Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Saatnya Mengembalikan Identitas Bali Sebagai "Surga Pariwisata"

11 Agustus 2020   19:00 Diperbarui: 13 Agustus 2020   05:36 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tagline Bali di Bandara Ngurah Rai. Dokumentasi Pribadi

Bali mulai membuka berbenah diri usai diberlakukannya penutupan obyek wisata selama masa Pandemi. Tepatnya tanggal 31 Juli 2020 kemarin, saya berkesempatan untuk pulang kampung ke Bali sekaligus ingin merasakan dampak pariwisata di Bali selama masa Pandemi.

Saya sengaja memilih akhir Juli untuk pulang ke Bali karena bertepatan dengan libur Idul Adha. Selain itu ada rindu mendalam karena sebelumnya saya sudah punya agenda ke Bali bulan April namun tertunda dengan pembatasan ijin masuk ke Bali serta masih tingginya kasus Korona di tanah air.

Hal menarik 31 Juli 2020 sekaligus menjadi awal pembukaan untuk pariwisata domestik sehingga banyak persyaratan masuk ke Bali mulai dilonggarkan. 

Jika dulu yang berkunjung ke Bali diwajibkan untuk Swab Test yang biayanya jutaan kini bisa dipermudah dimana Rapid test bisa dijadikan syarat masuk ke Bali melalui moda transportasi penerbangan komersil. 

Selain itu ada pengisian form online yang perlu diisi baik sebagai data diri hingga kartu kewaspadaan kesehatan yang nantinya untuk mengontrol aktivitas kita selama di Bali.

Saya ingat betul ketika sampai di Bandara Ngurah Rai saat itu, petugas mengarahkan penumpang untuk berbaris dan menunjukan rapid test/Swab Test kemudian barcode data diri yang sudah diisi. Jika ada yang belum sempat mengisi disediakan form manual.

Hal menarik mengingat hari tersebut adalah hari perdana pembukaan pariwisata untuk domestik, beberapa petugas memberikan kalung bunga kepada wisatawan sebagai simbolik warga Bali menyambut para wisatawan.

Saya mengapresiasi aksi tersebut mengingat perekonomian Bali yang bertumpu pada pariwisata sangat anjlok selama Pandemi dan sangat mengharapkan kehadiran para wisatawan. Terlihat di Bandara masih sepi penumpang saat itu dan banyak counter usaha yang memilih tutup sementara.

Hari pertama saya sempatkan berwisata ke Ubud. Alasannya karena Ubud kaya akan pariwisata alam dan budaya. Tidak hanya itu jarak dari Bandara ke Ubud pun tidak jauh sekitar 1 jam (kondisi jalan saat itu masih sepi).

Tujuan saya mengunjungi Bali Zoo di Ubud. Hal menarik pengelola wisata berlomba-lomba menawarkan diskon besar-besaran selama pembukaan pariwisata di era new normal ini.

Bayangkan saja harga tiket Bali Zoo sebelum Pandemi sekitar Rp. 140 ribu/dewasa dan 100ribu/anak-anak saat weekend saat itu di diskon menjadi Rp. 95ribu/dewasa dan 75ribu/anak-anak.

Berfoto dengan Satwa Burung. Dokumentasi Pribadi
Berfoto dengan Satwa Burung. Dokumentasi Pribadi

Adanya diskon ini tentu sangat menarik bagi pengunjung yang datang dalam jumlah besar. Bisa menghemat hingga 32 persen. Umumnya pada situasi normal dan saat weekend, pengunjung ramai berdatangan. Jangan kaget jika akan kesulitan untuk mendapat area parkir serta mengantri cukup lama karena ramai dikunjungi wisatawan. 

Saat itu situasi masih senggang, saya hanya butuh mengantri 3 menit saja mulai dari antri cuci tangan, cek suhu hingga pembelian tiket.

Saya sempat mengobrol dengan petugas tentang jumlah kunjungan ternyata masih tergolong sepi tidak sampai seribu pengunjung padahal biasanya jumlah yang datang berkali lipat pada hari libur.

Tidak hanya itu selepas mengunjungi Bali Zoo, saya mencoba berkeliling Ubud hingga petang. Situasi masih sepi bahkan mayoritas galeri dan toko tutup. Bule asing pun hanya hitungan jari yang saya temui. Itu pun saya yakin mereka memang sudah menetap lama di Bali, bukan wisatawan asing yang sedang liburan.

Sekitar akhir 2019, saya sempat mengunjungi Ubud. Saya masih ingat susahnya mencari area parkir meski hanya sekedar ingin berhenti di samping jalan karena Ubud terkenal macet saat weekend. 

Bule berlalu lalang di jalan hingga mereka makan dan minum bir di beberapa tempat hiburan di Ubud. Kini jam 8 malam nyaris semua tempat hiburan dan minimarket tutup.

Saya yang sejak kecil tinggal di Bali seakan flashback akan situasi Bom Bali yang sempat membuat pariwisata goncang. Entah kenapa saya menilai Pandemi ini justru berdampak lebih hebat dibanding Bom Bali 1 dan 2. 

Saat Bom Bali, masih ada wisatawan lokal dan asing yang berkeliaran meskipun jumlahnya menurun tajam. Setidaknya usaha retail masih bisa beroperasional. 

Saat itu jam 8 malam Ubud layaknya sebuah desa di daerah pinggiran karena nyaris tidak ada aktivitas layaknya destinasi wisata.

Wisata di Alas Harum Bali. Dokumentasi Pribadi
Wisata di Alas Harum Bali. Dokumentasi Pribadi

Hari berikutnya saya mengunjungi Alas Harum Bali yang terletak dekat Ubud. Disini pun wisatawan tidak terlalu banyak. Pengelola wisata bahkan melakukan diskon gila-gilaan dimana tiket masuk normal 100ribu kini hanya 10ribu saja. Bayangkan diskon hingga 90 persen.

Adanya diskon ini membuat saya tertarik berkunjung karena wisata ini tergolong Premium dimana harga tiket masuk dan wahana cukup mahal bagi kantong saya. 

Jika ingin mencoba Sky Bike normalnya harus membayar 150ribu/orang dan Ayunan Bali Swing juga membayar 150ribu/orang. Itu belum termasuk tiket masuk 100ribu. 

Saat saya kesana, diskon hanya 10 ribu untuk masuk dan tiap wahana cukup bayar 35ribu. Ada paketan 100ribu untuk 4 wahana yang disediakan. Namun mengingat diskon ini bersifat sementara, pengunjung diberikan tiket dengan keterangan harga normal meskipun nantinya pengunjung hanya membayar sesuai promo. Ini karena pengelola belum membuat karcis promo.

Selepas dari Ubud, saya menyempatkan diri ke pantai Double Six yang terkenal di Kuta. Disini fenomena berbeda dengan di Ubud justru ramai terdapat wisatawan asing dan domestik. Bahkan kondisi ramai tidak ada penerapan social distancing.

Penggunaan Masker Saat Berwisata. Dok. Pribadi
Penggunaan Masker Saat Berwisata. Dok. Pribadi

Saya berpikir memang susah menerapkan aturan itu mengingat pengunjung seakan cuek terlihat jarak antara satu dengan lainnya berdekatan, banyak yang tidak menggunakan masker dan adanya antrian padat di gerobak penjual bakso dan minuman yang ada disana.

Saya melihat pengunjung ingin melepaskan kepenatan tanpa ada bayang-bayang Korona. Saya akui pun saat itu cuek karena saya menghabiskan waktu melihat sunset dengan 3 orang teman dalam meja persegi. 

Kami sibuk bercengkrama tanpa memusingkan aturan. Intinya kami ingin menghabiskan waktu dengan liburan.

Saya melihat adanya pembukaan wisata di Bali membawa secercah harapan perbaikan sektor ekonomi. Terbukti saat saya ke Bali Zoo, banyak karyawan yang infonya sempat dirumahkan kini bisa bekerja kembali. Pemilik penginapan sudah mulai dipenuhi bookingan dari wisatawan hingga usaha kecil seperti penjual bakso di pantai Double Six mulai bisa tersenyum karena jualannya laris manis.

Berharap Pandemi ini segera berakhir karena saya yang sejak kecil tinggal di Bali sangat merasakan bahwa ketika pariwisata terpuruk, masyarakat sangat berdampak. 

Saatnya menata kembali Bali menjelang pembukaan pariwisata untuk mancanegara yang infonya akan dibuka pada September nanti. Berharap Bali bisa bersinar kembali dan menunjukkan eksistensinya sebagai daerah wisata favourite di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun