Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Perda AIDS Indramayu: Tidak Menukik ke Realitas Sosial terkait HIV/AIDS

30 Juli 2011   02:09 Diperbarui: 16 Juli 2015   22:34 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi hiburan malam di Batam (Repro: batamdaily.co.ic)

 

Agaknya, Pemkab Indramayu dan DPRD Indramayu tidak membaca berita “6.300 Wanita Indramayu Jadi PSK di Pulau Batam. Mereka Merasa Menjadi Pahlawan Ekonomi Keluarga” (Harian “Pikiran Rakyat”, 11 November 2005) ketika merancang peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS.

Maka, tidak mengherankan kalau kemudian dalam Perda Kab Indramayu No 08  Tahun 2009 tanggal 2 September 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Indramayu tidak ada pasal yang terkait dengan fakta tsb. Di Kab Indramayu sudah dilaporkan 145 kasus HIV/AIDS.

Padahal, perempuan-perempuan itu akan menjadi mata rantai penyebaran HIV jika mereka pulang ke kampong halamannya. Pemprov Kepulauan Riau sendiri memulangkan PSK yang terdeteksi HIV ke daerah asalnya. Kalau saja perda itu dibuat dengan acuan realitas sosial terkait dengan epidemi HIV tentulah ada pasal mengatur penanganan perempuan asal Indramayu yang terdeteksi HIV di Batam atau daerah lain ketika mereka pulang ke kampung halamannya.

Jika seorang perempuan yang menjadi, maaf, PSK di Batam mempunyai suami maka jika perempuan itu tertular HIV di Batam dia pun akan menularkan HIV kepada suaminya. Karena hubungan seksual dilakukan dengan suami maka suami tidak memakai kondom sehingga ada risiko tertular HIV. Celakanya, ketika perempuan itu kembali ke Batam atau daerah lain si suami mencari pasangan seks lain atau menjadi pelanggan PSK. Di Karawang, Jabar, misalnya, suami TKW banyak yang menjadi pelanggan PSK.

Begitu pula dengan TKW yang bekerja di beberapa negara dengan prevalensi HIV/AIDS yang besar risiko tertular HIV pun tinggi karena ada di antara mereka yang diperkosa, dijadikan gundik atau istri simpanan. Tapi, lagi-lagi tidak ada pasal dalam perda itu yang menukik ke persoalan ini. Soalnya, di beberapa daerah sudah banyak TKW yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Ya, lagi-lagi perda ini pun tidak berbeda denga perda lain. Perda ini merupakan perda ke-42 dari 50 perda AIDS yang ada di Indonesia mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Perda-perda AIDS hanya copy-paste dari perda lain.

Melindungi masyarakat dari risiko tertular HIV adalah dengan memberikan informasi yang akurat tentang cara-cara mencegah penularan HIV. Tapi, dalam perda ini justru moral yang dijadikan alat untuk melindungi masyarakat dari risiko tertular HIV.

Lihat saja di pasal 4 ayat 1: “Peraturan Daerah ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya HIV dan AIDS dengan cara: meningkatkan promosi perilaku hidup bersih dan sehat.”

Tidak ada kaitan lansung antara ‘perilaku hidup bersih dan sehat’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap sanggama (kondisi hubungan seksual).

Pasal ini justru mendorong masyarakat melakukan stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap odha (orang dengan HIV/AIDS) karena dikesankan orang-orang yang tertular HIV karena perlikuanya tidak sehat dan tidak bersih.

Lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah mengidap HIV tidak menunjukkan gejala yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).

Tapi, di pasal 22 disebutkan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS: (1) wajib melindungi pasangan seksualnya dengan melakukan upaya pencegahan, (2) dilarang mendonorkan darah, produk darah, cairan sperma, organ dan atau jaringan tubuhnya kepada orang lain.

Fakta menunjukkan orang-orang yang terdeteksi HIV melalui cara yang sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku sudah berjanji bahwa penularan HIV akan dihentikan mulai dari dirinya.

Salah satu cara penularan HIV adalah melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan orang yang sudah mengidap HIV. Persoalannya adalah orang-orang yang sudah mengidap HIV tidak bisa dikenali. Maka, melalukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, berisiko tertular HIV.

Maka, setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib memakai kondom, seperti diatur di pasal 25: “Setiap orang yang melakukan hubungan seksual beresiko wajib melakukan upaya pencegahan.” Persoalannya adalah tidak ada mekanisme yang konkret untuk memantau pemakaian kondom pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual berisiko.

Terkait dengan (praktek) pelacuran di wilayah Kab Indramayu juga tidak muncul dalam perda ini. Ya, bisa saja pelacuran dianggap tidak ada di Kab Indramayu karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang kasat mata. Tapi, apakah ada jaminan di Kab Indramayu sama sekali tidak ada praktek pelacuran?

Kalau tidak ada jaminan maka perlu menjalankan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ‘hidung belang’ yang menjadi pelanggan PSK.

Di pasal 44 disebutkan: ”Pembinaan, pengendalian dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 diarahkan untuk: (1) meningkatkan  derajat kesehatan masyarakat sehingga mampu mencegah dan atau mengurangi penularan HIV dan AIDS.”

Mencegah penularan HIV tidak ada kaitannya dengan secara langsung dengan derajat kesehatan masyarakat. Bahkan, dengan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, maka kemampuan untuk melakukan hubungan seksual pun ikut pula meningkat.

Pada kondisi kemampuan seksual meningkat tentulah diperlukan penyaluran berupa hubungan seksual. Nah, kalau hubungan seksual dilakukan dengan berisiko maka ada risiko tertular HIV.

Untuk itulah diperlukan regulasi (peraturan) yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV, bukan sekedar mengedepankan moral sehingga pasal-pasal yang muncul hanya bersifat normatif. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun