Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Pendakian Baru dan Kesan Manis di Zona Nyaman

9 Juni 2018   10:56 Diperbarui: 11 Juni 2018   09:03 985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terbang Menuju Awan |Foto: Indria Salim

Belum lama ini saya baru saja berbincang tanpa rencana dengan seorang teman yang ternyata sudah beberapa saat menyimpan kegalauan. Ada soal rumah tangga, juga soal pekerjaan. Teman saya ini, sebut saya Lely, mulai merasa kurang nyaman di kantornya. Saya mendengarkannya, dan berusaha tidak menginterupsinya dengan pendapat saya.  Dikatakannya bahwa suasana di kantor makin terasa tidak sehat. Ada satu teman yang satu ruang kerja dengannya, sangat meremehkan posisinya, dan meragukan bahwa Aster benar-benar bekerja saat sibuk di depan laptop.

"Aku kepo, kamu ngerjain apa sih, Lely?"

Itu sering sekali diungkapkan oleh teman Lely, yang terang-terangan sering mempertanyakan kemampuan Lely yang berada dalam satu departemen dengan si teman.

Di lain pihak, teman Lely (sebut saja Bakung) tampak sangat dekat dengan atasannya yang juga Bos Lely. Ada staff yang akan dipecat oleh Bos yang diduga karena hasutan Bakung. Itu satu poin alasan Lely tidak cocok dengan Bakung, yang dianggapnya sebagai orang yang tega menjatuhkan teman sendiri.

Lely sendiri baru tahun ke-3 di kantornya sekarang, persis sama dengan Bakung. Mereka satu Bos di kantor sekarang, yang dulunya juga satu bos yang sama di kantor sebelumnya. Lely mulai semakin hati-hati saat mendengarkan cerita yang dituturkan oleh Bakung sendiri tentang "having fun dengan segala cara, termasuk bila itu merugikan pihak lain". 

Lely yang lebih muda dari Bakung adalah pribadi yang tidak neko-neko dan punya pendirian yang kuat tentang nilai-nilai profesionalisme dan etika pergaulan. Bagian ini hanya melengkapi rangkaian cerita Lely, bahwa dia dalam "pergumulan hidup". Dengan kata lain, Lely tidak nyaman bekerja dekat dengan Bakung, di samping juga Bosnya yang menurutnya kurang suka kalau dia sampai bisa melebihi prestasi Bos. Sounds familiar?

Lely mengungkapkan bahwa Bos sendiri juga ingin pindah ke perusahaan lain, namun masih merasa berat hati karena "kasihan terhadap para bawahannya yang perlu keberadaannya".

Lely mengkonfirmasikan, "Bapak kalau mau pindah, jangan merasa terbebani dengan saya dan teman-teman. Toh dulu di kantor sebelum ini, Bapak pindah dan meninggalkan kami juga. Kami baik-baik saja, sampai Bapak akhirnya mengajak beberapa dari kami untuk bekerja di di sini sekarang."

Dari situ, Lely seperti menemukan setidaknya tiga alasan untuk melirik perusahaan lain. Alasan pertama -- lingkungan kerja dengan teman kepo dan "kurang terpercaya" itu tidak nyaman, alasan kedua -- bos yang dulu membawanya ke kantor ini juga mau pindah, dan alasan ketiga -- posisinya saat ini tidak memberikan kepuasan kerja karena dia tidak bisa menyebutkan satu pecapaian yang jelas, posisi yang seakan membuatnya berfungsi seperti staff admin alih-alih fungsi manajerial seperti waktu dia di kantor lama dulu.

Lely menanyakan pendapat saya tentang situasinya. Mengamati perkembangan kariernya dan seluk beluk pekerjaannya agak detil dalam periode yang cukup lama, saya memberikan pandangan dari sisi pengalaman saya. Selain itu, saya mencoba memberikan informasi kira-kira dia bisa melamar pekerjaan baru di kantor yang seperti apa, dan kebetulan semua kantor yang saya sarankan itu berlokasi di Jakarta, jauh dari rumahnya yang di Bogor. Dia tegas mengatakan ingin mencari pekerjaan yang tidak terlalu jauh dari rumah, dengan alasan dia perlu waktu buat keluarga.

Dari cerita Lely dan apa yang tampak dari luar, kesejahteraan dan gaji Lely saat ini cukup bagus. Bahkan tampaknya gajinyabeda tipis dengan gaji suaminya. Menurut saya, pekerjaannya sekarang cukup memberikannya kepuasan materi/finansial, lokasi relatif dekat rumah, dan bukan merupakan pekerjaan dengan tingkat stresor tinggi. Itu pengamatan berdasarkan apa yang saya tangkap dari cerita Lely.

Kenangan indah di zone nyaman, melengkapi perjalanan hidup |Foto: Indria Salim
Kenangan indah di zone nyaman, melengkapi perjalanan hidup |Foto: Indria Salim
Saya menceritakan perjalanan "karir" saya, dan tampaknya tingkat stresor dan cakupan pekerjaan saya jauh lebih berat dan kompleks. Dalam hal ini Lely punya persepsi yang sama dengan saya. Walau begitu, saya memberikannya gambaran bahwa sejauh empat (4) kantor utama di mana saya bekerja dulu, saya selalu "resign" dalam keadaan "disesali" oleh kantor dan bos lama. 

Artinya, saya meninggalkan kantor lama ke kantor baru dalam keadaan baik, reputasi baik, posisi baik, dan satu alasan kepindahan ke kantor baru yang sama -- yaitu "Saya menemukan kolam lebih besar untuk pengembangan diri optimal dan karier saya."

Di kantor saya yang pertama kali punya posisi resmi dan cukup memberikan kebanggaan pribadi, saya bekerja selama 18 tahun lamanya. Begitu saya menyerahkan surat pengunduran diri langsung ke orang nomor satu di organisasi saya bekerja, Big Bos itu menyambangi saya di ruang kerja. Dia bilang, "I have not approved your resignation as yet," begitu katanya sambil senyum-senyum usil.

Lalu atasan langsung saya meminta saya menemuinya setelah jam kerja resmi usai. Atasan saya mengatakan, banyak yang menyayangkan pengunduran diri itu. Selama itu saya tampak "ok dan happy" dengan pekerjaan dan teman-teman. Memang begitu, sih. Pertemanan dan suasana suka duka ditanggung bareng itu yang membuat saya betah di kantor itu sampai 18 tahun lamanya. Atasan saya meminta saya "menerima tawaran" posisi yang diajukan oleh dua Direktur dari departemen lain, bila pengunduran diri saya karena alasan "bosan kerja di posisi sekarang."

Tentu saya sangat tersanjung dan bersyukur bahwa para bos dari departemen lain pun "mengenali kualitas kerja saya", sehingga mereka ingin mengajak saya "cukup pindah lantai di departemen mereka" alih-alih pindah kantor. Pun begitu terjadi pada kantor baru ke organisasi selanjutnya di mana kaki melangkah lebih jauh dan mendaki lebih tinggi, membawa saya kepada posisi impian di organisasi yang juga jauh lebih "besar". 

Saya sempat mencicipi rasanya jadi eksekutif yang bekerja langsung di bawah CEO sebuah korporat multinasional, dengan gaji yang selama ini hanya ada dalam impian. Juga, bekerja di organisasi internasional yang diinginkan oleh teman-teman saya di kantor-kantor saya bekerja sebelumnya.

Singkat cerita, pesan yang saya sampaikan melalui berbagi pengalaman dengan Lely itu adalah -- "Kita mengundurkan diri karena ada pendakian baru, karena kelamaan di zone nyaman. Kelamaan di zona zaman akan membuatku tertidur pulas, dan ketinggalan kereta!" 

Saya wanti-wanti kepada Lely, "Jangan sampai kita pindah kerja atau ingin mendapatkan pekerjaan baru karena kita kegerahan di kantor yang sekarang."

Saya sampaikan bahwa alasan kepindahan di benak, akan memengaruhi performa kita saat diinterviu oleh calon pemberi kerja. Secara mental, itu juga akan menjadi pijakan awal yang kurang bagus. Paradigma dan perspektif yang kita pegang adalah, "Saya meninggalkan pekerjaan sekarang karena saya sudah terlalu lama memanjakan diri ada di zone nyaman. Saya melihat peluang untuk berkembang lebih besar, dengan meninggalkan comfort zone ini. Saya mengukur diri mampu berkembang lebih optimal lagi bila mau menginggalkan kenyamanan sekarang. 

Dengan begitu, kita tidak akan terpengaruh dengan hal-hal yang sifatnya negatif dari lingkungan di mana kita berada. Realistis saja, tidak semua upaya kita akan langsung dalam posisi "uenak" lagi. Itulah dinamika kehidupan. Namun begitu, pengalaman saya tentu tidak selalu bisa diterapkan kepada orang lain karena banyak faktor unik dari setiap individu berbeda. Dalam hal masalah Lely, saya melihat ada hal yang bisa dipetik dari pengalaman saya.

Alasan pindah kerja, menurut saya idealnya bersifat internal, sesuatu yang menjadi kebutuhan pribadi yang mendasar. Sebaliknya agak disayangkan bila pindah kerja karena tekanan yang tidak bisa kita kendalikan, ataupun faktor eksternal, misalnya "Saya nggak tahan dengan Si Bakung yang potensial menyakiti saya." Pun bila fakta dominan pemicunya Si Bakung, atau hal lain lagi yang tidak lagi bisa ditolerir, paradigma kita akan lebih mendukung pada pendakian baru jika itu berfokus pada pemantapan tujuan besar. Kehidupan itu sehat bila ada pertumbuhan dan buah manis baik buat diri sendiri dan sekitar kita. Just my two cents!

Salam Kompasiana Beyond Blogging! :: Indria Salim ::

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun