Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Euforia Sebarkan "Berita" yang Berakhir di Hotel Prodeo

28 Februari 2018   09:52 Diperbarui: 28 Februari 2018   10:17 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: theonlinecitizen.com)

Sebelum fasilitas online mucul menyebarkan informasi dalam bentuk berita (news) hanya bisa dilakukan oleh wartawan melalui media massa (media cetak dan media elektroni) setelah melewati perjalanan panjang di ruang redaksi.

Wartawan dan koresponden mengirimkan naskah berita (dalam bentuk ketikan) ke redaksi melalui sekretaris redaksi. Selanjutnya dipilah dan diserahkan ke redaktur atau desk yang sesuai dengan naskah berita.

Informasi Berimbang

Setelah naskah berita dan foto sampai ke redaktur atau desk atau penanggung jawab halaman perjalanan belum selesai karena ada lagi koreksi editorial yang juga berjenjang. Yang paling sederhana memang hanya pada tangan redaktur. Tapi, pada media dengan organisasi yang baik akan berjenjang, misalnya, dari asisten redaktur lanjut ke redaktur selanjutnya ke penanggung jawab halaman atau rubrik. Banyak faktor yang menentukan sebuah naskah berita lolos untuk dimuat.

Kondisi itu bertolak belakang 360 derajat dengan kondisi sekarang di 'zaman now' yang juga disokong dengan kebebasan berekspresi dan UU Pers yang sangat liberal.

Setiap orang hanya dengan modal jaringan Internet melalui PC, laptop, notebook bahkan ponsel sudah bisa mengirim 'berita' hanya sesaat setelah diketik dengan satu atau dua jari. Ketika tombol Enter diketuk 'berita' itu sudah tersebar ke seantero jagat raya. Selanjutnya yang  menerima pun menyebarkan pula. Begitu seterusnya.

Ini berbeda dengan media massa yang sangat terbatas penyebarannya, terutama media cetak. Hanya media elektronik dalam hal ini radio dan televisi yang bisa up-date berita secara langsung. Sedangkan media cetak harus menunggu hari terbit berikutnya.

Yang membuat celaka adalah banyak orang yang merasa berhak menyebarluaskan 'berita' dengan berbagai macam alasan. Hanya saja berbeda dengan wartawan yang taat pada Kode Etik Jurnalistik banyak orang yang tidak terikat dengan kode etik sehingga perbuatan melawan hukum yang mereka lakukan terkait dengan penyebarluasan 'berita' berujung ke ranah pidana. Ini bukan kriminalisasi, tapi perbuatan melawan hukum yang diatur dalam ranah pidana adalah perbuatan kriminal dengan ganjaran hukuman denda dan penjara.

Selain itu yang disebut berita dalam jurnalistik pun ada kriterianya yaitu mengadung unsur-unsur layak berita dan kelengkapan berita serta harus berimbang (covering both side). Ini yang tidak bisa dipenuh oleh orang-orang yang menyebarkan 'berita' melalu media sosial sehingga termasuk perbuatan yang melawan hukum dengan sanksi pidana dan perdata.

Maka, wartawan dan koresponden pun sudah melakukan self editing dan self cencorship sebelum nakah diserahkan atau dikirim ke redaksi. Artinya ada tanggung jawab pribadi (individual responsibility) selain perlindungan hukum melalui Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers.

Paling tidak dua UU yang bisa langsung menjerat orang-orang yang menyebarkan 'berita' yang bersifat ujaran kebencian, fitnah, merusak nama baik, mengganggu ketenangan, menghina pemimpin dan negara, SARA, berita bohong (hoax), dll. , yaitu KUHP dan UU ITE (Baca juga: Mengapa Banyak Orang Ringan Tangan Menyebarkan Hoax?).

Keblinger

Bagi wartawan UU Pers pun tidak bisa jadi pelindung jika berita yang diterbitkan atau disiarkan bersifat opini ketika ada pihak yang dirugikan dan mengadu ke polisi karena mediasi dengan Dewan Pers buntu.

Itulah yang sering terlupakan atau dilupakan oleh orang-orang yang dengan mudah memakai jari-jemari menyebarkan 'berita' hoax, kebencian, SARA, dll. karena ada kelompok yang selalu membela kesalahan ini dengan mengatakan semua itu adalah kebebasan berekspresi [Baca juga: Disebut-sebut Kritis dan Ekspresif: Kok, Ada yang Hanya (Bisa) Menyerang Pribadi, Fitnah dan Caci-maki?].

Kelompok yang mengkalim kejahatan dengan menyebarkan ujaran kebencian, fitnah, merusak nama baik, mengganggu ketenangan, menghina pemimpin dan negara, SARA, berita bohong (hoax), dll. sebagai kebebasan berekspresi adalah orang-orang yang keblinger (KBBI: sesat, keliru).

Sejak reformasi pemerintah terlambat menjalankan program literasi dan edukasi tentang bermedia karena semua sibuk dengan dunia politik untuk merebut kekuasaan yang pada akhirnya banyak juga yang bermuara ke balik jeruji besi.

Yang membuat suasana kian kacau-balau banyak pula orang yang justru mencari-cari 'berita' atau informasi bersifat ujaran kebencian, fitnah, merusak nama baik, mengganggu ketenangan, menghina pemimpin dan negara, SARA, berita bohong (hoax), dll. (Baca juga: Hoax Memang Dicari-cari).

Bagi mereka itu media mainstream yang justru berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers justru tidak dijadikan acuan sumber berita atau informasi. Mereka merasa akan limbung kalau membaca media mainstream dan memilih media, situs, web, dll. yang tidak kredibel (KBBI: dapat dipercaya).

Maka, beban Lapas (Lembaga Pemasyarakatan d/h bui atau penjara) yang sudah over capacity akan bertambah dengan kehadiran terpidana penyebar 'berita' hoax, penyebar ujaran kebencian,dll.  *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun