Ketentuan Umum PPh Pasal 23
Definisi dan Subjek Pajak. PPh Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak Dalam Negeri (WP DN) atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang bersumber dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah. Dengan kata lain, PPh 23 menyasar penghasilan di luar gaji/upah karyawan (yang merupakan objek PPh 21). Subjek pajak yang dikenai PPh 23 adalah penerima penghasilan (WP DN atau BUT), sedangkan pihak pemotong pajak adalah individu atau badan yang membayarkan penghasilan tersebut
Objek PPh Pasal 23 dan Pengecualiannya
Objek PPh 23 meliputi berbagai jenis penghasilan, di antaranya imbal hasil modal (misalnya dividen, bunga, royalti) dan imbalan jasa (misalnya jasa teknis, jasa manajemen, jasa konsultan), serta hadiah atau penghargaan yang diterima WP DN/BUT. Sedangkan Tarif PPh Pasal 23 bervariasi menurut jenis penghasilan. Sebagai contoh, tarif umum untuk dividen, bunga, dan royalti adalah 15% Â dari jumlah bruto, sedangkan tarif atas imbalan jasa tertentu (seperti jasa konsultan, teknik, manajemen) adalah 2% Â dari jumlah bruto. Penting dicatat bahwa apabila penerima penghasilan tidak memiliki NPWP, tarif PPh 23 menjadi lebih tinggi 100%Â daripada tarif normal. Ketentuan ini mendorong para penerima penghasilan untuk memiliki NPWP agar tidak dikenai tarif lebih besar. Pemotongan PPh 23 dilakukan atas jumlah bruto penghasilan sebelum PPN (jika ada), sehingga dasar pengenaan pajaknya adalah keseluruhan pembayaran bruto.
Landasan hukum penerapan PPh Pasal 23 adalah Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008, khususnya pasal yang mengatur pemotongan oleh pihak ketiga, serta peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 141/PMK.03/2015 yang mengatur lebih lanjut tentang ketentuan pemotongan PPh Pasal 23. Ketentuan ini memberikan definisi objek pajak, tarif, tata cara pemotongan, penyetoran, serta pelaporan PPh 23. Dengan berpedoman pada regulasi tersebut, Wajib Pajak pemotong dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai aturan yang berlaku.
Pengecualian (Penghasilan yang Tidak Dipotong PPh 23). Terdapat beberapa jenis pembayaran yang tidak dikenakan PPh Pasal 23 sesuai ketentuan yang berlaku, di antaranya:
- Penghasilan yang telah dikenai pajak final. Pembayaran kepada Wajib Pajak atas penghasilan yang sudah dikenai PPh final.
- Dividen antar perusahaan dalam negeri tertentu. Dividen yang dibagikan oleh suatu perseroan terbatas kepada perusahaan lain di dalam negeri tidak dipotong PPh 23 apabila penerima dividen memiliki kepemilikan saham 25% pada perusahaan yang membayar dividen.
- Pembayaran kepada Pemerintah atau badan tertentu. Pembayaran atas objek PPh 23 kepada pihak Pemerintah, BUMN tertentu, atau bank umumnya dikecualikan dari pemotongan PPh 23. Ketentuan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa institusi tersebut memiliki perlakuan perpajakan tersendiri atau mekanisme berbeda dalam pemenuhan pajaknya.
Pengecualian-pengecualian di atas perlu diidentifikasi sebelum melakukan pemotongan. Dengan mengetahui jenis penghasilan yang dikecualikan, perusahaan dapat menghindari pemotongan yang tidak semestinya dan memastikan kepatuhan sesuai aturan. Sebaliknya, untuk penghasilan yang merupakan objek PPh 23, perusahaan harus menerapkan pemotongan sesuai tarif dan ketentuan yang berlaku.
Perhitungan dan Pemotongan PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 dihitung dengan cara mengalikan tarif yang berlaku dengan jumlah bruto penghasilan yang menjadi dasar pengenaan.
Rumus sederhananya:
PPh 23 terutang = Tarif PPh 23 x Jumlah Bruto Penghasilan
Studi Kasus 1: Pembayaran Jasa Konsultan
PT Andalan Jaya menggunakan jasa konsultan keuangan dari PT Solusi Finansial sebesar Rp 150.000.000 (belum termasuk PPN). PT Solusi Finansial memiliki NPWP yang valid.
Transaksi dilakukan pada tanggal 15 Maret 2025.
Pertanyaan:
- Berapa PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Andalan Jaya?
- Bagaimana jurnal akuntansi yang dicatat oleh PT Andalan Jaya?
- Kapan batas waktu penyetoran dan pelaporannya?
- Analisis strategi manajemen pajak yang dapat dilakukan
Dari kasus diatas maka dapat kita jawab sebagai berikut
- Perhitungan sederhana dapat dilihat pada kasus pembayaran jasa konsultan sebesar Rp150.000.000. Dengan tarif PPh 23 yang berlaku untuk jasa konsultan 2% (karena penyedia jasa ber-NPWP), PPh Pasal 23 yang harus dipotong adalah:
      Rp 150.000.000 x 2% = Rp 3000.000
Perhitungan di atas menunjukkan bahwa PT Andalan Jaya selaku pemotong akan memotong pajak Rp3.000.000 dan  membayarkan sisanya kepada penyedia jasa sebesar Rp 147.000.000.
- Jurnal akuntansi (PT Andalan Jaya)
Beban Jasa Konsultan (dr) Â Â Â Â Â Â Â Rp 150.000.000
            Utang PPh 23 (cr)               Rp 3.000.000
             Kas/Bank    (cr)             Rp 147.000.000
- Penyetoran dan Pelaporan
Setor PPh 23 ke kas negara paling lambat 10 April 2025. Lapor SPT Masa PPh 23 paling lambat 20 April 2025.
- Strategi Manajemen Pajak PPh Pasal 23
Manajemen pajak bertujuan untuk mengoptimalkan efisiensi beban pajak tanpa melanggar peraturan. Strategi manajemen pajak difokuskan pada upaya tax planning agar potongan PPh 23 yang terjadi tidak lebih tinggi dari yang seharusnya dan arus kas perusahaan dapat dioptimalkan. Beberapa strategi yang dapat diterapkan antara lain:
- Memanfaatkan ketentuan pengecualian atau tarif rendah. Perusahaan sebaiknya memahami dan mengatur transaksi sedemikian rupa agar memanfaatkan adanya pengecualian atau tarif PPh 23 yang lebih rendah. Misalnya, jika tersedia skema pendapatan yang sudah final atau rekanan dengan status yang menyebabkan transaksi bebas PPh 23, hal itu bisa dipertimbangkan selama sesuai aturan.
- Kontrak jasa yang spesifik dan jelas. Gunakan kontrak jasa yang rinci untuk memastikan jenis jasa yang diberikan teridentifikasi dengan tepat. Hal ini penting karena tarif PPh 23 bisa berbeda tergantung kategori jasa. Dengan kontrak yang jelas perusahaan dapat menghindari salah klasifikasi yang berpotensi dikenai tarif lebih tinggi karena ketidaktepatan identifikasi layanan.
- Memastikan rekanan ber-NPWP. Pastikan pihak penerima penghasilan memiliki NPWP sebelum pembayaran dilakukan. Strategi ini sangat krusial mengingat tanpa NPWP tarif PPh 23 naik 100%. Dengan meminta NPWP dan mencatatnya dalam dokumen transaksi, pemotong dapat menerapkan tarif normal (lebih rendah) sehingga menghemat beban pajak bagi kedua belah pihak.
- Pengaturan waktu pembayaran. Mengatur waktu atau pola pembayaran dapat menjadi strategi untuk efisiensi. Contohnya, jika memungkinkan secara komersial, pembayaran jasa bisa dijadwalkan pada periode yang menguntungkan secara pajak atau untuk mengoptimalkan arus kas.
Dengan strategi-strategi di atas, perusahaan dapat menekan beban PPh Pasal 23 secara legal. Inti manajemen pajak bukan menghindari pajak secara ilegal, melainkan mengatur transaksi agar efisien pajak dan memanfaatkan celah aturan yang memang diberikan. Tentu, semua upaya tersebut harus tetap sesuai peraturan dan disertai dokumentasi yang baik agar tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari.
Studi Kasus 2: PT Kreatif Nusantara (Jasa Pelatihan)
Kronologi Kasus: PT Kreatif Nusantara kerap menggunakan jasa pelatihan dari berbagai lembaga independen. Total pembayaran jasa pelatihan selama tahun 2025 mencapai Rp500.000.000. Diketahui bahwa sebagian mitra (penyedia jasa pelatihan) tidak memiliki NPWP, kira-kira 40%Â dari nilai kontrak melibatkan mitra tanpa NPWP. PPh Pasal 23 berlaku atas jasa pelatihan (termasuk kategori jasa lain-lain), sehingga PT Kreatif Nusantara harus menghitung berapa pajak yang dipotong dalam skenario yang berbeda terkait status NPWP para mitra.
Pertanyaan:
- Hitung potensi beban PPh Pasal 23 jika.
Semua mitra memiliki NPWP, dan bagaimana jika 40% mitra tidak memiliki NPWP
- Apa strategi manajemen pajak yang dapat diterapkan.
Dari kasus diatas makan dapat kita jawab sebagai berikut:
Perhitungan PPh Pasal 23:
- Skenario a) Semua mitra ber-NPWP. Jika 100% mitra memiliki NPWP, maka seluruh pembayaran Rp500 juta dikenai tarif PPh 23 sebesar 2%.
PPh 23 terutang = 2% x Rp500.000.000 = Rp10.000.000
Nilai ini merupakan total pajak yang harus dipotong PT Kreatif Nusantara untuk disetor ke negara apabila semua pihak menerima tarif normal.
- Skenario b) 40% mitra tanpa NPWP. Dalam situasi nyata perusahaan, 40% Â dari pembayaran dilakukan kepada mitra tanpa NPWP. Untuk bagian pembayaran kepada mitra ber-NPWP (60% Â dari Rp500 juta = Rp300.000.000), tarif 2%Â berlaku. Sedangkan untuk bagian pembayaran kepada mitra tanpa NPWP (40%Â dari Rp500 juta = Rp200.000.000). Tarif yang berlaku adalah 4% (naik 100%). Perhitungannya sebagai berikut:
- Pajak atas mitra ber-NPWP Â Â = 2% x Rp 300.000.000 = Rp 6.000.000
- Pajak atas mitra tanpa NPWP Â = 4% x Rp 200.000.000 = Rp 8.000.000
- Total PPh 23 terutang = Rp6.000.000 + Rp8.000.000 = Rp 14.000.000.
Dari perhitungan di atas, tampak bahwa beban PPh 23 meningkat menjadi Rp14 juta jika 40% mitra tidak ber-NPWP, dibandingkan Rp10 juta jika semua mitra ber-NPWP. Selisih Rp 4.000.000 ini merepresentasikan biaya pajak tambahan yang harus ditanggung akibat status non-NPWP pada sebagian rekanan. Bagi PT Kreatif Nusantara, tambahan beban pajak ini bisa berarti pengurangan laba atau perlu dinaikkan harga kontrak untuk menutupinya, sehingga menjadi kurang efisien.
Berdasarkan kasus di atas, strategi utama yang dapat diterapkan PT Kreatif Nusantara adalah memastikan sebanyak mungkin mitra memiliki NPWP. Langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain:
- verifikasi NPWP mitra kerja sebelum melakukan pembayaran
- Perusahaan dapat meminta salinan NPWP saat onboarding mitra atau sebelum kontrak ditandatangani. Selanjutnya, mencantumkan klausul kewajiban pajak dalam kontrak juga penting, misalnya kewajiban bagi mitra untuk menyediakan NPWP yang aktif sebagai syarat pembayaran penuh.
- Menyertakan klausul kewajiban Pajak. Dengan begitu mitra terdorong untuk mendaftarkan diri ke kantor pajak jika belum memiliki NPWP.
- Strategi lain adalah memilih mitra yang berstatus PKP (Pengusaha Kena Pajak) dan memiliki rekam jejak kepatuhan pajak. Meskipun status PKP terkait PPN, hal ini biasanya beriringan dengan kepemilikan NPWP dan kesadaran administrasi pajak yang lebih baik.
- PT Kreatif Nusantara dapat melakukan edukasi atau sosialisasi kepada mitra-mitranya tentang pentingnya NPWP dan kepatuhan pajak, sehingga kedua belah pihak sama-sama diuntungkan (mitra tidak kena tarif lebih tinggi, dan perusahaan pemotong tidak menanggung beban lebih besar atau risiko sanksi). Melalui langkah-langkah ini, PT Kreatif Nusantara dapat menurunkan beban PPh 23 secara legal, terbukti pada skenario di mana semua mitra ber-NPWP beban pajak turun sekitar 28,6% dibanding skenario banyak mitra tanpa NPWP (dari Rp14 juta menjadi Rp10 juta).
Episteme Kesadaran Organisasi dalam Pengelolaan PPh Pasal 23 (Teori Cooper--Hawkins)
Selain aspek teknis dan perhitungan, pengelolaan pajak (termasuk PPh Pasal 23) dapat ditinjau dari sudut pandang episteme atau tingkat kesadaran organisasi. Dua teori yang relevan di sini adalah teori tingkat kesadaran dari David R. Hawkins dan Color Code tingkat kewaspadaan situasional dari Jeff Cooper. Sintesis kedua perspektif ini memberikan wawasan kritis mengenai bagaimana tingkat kesadaran organisasi memengaruhi perilaku kepatuhan dan strategi manajemen pajak.
Kerangka Hawkins - Force vs. Power: David R. Hawkins (2020) memetakan tingkat kesadaran manusia pada skala 1 hingga 1000 dalam karyanya The Map of Consciousness Explained. Menurut Hawkins, terdapat dua ambang utama yaitu
- Level 20 -> 175 yang disebut tingkat Force (kuasa negatif). Perilaku digerakkan oleh ego, rasa takut, atau dorongan defensif
- Level 200-> 1000 yang disebut Power (kuasa positif). Perilaku digerakkan oleh kesadaran, kebenaran, dan kasih. "Force always moves against something; Power simply is." Â Hawkins, 2020.
Kerangka Hawkins ini dapat diterjemahkan sebagai kepatuhan yang didorong oleh ketakutan (force) versus kepatuhan yang didorong oleh kesadaran moral (power). Pada tingkat kesadaran rendah (Force), sebuah organisasi mungkin patuh pajak semata karena takut sanksi atau pemeriksaan (patuh karena takut diperiksa). Perilaku pajak di level ini cenderung reaktif dan minimalis. Sebaliknya, pada tingkat kesadaran tinggi (Power), organisasi memandang kepatuhan pajak sebagai bagian dari integritas dan tanggung jawab sosial. Strategi manajemen pajak yang baik mencerminkan pergeseran episteme dari Force menuju Power, dari sekadar kepatuhan defensif menuju kepatuhan yang lahir dari kesadaran moral dan rasional.
Kerangka Jeff Cooper, seorang pakar keamanan, mengembangkan Color Code untuk menjelaskan tingkat kewaspadaan situasional manusia, yang diadaptasi pula dalam konteks kesadaran organisasi. Color Code Cooper membagi tingkat kewaspadaan mental ke dalam tahap bertingkat berwarna: White, Yellow, Orange, Red (dan kadang black) .
- White (Putih): Kondisi tanpa kewaspadaan dimana individu/organisasi tidak menyadari potensi ancaman atau masalah. Dalam analogi pajak, level white menggambarkan organisasi yang acuh atau tidak memiliki kontrol internal terhadap urusan pajak.
- Yellow (Kuning): Kondisi siaga rendah dimana individu/organisasi mulai "membuka mata" terhadap lingkungan sekitar dalam konteks pajak, organisasi di level Yellow mulai menyadari kewajiban pajak dan potensi risiko.
- Orange (Oranye): Kondisi siaga tinggi dimana individu/organisasi sudah ada kewaspadaan aktif dan upaya selektif menghadapi potensi ancaman. Secara analogi, pada level orange organisasi bertindak lebih proaktif dalam menetapkan standar kepatuhan yang jelas dan melakukan tindakan pencegahan.
- Red (Merah): Kondisi siaga penuh dimana individu/organisasi siap menghadapi ancaman secara tegas dan sistematis. Pada tahap tertinggi ini, organisasi bersikap sangat waspada dan responsif terhadap setiap isu pajak. Semua kebijakan internal diarahkan untuk memastikan kepatuhan.
- Black (Hitam) biasanya melambangkan kondisi panik atau sistem kolaps, yang diharapkan tidak terjadi dalam pengelolaan pajak.
Melalui analogi White Red di atas, dapat dilihat peningkatan tingkat kesadaran pajak organisasi, dari yang abai menjadi waspada penuh. Pergerakan ini sejalan dengan peningkatan kualitas strategi pajak. Pada level White-Yellow, tindakan seperti verifikasi NPWP atau klausul pajak mungkin dilakukan secara sporadis (opsional), sementara di level Orange-Red tindakan tersebut menjadi kebijakan baku yang tegas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI