Mohon tunggu...
Ine Citra Dewi
Ine Citra Dewi Mohon Tunggu... Mahasiswa Pendidikian Sejarah Universitas Siliwangi

Halo, saya Ine Citra Dewi. Saya adalah mahasiswa pendidikan sejarah dari instansi Universitas Siliwangi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kurikulum Merdeka: Apakah Benar Membebaskan Atau Justru Memperlebar Kesenjangan

15 Oktober 2025   13:09 Diperbarui: 15 Oktober 2025   13:09 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayangkan seorang guru di sebuah sekolah dasar terpencil di pedalaman Sulawesi. Setiap pagi ia harus melewati jalan berlumpur dan menyebrangi sungai kecil untuk sampai ke sekolah yang sederhana, dengan dinding papan dan atap seng yang mulai berkarat. Di ruang kelas sempit itu, tiga puluh murid belajar hanya dengan satu komputer tua yang harus dipakai bergantian. Akses internet pun sering kali bermasalah, bahkan kadang tidak bisa digunakan sama sekali. Modul Kurikulum Merdeka memang sudah dikirim ke sekolah itu, tetapi tanpa pelatihan atau pendampingan yang cukup. Guru tersebut akhirnya harus berusaha memahami dan menerapkan kurikulum baru itu secara mandiri, meskipun kondisi di lapangan jauh dari ideal. Sementara itu, di kota besar seperti Jakarta, pemandangan yang kontras terlihat di sekolah-sekolah unggulan. Para guru telah mengikuti pelatihan daring yang intensif, sekolah dilengkapi dengan laboratorium modern dan perangkat teknologi canggih, serta siswa-siswa terbiasa dengan pembelajaran berbasis proyek yang interaktif, mereka belajar dengan nyaman, berdiskusi lewat learning platfom, dan mempresentasikan hasil karya mereka dengan percaya diri. Semangat "Merdeka belajar" benar-benar terasa hidup di lingkungan seperti itu. Dua Gambaran ini sama-sama bagian dari Pendidikan Indonesia hari ini, berada dalam satu sistem yang sama, tetapi berjalan dalam satu sistem yang berbeda. Ketimpangan yang tajam antara sekolah di kota dan di pelosok menggambarkan realitas social yang belum tersentuh sepenuhnya oleh semangat pemerataan. Ketika pemerintah mengusung Kurikulum Merdeka sebagai jawaban atas tantangan zaman, muncul pertanyaan penting yang layak direnungkan: apakah kebijakan ini benar-benar mampu mempersempit jurang kesenjangan Pendidikan di Indonesia, atau justru secara tidak sengaja memperlebar celah social antarwilayah dan antar kelompok masyarakat.
Kurikulum Merdeka hadir sebagai bentuk pembaruan dari sistem Pendidikan yang sebelumnya yang dinilai belum mampu menjawab kebutuhan zaman. Kurikulum 2013 dianggap terlalu padat materi dan berfokus pada hafalan semata, sehingga ruang bagi kreativitas siswa dan inovasi guru menjadi sangat terbatas. Padahal, Pendidikan idealnya tidak hanya menekankan pada kemampuan akademik, tetapi juga pengembangan karakter, nilai kemanusiaan, serta kemampuan berpikir kritis dan kolaboratif. Melalui kurikulum Merdeka, pemerintah berupaya menyesuaikan sistem Pendidikan nasional dengan perubahan sosial, teknologi dan budaya yang semakin cepat. Kebijakan ini menawarkan konsep baru: student centered learning atau pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Siswa diberi kesempatan untuk belajar sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya masing-masing. Guru pun tidak lagi diposisikan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, melainkan fasilitator yang mendampingi dan membimbing siswa menemukan makna dari proses belajar. Menurut konsep yang dikemukakan oleh Susanti dan Maulana (2023) dalam Tarqiyatuna: Jurnal Pendidikan Agama Islam dan Madrasah Ibtidaiyah, Dalam pandangan ini, pendidikan yang baik bukan yang mengekang siswa dengan aturan kaku, tetapi yang membebaskannya untuk berpikir, berkreasi, dan berkembang sesuai kodrat alam dan zamannya. semangat Kurikulum Merdeka ini sejalan dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, yaitu bahwa pendidikan harus memerdekakan manusia secara lahir dan batin.
Kurikulum Merdeka dirancang agar siswa mampu memahami konteks kehidupannya dan berperan aktif dalam masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung di dalam Profil Pelajar Pancasila seperti gotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif menjadi dasar pembentukan karakter generasi muda Indonesia yang siap menghadapi tantangan masa depan.

Namun, semangat besar ini belum sepenuhnya terealisasi di lapangan. Berdasarkan laporan Kemendikbudristek (2023), dari sekitar 2,9 juta guru di Indonesia, hanya sebagian yang sudah mendapatkan pelatihan dan pendampingan terkait penerapan Kurikulum Merdeka. Sekitar 42% guru mengaku belum pernah mengikuti pelatihan intensif, terutama mereka yang berasal dari sekolah non-penggerak. Data tersebut menunjukkan bahwa kebijakan yang seharusnya memberikan kebebasan justru dapat menimbulkan kebingungan bagi guru yang belum memahami secara utuh filosofi maupun teknis pelaksanaannya. Kesenjangan ini juga ditegaskan dalam penelitian Rahman (2023) yang dimuat dalam Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan. Ia menjelaskan bahwa guru di wilayah perkotaan memiliki kesiapan lebih baik dibandingkan dengan guru di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Akses terhadap sumber belajar, jaringan internet, dan fasilitas pendukung menjadi faktor pembeda utama yang memengaruhi efektivitas penerapan Kurikulum Merdeka. Akibatnya, esensi "merdeka belajar" yang diharapkan mampu membuka ruang kebebasan bagi seluruh siswa justru belum dapat dirasakan secara merata di seluruh lapisan masyarakat pendidikan Indonesia. Dari sudut pandang sosiologi pendidikan, semangat Kurikulum Merdeka sebenarnya dapat dipahami sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan struktur sosial akibat perkembangan teknologi dan globalisasi. Pendidikan berperan penting dalam membentuk individu agar mampu berinteraksi dan berkontribusi dalam masyarakat yang dinamis. Namun, jika implementasinya tidak disertai dengan pemerataan sumber daya, maka kebijakan ini hanya akan memperkuat kesenjangan sosial yang sudah ada. Sekolah-sekolah di kota besar akan semakin maju, sementara sekolah di pelosok tertinggal karena tidak mendapatkan dukungan yang sama. Selain itu, jika ditinjau dari perspektif antropologi pendidikan, Kurikulum Merdeka membawa gagasan pembelajaran kontekstual yang seharusnya mampu mengaitkan pengetahuan dengan budaya lokal. Namun, pada praktiknya, guru sering kali masih berorientasi pada modul nasional dan belum mampu menyesuaikan pembelajaran dengan konteks sosial-budaya daerahnya. Padahal, tujuan awal dari kurikulum ini adalah agar siswa dapat belajar dari lingkungan sekitarnya dan membangun pengetahuan berdasarkan pengalaman nyata.

 Dengan demikian, semangat Kurikulum Merdeka memang mencerminkan arah kemajuan pendidikan yang lebih humanis dan adaptif terhadap perubahan zaman. Namun idealisme tersebut memerlukan dukungan yang kuat berupa pelatihan guru yang merata, infrastruktur yang memadai, serta kebijakan yang berpihak pada kesetaraan. Tanpa hal itu, "kemerdekaan belajar" hanya akan menjadi wacana indah di atas kertas, sementara realitas di lapangan masih memperlihatkan ketimpangan yang tajam antara sekolah yang siap dan yang belum mampu beradaptasi. Pendidikan yang merdeka tidak akan terwujud hanya dengan mengganti kurikulum, melainkan dengan membangun kesadaran kolektif bahwa setiap anak berhak memperoleh kesempatan belajar yang setara. Sudah saatnya pemerintah, sekolah, guru, dan masyarakat bersinergi untuk memastikan bahwa "merdeka belajar" benar-benar menjadi kenyataan, bukan sekadar slogan. Dengan kerja sama yang nyata dan pemerataan yang berkeadilan, Kurikulum Merdeka dapat menjadi pintu menuju pendidikan Indonesia yang lebih inklusif, adil, dan memerdekakan semua pihak tanpa terkecuali.

Referensi :
Rahman, M. (2023). Implementasi Kurikulum Merdeka: Tantangan dan Dampaknya terhadap Dunia Pendidikan. Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan, 5(3), 1234--1246.
Kemendikbudristek. (2024). Laporan Implementasi Kurikulum Merdeka di Sekolah Penggerak dan Non-Penggerak. Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
Nugroho, D., & Wulandari, A. (2023). Analisis Kebijakan Kurikulum Merdeka Belajar. QOUBA: Jurnal Pendidikan, 2(1), 45--58.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun