Dilupakan merupakan momok menakutkan bagi manusia. Satu ketakutan yang sama sunyinya dengan kematian. Bagaimana rasanya dilupakan dan hilang dari kesadaran orang-orang yang pernah kita cintai? Rasanya sungguh menyakitkan, bukan? Film asal jepang yang berjudul Forget Me Not, melalui sosok perempuan muda bernama, Oribie Azusa, mencoba menggambarkan kerapuhan ingatan manusia, dan bagaimana eksisntensi diri saat dilupakan oleh dunia. Azusa adalah seorang gadis remaja, yang setiap harinya dilupakan oleh teman-temannya, keluarganya sampai kekasihnya. Ia dilupakan oleh seisi dunia, seolah-olah setiap hari kehadirannya tak tampak nyata.
Sebagai penonton, kita tak diberi penjelasan logis atas peristiwa ganjil ini. Tidak ada sihir atau kutukan yang menyebabkan Azusa terlupakan. Hanya pengalaman yang sangat manusiawi: keberadaan yang terlupa dari memori sosial. Karena itu saya mulai bertanya-tanya: seberapa kuat ingatan manusia? Apakah dilupakan orang lain mempengaruhi eksistensi kita di dunia ini?
Filsuf asal Prancis, Maurice Merleau-Porty pernah mengatakan, tubuh bukan hanya benda biologis, tapi juga pusat makna, kesadaran dan pengalaman kita atas dunia. Maka, ketika fisik kita diabaikan oleh sosial atau dunia, keberadaan pun ikut goyah. Azusa mungkin masih hidup secara biologis, tetapi ia mulai kehilangan eksistensinya karena dunia tak lagi meresposnnya. Namun, apakah benar eksistensi kita selalu tergantung pada keberadaan orang lain?
Kognitif dan Ingatan
Dalam psikolog kognitif, ada tiga tahap bagaimana individu memproses dan menyimpan informasi. Sensory Memory, Short-Term Memory, Long-Term Memory. Untuk menyimpan informasi di memori jangka panjang, diperlukan atensi, pengulangan dan keterlibatan emosi. Ketika kita tidak menaruh perhatian, tidak mencoba mengulang dan tak ada perasaan saat menyerap informasi, maka setiap informasi yang ada akan mudah menguap begitu saja.Â
Namun jika kita melihat tokoh Takashi, ia berusaha memberi perhatian pada pikirannya untuk terus mengingat Azusa. Memikirkan Azusa berulang-ulang dan melibatkan emosinya pada Azusa. Tetapi pada akhirnya, Takashi juga melupakan Azusa seperti yang lainnya. Dari sini, saya jadi semakin bertanya-tanya, selama apa ingatan manusia bisa menyimpan kenangan?
Daniel Schater, dalam teorinya The Seven Sins Of Memory, menjelaskan bahwa memori manusia rentan terhadap lapse (kelupaan), missatribution (salah mengingat), blocking (gagal mengakses). kondisi lapse dalam memori manusia ini dipertegas oleh Azusa melalui dialognya pada Takashi, Azusa bilang: "seberapa banyak kamu masih mengingat nama teman-teman dan gurumu sewaktu sd? Dan kita melupakan mereka tanpa pernah tahu kenapa kita melupakan mereka."
Sebagai contoh, dalam suatu keadaan saya berpapasan dengan seorang teman. Entah itu teman sd, smp atau sma. Seringnya mereka menyapa saya terlebih dulu, namun sialnya terkadang saya sering lupa nama mereka dan membalas sapaan mereka hanya dengan senyum. Sehabis mendapati momen-momen seperti ini, saya selalu bertanya-tanya, mengapa saya bisa lupa pada mereka, dan saya tak pernah punya keinginan untuk melupakan mereka.
Dalam scene dialog azusa tersebut tampak seperti sebuah jawaban, bahwa betapa rapuhnya ingatan manusia. Terkadang kita dilupakan bukan karena kesengajaan, tetapi karena memori tidak mampu menyimpan banyak hal selama mungkin. Meski orang tersebut pernah kita cintai sepenuh hati, tidak berarti orang itu bisa luput dari dilupakan.
Kita semua pasti memiliki orang yang kita cintai, namun ketika orang tersebut sudah tidak bersama kita, entah karena kematian atau perpisahan, seberapa sering kita mengingatnya? Rasanya, kita mengingatnya hanya di situasi-situasi tertentu, sebab kesibukan hari-hari hanya memberi sedikit ruang untuk kita bisa mengenang. Begitulah ingatan, penuh kerapuhan karena kehidupan panjang dan melelahkan.
Terlupakan dan Eksistensi Diri