![Kiri: Agus Pambagio, Pengamat Kebijakan Publik |@Indria Salim](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/08/bpjs-penjaminan1-agus-5b6a0d53d1962e5d2814fbb3.jpg?t=o&v=555)
Dalam kesempatan yang sama, Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menuturkan bahwa BPJS Kesehatan bukan tanpa keterbatasan dana. Karena itu agar agar semua pihak bisa menikmati manfaatnya, jangan sampai pelaksanaan penjaminan pelayanan kesehatan ada penyalahgunaan. Hal ini mengingat bahwa kesehatan dan pelayanannya dibutuhkan oleh seluruh warga negara, maka baik peserta maupun mitra perlu menyadari pentingnya kelangsungan program JKN-KIS ini.Â
Menurut Agus Pambagio, bila itu karena ada aturannya di Kementerian Kesehatan, maka bila perlu aturan itu bersama-sama direviu ulang. Ini demi mencegah kemungkinan pihak industri mendorong praktik "penghamburan uang."
Persoalan yang menjadi isu BPJS Kesehatan itu sebenarnya yang berperan besar adalah manajemen RS. Bagaimana RS mengaturnya, manajemennya yang harus diperkuat. Jangan sampai RS bekutat dengan masalah tunggakan pembayaran, misalnya.
Jadi, tiga peraturan tersebut di atas merupakan upaya BPJS Kesehatan demi menjamin keberlangsungan program JKN-KIS bagi seluruh masyarakat, termasuk peserta yang harus segera mendapatkan pelayanan kesehatan berbiaya tinggi lainnya agar terus merasakan manfaat program JKN-KIS. Hal ini tentunya perlu dipahami oleh semua pihak, karena BPJS sebenarnya adalah milik kita bersama, seluruh rakyat Indonesia.Â
Maka selanjutnya mitra fasilitas kesehatan juga dapat menjadikan efektivitas dan efisiensi sebagai prinsip utama dalam memberikan pelayanan kesehatan. Jika hal tersebut diimplementasikan dengan optimal, maka seluruh pihak akan merasakan masing-masing benefitnya. Peserta JKN-KIS puas karena terlayani dengan baik, fasilitas kesehatan kian sejahtera, dan program JKN-KIS dapat terus sustain berputar memberi manfaat dan meningkatkan derajat kesehatan penduduk Indonesia.
Perlu diingat, Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional memerintahkan 11 lembaga negara untuk mengambil langkah sesuai kewenangannya dalam rangka menjamin keberlangsungan dan peningkatan kualitas Program JKN-KIS. Â
11 pimpinan lembaga negara itu terdiri dari Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, Menteri BUMN, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Direksi BPJS Kesehatan, Gubernur, Bupati dan Walikota. Instruksi tersebut tentu saja harus diimplementasikan oleh semua pihak yang berkepentingan termasuk oleh BPJS Kesehatan.
Sumber resmi dari BPJS Kesehatan menunjukkan data bahwa sampai dengan 1 Agustus 2018, sebanyak 200.290.408 jiwa penduduk Indonesia telah menjadi peserta JKN-KIS. Sampai dengan akhir Juli 2018, BPJS Kesehatan memberi pelayanan kesehatan melalui kerja sama dengan 22.365 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), 2.418 rumah sakit dan klinik utama, 1.579 apotek, serta 1.081 optik.
Ada indikasi adanya kenaikan jumlah peserta JKN-KIS selain karena kepesertaannya bersifat wajib, juga karena pada umumnya orang medaftar setelah merasa sakit. Begitu mereka sehat, atau mereka yang merasa sehat, biasanya kurang berkepentingan dengan BPJS Kesehatan. Tercatat, dari dua ratus juta lebih peserta JKN-KIS, 13 juta diantaranya adalah anggota pasif. Mereka ini tidak lagi membayar iuran karena merasa sudah sehat.
![(Ki-ka) Nopi Hidayat, Agus Pambagio, Chazali Situmorang |@Indria Salim](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/08/bpjs-penjaminan3a-nopi-5b6a0da95a676f4deb728712.jpg?t=o&v=555)