Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenangan pada Sajak Chairil Anwar

1 Agustus 2022   14:29 Diperbarui: 1 Agustus 2022   14:42 7053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tantangan karena saya hidup di masa pasca kemerdekaan dengan lingkungan aman damai. Berusaha mengfantasikan kondisi terlibat sebagai pejuang melawan penjajah. 

Syair Puisi Karawang-Bekasi Karya Chairil Anwar | Sumber Cherlyta Dalam Academia.edu
Syair Puisi Karawang-Bekasi Karya Chairil Anwar | Sumber Cherlyta Dalam Academia.edu

Saya mencoba mengulas sederhana penggalan sajak puisi Karawang Bekasi karya Chairil Anwar dan menyampaikan pesan mendalam dari puisi tersebut. 

Kami yang kini terbaring antara Kerawang-Bekasi. Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi

Syair pembuka yang sudah menggambarkan bahwa "Kami" tanda ada puluhan, ratusan atau bahkan ribuan pejuang yang harus rela menyampaikan selamat berpisah pada raga. Perjuangan yang terhenti karena mereka gugur di medan perang dan tidak bisa bersama lagi mengangkat senjata untuk berjuang. 

Saya membayangkan pejuang sudah ikhlas apapun hasil yang terjadi pada dirinya. Ditembak, disiksa atau bahkan harus meninggal dalam medan perang adalah jalan yang harus siap dihadapi. 

"Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi"

Suasana mencekam terasa jelas di masa penjajahan dulu. Mungkin untuk keluar rumah mengobrol dengan tetangga akan menjadi momen yang susah dilakukan. 

Bayang-bayang bagaimana pejuang ini berusaha membangun asa sesamanya dalam keheningan yang tidak dirasakan oleh musuh. 

"Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami"

Sejujurnya ini adalah penggalan syair yang membuat saya terenyuh, sedih sekaligus bangga. Pejuang usia muda mungkin ada yang belum berusia 25 tahun namun rela mengorbankan nyawa untuk kemerdekaan. 

Belum tentu anak muda di jaman saat ini ataupun saya sendiri memiliki semangat pengorbanan seperti. Jangankan maju ke medan perang, gadget tertinggal saja sudah bikin kita uring-uringan. Malu rasanya jika saya introspeksi diri, bisa kah saya sehebat pejuang muda saat itu? 

Mereka berjuang dengan sekuat tenaga. Mungkin tidak ada ucapan terima kasih yang bisa kita utarakan langsung. Cukup mengenang perjuangan mereka adalah cara bijak menghargai usaha dan pengorbanan mereka untuk generasi saat ini. 

"Kami cuma tulang-tulang berserakan. Tapi kami adalah kepunyaanmu"

Syair ini membuatku mengerti bahwa meski jutaan pejuang telah tiada namun mereka tetap menjadi bagian dari Indonesia. Kita bersyukur karena memperoleh kedamaian dan kemerdekaan dari usaha pejuan ini. 

"Kaulah sekarang yang berkata"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun