pola ritmis dan drop (kalau dalam lagu vokal disebut reff) yang hampir identik, seolah diciptakan bukan oleh seniman, tetapi oleh rumus pasar. Kurasi algoritmik yang awalnya dimaksudkan untuk personalisasi justru menciptakan paradoks: kita merasa semakin dikenali, tetapi sebenarnya semakin dikontrol. Musik yang dulu menjadi ruang kebebasan kini dikurasi oleh sistem yang tak terlihat - mengubah proses mendengarkan menjadi rutinitas yang diprediksi, bukan lagi petualangan yang spontan.

Otonomi Musik

Sebagai pendengar EDM sejak SD, saya merasakan perubahan halus tetapi nyata, yaitu otonomi mendengarkan, kemampuan kita memilih musik berdasarkan rasa, eksperimen, dan penemuan pribadi, sedang terkikis. Di level produksi, platform streaming dan logika playlist memberi insentif ekonomi untuk lagu yang "mudah ditempatkan": durasi ramah playlist, drop yang cepat, hook yang mudah dikenali. Akibatnya, banyak produser muda yang menyesuaikan komposisi bukan semata demi ekspresi artistik, tetapi untuk meningkatkan peluang masuk ke playlist popular - suatu mekanisme yang literatur kritis identifikasi sebagai efek rekomendasi algoritmik pada produksi musik.

Di level konsumsi, algoritma yang dipuji karena "mempermudah penemuan" juga berfungsi sebagai filter pasar, ia menawarkan variasi yang terasa personal, namun dalam praktik sering mengulangi pola yang serupa sehingga mengerucutkan ragam artistik yang benar-benar terekspos ke publik. Studi empiris dan laporan literatur menemukan bukti bahwa rekomendasi algoritmik berkontribusi pada turunnya keanekaragaman konsumsi musik, bukan hanya bagi pendengar umum, melainkan juga dalam statistik penemuan karya-karya eksperimental.

Untuk EDM khususnya, tren "formula" ini tampak jelas: banyak trek baru menulis ulang struktur yang sama, intro yang panjang dihapus, build cepat, drop yang terdengar mirip, seakan-akan genre ini dioptimalkan bukan untuk ruang dansa atau eksperimen sonik, tetapi untuk metrik platform. Kritik-jurnalisme dan komunitas artis telah mencatat homogenisasi ini sebagai fenomena yang dipacu oleh algoritma playlist dan logika monetarisasi platform.

Lebih mengkhawatirkan, praktik platform, termasuk kontroversi tentang konten AI atau "fake artists" yang memenuhi katalog, mengancam ekosistem pendapatan musisi dan menambah kebisingan pasar, sehingga ruang bagi produksi orisinal semakin sempit.

Namun gambaran itu tidak sepenuhnya deterministik. Bahkan platform seperti Spotify mengakui kompleksitas efek algoritma: penelitian internal menyatakan bahwa rekomendasi dapat meningkatkan keterlibatan, tetapi interaksi jangka panjang antara algoritma dan perjalanan rasa pendengar masih belum jelas. Artinya, otonomi mendengarkan tidak harus hilang total, tapi untuk mempertahankannya kita butuh literasi algoritmik, kebijakan platform yang melindungi ruang kreatif, dan tindakan sadar dari pendengar agar pengalaman mendengarkan kembali menjadi eksplorasi, bukan sekadar hasil prediksi.

Pada akhirnya, musik selalu punya dua sisi: sebagai ekspresi dan sebagai komoditas. Di era digital, keduanya hidup berdampingan namun tidak seimbang. Di satu sisi, teknologi memungkinkan saya menikmati jutaan lagu hanya dengan satu sentuhan. Tetapi di sisi lain, kebebasan itu terasa semu, karena apa yang saya dengarkan, bagaimana saya mendengarkannya, dan bahkan apa yang saya sukai, kini banyak ditentukan oleh sistem yang tidak terlihat. Saya menyadari bahwa algoritma bukan musuh, tetapi ia menciptakan pola kebiasaan yang halus, membuat kita nyaman dalam lingkaran rasa yang sama. Dalam konteks musik elektronik, di mana eksplorasi dan kebaruan seharusnya menjadi jantungnya, situasi ini menjadi paradoks: kemajuan teknologi justru mengancam semangat eksperimentasi yang dulu membuat genre ini hidup.

Bagi saya, mempertahankan otonomi mendengarkan berarti belajar untuk sesekali keluar dari rekomendasi algoritma, mencari musik secara manual, mendukung produser kecil, dan memberi ruang bagi ketidakterdugaan. Kita perlu mengingat bahwa musik bukan hanya tentang angka pemutaran atau posisi dalam playlist, tetapi tentang pengalaman emosional yang membentuk identitas dan kebebasan kita sebagai manusia. Mungkin, dalam kebisingan digital yang kini dikelola oleh algoritma, bentuk perlawanan paling sederhana adalah mendengarkan secara sadar: memilih dengan rasa, bukan hanya dengan data.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun