Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

LGBT Dilarang Masuk Kampus: LGBT Sebagai Orientasi Seksual atau Organisasi LGBT?

24 Januari 2016   15:28 Diperbarui: 3 Februari 2016   16:20 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Nasir menegaskan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) semestinya tidak boleh masuk kampus. Ini lead pada berita “Kampus mestinya tidak dimasuki LGBT, kata Menristek” (Antara News, 23/1-2015).

Dalam beberapa berita terkait pernyataan menteri ini tidak jelas apa yang dimaksud Pak Menteri dengan “kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT)”, apakah sebagai organisasi, badan, lembaga atau bentuk-bentuk institusi lain atau sebagai individu mahasiswa, dosen dan karyawan?

Tidak jelas. Maka, kalau yang dimaksud Pak Menteri sebagai individu, dalam hal ini mahasiwa, dosen dan karyawan tentulah hal itu merupakan perbuatan yang melawan hukum karena tidak ada aturan yang melarang LGBT ‘masuk (ke) kampus’.

Lagi pula tidak semua orang dengan orientasi seksual LGBT menunjukkan jati diri. Yang bisa dilihat dengan kasat mata hanya transgender, dalam hal ini waria. Sedangkan lesbian, gay dan biseksual tidak akan bisa dikenali dari fisik dan penampilan.

Sebuah studi yang dilakukan oleh sebuah kelompok dampingan di Kota Surabaya, Jawa Timur, menunjukkan laki-laki yang menjadi pelanggan waria justru kalangan heteroseksual, sebagian besar adalah suami.

Yang tidak masuk akal adalah yang menjadi ‘perempuan’ dalam permainan itu justru laki-laki heteroseksual tadi. Dalam bahasa gaul waria disebut laki-laki heteroseksual ditempong (waria memasukkan penisnya ke anus laki-laki heteroseksual) dan waria yang menempong (memasukkan penis ke anus laki-laki heteroseksual). Alasan laki-laki heteroseksual adalah mereka tidak menodai cinta dengan istrinya karena dia tidak memakai penisnya.

Alasan itu moralistis, tapi jika disimak dari risiko tertular penyakit, dalam hal ini IMS (infeksi menular seksual, sepeti raja singa/sifilis, kencing nanah/GO, virus hepatitis B, klamidia herpes genitalis, dll.) dan HIV/AIDS atau dua-duanya sekalisgus, risiko laki-laki heteroseksual tertular sangat besar. Maka, tidaklah mengherankan kalau belakangan ini banyak istri yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Lalu, apakah ada UU yang melarang waria kuliah atau jadi dosen? Tentu saja tidak ada.

Jadi, kalau Pak Menteri melarang LGBT dalam ranah orientasi seksual menjadi mahasiswa tentulah hal itu merupakan perbuatan yang melawan hukum karena sudah mengabaikan hak seseorang untuk mendapatkan pendidikan (tinggi).

Jika yang dimaksud Pak Menteri sebagai organisasi, maka boleh-boleh saja setiap perguruan tinggi mempunyai aturan terkait dengan organisasi atau lembaga yang diizinkan di kampus boleh memakai nama serta logo perguruan tinggi tsb.

Orientasi seksual tidak bertentangan dengan norma, moral, agama dan hukum karena kondisi tsb. hanya ada dalam pikiran. Bisa disebut terkait dengan norma, moral, agama dan hukum jika menjadi perbuatan atau perilaku, seperti melakukan hubungan seksual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun