Mohon tunggu...
Pangeran Ibrani Situmorang
Pangeran Ibrani Situmorang Mohon Tunggu... pegawai negeri -

makhluk, suami, ayah, dan warga negara...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perlindungan yang [Seharusnya] Mencerdaskan

14 Oktober 2011   07:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:58 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Info-Bag.us) Berbagai kasus hukum yang dialami TKI mendapatkan sorotan publik yang sangat tinggi. Begitu pentingnya da panasnya kasus-kasus TKI ini, hingga Pemerintah RI menggunakan uang pembayar pajak negara sebesar 4 miliar rupiah untuk "menebus" salah seorang tervonis. Bahkan, menurut Kompas, dalam seminggu ini ada 8 orang yang akan dipancung di Arab Saudi. Ada yang bilang ini bagian dari pemenuhan amanah konstitusi "untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia..." Dengan segala simpati kepada kesusahan yang dialami TKI kita, sudah saatnya kita melihat amanat konstitusi ini secara menyeluruh atau setidaknya lebih lengkap yakni untuk "mencerdaskan kehidupan bangsa,.." Mencerdaskan kehidupan bangsa bukan berarti dengan sekedar pendidikan formal, melainkan tidak kalah pentingnya adalah pendidikan politik. Penebusan seorang tervonis (di bawah hukum negara lain) oleh pemerintah RI dapat memberikan sinyal yang salah bagi WNI... "oh oke kalau kepepet nanti saya jadi penjahat saja di luar negeri.. toh nanti pemerintah akan menebus!". Atau WNI akan semakin nekat over-stay dengan harapannya nanti akan dipulangkan dengan biaya negara... uang negara itu ada yang punya yakni para pembayar pajak.. anda, saya dan segenap WNI. dan tidak salah jika ada yang menggugat pemakaiannya untuk sesuatu yang bukan menjadi kepentingan publik seperti untuk pendidikan atau penyejahteraan masyarakat miskin di Indonesia. Jika pada era sebelumnya, kita sering dicekoki untuk memenuhi dahulu kewajiban sebelum meminta hak... Dalam era yang katanya "reformasi" ini, ada kecenderungan untuk menagih hak tanpa dikaitkan dengan kewajiban... Pada era dahulu, ada penekananan pada kolektifitas yang sangat tinggi.. saya ingat ungkapan "mengutamakan kepentingan orang banyak di atas golongan atau individu". Sekarang ini kecenderungannya menguat ke fokus individu. Hingga kasus-kasus perorang bisa meletup di kalangan yang luas bahkan mengalahkan kepentingan orang banyak. Ini suatu pekerjaan rumah yang besar bagi bangsa ini, yakni menyeimbangkan antar kewajiban, dan antar kepentingan individu dan kepentingan masyarakat banyak. kita tidak perlu kembali ke penekanan pada kewajiban atau kolektifitas.. melainkan semakin mengarah ke keseimbangan. Indonesia perlu dan sangat dimudahkan untuk belajar dari negara lain yang telah lebih maju dan cerdas dalam perlindungan warganya. Dalam hal ini, saya mau mengajukan contoh Singapura. Dalam hal ini kita dapat merujuk pada dokumen yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri Singapura .. di sini. Buku itu merupakan buku petunjuk bagi warga negara singapura yang akan berpergian ke luar negeri untuk alasan apapun. Warga Negara harus dicerdaskan dengan mendidik bahwa mereka punya tanggung jawab ketika memutuskan untuk berpergian luar negeri. Negara mengingatkan warganya untuk mempersiapkan berbagai aspek mulai dokumen perjalanan, visa, cukai, kesehatan, arusansi, dan berbagai keperluan perjalanannya. (hal. 3-14) Warga negara juga harus sadar akan segala konsekuensi dari kepergian mereka keluar negeri, dan untuk tidak meminta negara bertanggung jawab atas kelalaiannya memenuhi berbagai persyaratan sebagaimana diingatkan oleh negara. Negara kita sudah berusia 66 tahun, sementara Singapura baru 48 tahun! Wajar kalau seharusnya WN kita juga diajar untuk menjadi dewasa dan tidak menjadi bayi selamanya. Ketegasan negara untuk mencerdaskan warganya juga ditunjukkan dengan penegasan batasan jasa-jasa yang dapat diberikan perwakilan Singapura (Kedutaan dan Konsulat) untuk membantu warga negaranya (halaman 15-20). Dalam hal masalah kedaruratan perjalanan, jasa yang dapat diberikan Kedutaan/Konsulat Singapura dibatasi pada fasiltasi informasi/komunikasi dengan keluarga, bantuan evakuasi, dan pengeluaran dokumen perjalanan darurat. Kedutaan/Konsulat Singapura tidak dapat membantu pembayaran tagihan, mencari kerja, menjadi penjamin, dan berbagai jasa-jasa pribadi lainnya. Dalam kejadian permasalahan hukum WN Singapura di luar negeri, pemberian jasa konsuler ditujukan untuk memberi bantuan hukum, memastikan WN mendapat perlakuan yang manusiawi, sesuai dengan aturan setempat, dan memastikan bahwa WN tidak dikenai diskriminasi. Kedutaan/Konsulat sebagai aparat negara tidak dapat memberikan bantuan hukum yang bersifat intervensif/campur tangan, seperti: pembayaran jaminan, memberikan nasihat hukum, memilih atau merekomendasikan pengacara, dan sebagainya. Sepintas, setidaknya bagi WNI kebanyakan, pengaturan ini dapat terkesan "pelit" atau tidak manusiawi. Penilaian semacam wajar saja bagi mereka yang berkepentingan khususnya untuk berpergian ke luar negeri. Namun, bagaimana dengan mereka yang tidak berkesempatan ke luar negeri (yang jumlahnya jauh lebih banyak)?? Apakah ini suatu keadilan apabila negara harus mengeluarkan banyak biaya untuk segelintir orang? Sementara dengan uang yang setara, banyak hal yang bisa dilakukan untuk membangun di dalam negeri. Negara kita perlu menjadi lebih efisien termasuk dalam menjalankan fungsi-fungsi diplomatik/konsulernya agar tidak dibebani dengan hal-hal yang seharusnya menjadi tanggung-jawab pribadi masing-masing WNI. Perwakilan diplomatik dan konsuler diharapkan dapat memberi manfaat khususnya untuk meningkatkan potensi dari perdagangan internasional. Namun demikian, sebaliknya, sekarang banyak perhatian dan sumber daya dicurahkan untuk melakukan usaha "perlindungan" yang sebenarnya tidak "mencerdaskan" dan dapat dinilai tidak "adil". Seharusnya hal-hal Bertepatan, beberapa tahun silam, saya pernah mempunyai permasalahan hukum akibat menjadi korban tabrakan di Jerman. Dengan sadar, saya tidak ingin melibatkan perwakilan (walaupun saya adalah salah satu stafnya) untuk memberikan bantuannya bagi saya. Saya pikir ini adalah masalah pribadi dan harus saya selesaikan sendiri, dengan biaya pribadi tentunya. Saya hanya minta Kedutaan untuk mengizinkan saya menggunakan sedikit waktu saya untuk melaksanakan proses hukum. Para TKI, seharusnya dilindungi oleh PJTKI selaku pengelola komersial dari industri yang menggiurkan ini dan yang mendapatkan keuntungan dari kerja mereka. Sudah sewajarnya PJTKI diminta bertanggung jawab atas aset mereka, TKI, dan bukan aparat negara semata. Sudah seharusnya Perwakilan Diplomatik/Konsuler mengambil jarak dari ranah perlindungan yang bersifat intervensif hukum seperti yang ditetapkan oleh Singapura. Ini adalah bagian dari usaha untuk mendidik para PJTKI bahwa mereka perlu mengambil tanggung jawab atas aset usahanya. Sudah seharusnya PJTKI diwajibkan untuk memberikan asuransi kesehatan yang lebih memadai untuk WNI sehingga perwakilan tidak perlu menanggung hal-hal ini. Sudah seharusnya PJTKI mempunyai rumah penampungan sendiri, sebagai bentuk tanggung jawab mereka atas TKI-TKI yang mendapatkan masalah. Dengan demikian, aparat negara di perwakilan diplomatik/konsuler dapat menggunakan sumber daya keuangan, dan manusianya lebih untuk hal-hal yang dapat bermanfaat langsung pada kepentingan nasional yang lebih luas: peningkatan ekspor, investasi, kerja sama produksi, kerja sama akademis, dan sebagainya. Jika PJTKI gagal atau lalai untuk memenuhi tanggung jawabnya untuk menanggung hal-hal setidaknya seperti tersebut di atas, maka selayaknya kelaikan bisnis TKI perlu ditinjau kembali. Sudah saatnya negara kita menemukan keseimbangan antara amanat perlindungan warga negara dan pencerdesan kehidupan bangsa yang ditetapkan oleh UUD 1945 - dasar dari negara ini. Perlu dilakukan pemisahan yang tegas antara tugas dan tanggung jawab negara yang hakiki untuk setiap negara, dan bagian-bagian yang menjadi domain privat yakni PJTKI. Kita dapat dan perlu belajar dari negara tetangga kita. (pandangan ini sepenuhnya pribadi)

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun