Tanpa kita sadari kita lupa bahwa pada rentang waktu menunggu vaksin, insiden penularan HIV terus terjadi. Inilah yang tidak muncul dalam banyak berita tentang HIV/AIDS.
Bertolak dari pernyataan-pernyataan yang dipublikasikan melalui berita, reportase dan opini di media massa ada kesan obat AIDS dan vaksin HIV sangat diperlukan.
Tanpa kita sadari harapan itu justru akan menjadi bumerang bagi kehidupan manusia karena kalau sudah ada obat AIDS dan vaksin HIV orang pun tidak takut lagi tertular HIV.
Selanjutnya, apa yang (akan) terjadi?
Sebagian orang pun tidak akan takut lagi melakukan perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV.
Salah satu perilaku yang berisiko tertular HIV adalah melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, serta hubungan seksual tanpa kondom pada homoseksual, terutama pada laki-laki gay.
Nah, kalau sudah ada obat AIDS dan vaksin HV tentulah orang pun tidak takut lagi melakukan perilaku berisiko. Maka, perilaku manusia pun tak ubahnya seperti binatang: melakukakan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan.
Realitas sosial inilah yang luput dari perhatian. Atau bisa saja manusia memang ingin melakukan banyak hal tanpa harus menanggung risiko atau dampak buruk dari perilakunya.
Padahal, sejak awal epidemi di tahun 1980-an para pakar sudah menyebarluaskan informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV.
Informasi itu adalah vaksin. Dengan bekal informasi yang akurat kita bisa melindungi diri secara aktif agar tidak tertular HIV.
Terkait dengan HAS sebagai cantelan berita (newspeg), maka yang perlu diberitakan secara luas dan konsisten adalah cara-cara pencegahan yang berpijak pada perilaku orang per orang.