Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tahun Ajaran Baru Masih Kelas Online, Orangtua Siswa Kian Stres

27 Juli 2020   10:46 Diperbarui: 27 Juli 2020   11:35 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang Tua Stres Diganggu Oleh Anak Selagi Bekerja. Sumber Kumparan.com

Tahun ajaran baru 2020/2021 memang telah dijalankan dalam dunia pendidikan namun bukan berarti semua siswa dapat melaksanakan proses belajar-mengajar dengan tatap muka seperti sediakala. Proses pembelajaran tatap muka hanya diperuntukan bagi sekolah yang berada di zona hijau dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Bagi yang berada pada zona kuning, merah dan bahkan hitam diminta untuk tetap menerapkan study from home ( SFH).

Bagi orang tua yang putra-putrinya masih SFH mulai dihinggapi rasa stres kategori ringan hingga berat. Saya menilai ini wajar karena orang tua seakan tidak siap menyikapi perubahan sistem pengajaran secara tiba-tiba dalam jangka waktu yang tidak pasti. Ini berkaca pada kakak saya yang tinggal di Zona Merah dimana keenam anaknya harus tetap WFH di tahun ajaran baru ini. Berbagai keluh kesah disampaikan ke saya dan pasti mewakili keluh kesah para orang tua lainnya.

Orang Tua Bekerja, Anak Tanpa Pengawasan

Setidaknya ketika masih proses pembelajaran di sekolah. Orang tua akan tenang karena sebagian waktu anak dihabiskan dengan teman sebaya dan pengawasan guru. Namun kini ketika kedua orang tua bekerja, otomatis anak minim pengawasan. 

Bersyukur jika ada pembantu yang dipekerjakan atau anggota keluarga lain di rumah yang dapat membantu mengawasi putra-putri mereka. Namun bagi mereka yang hanya keluarga inti (ayah, ibu dan anak) maka meninggalkan anak dari pagi hingga sore terasa mengkhawatirkan. 

Tidak sedikit orang tua yang akhirnya menggunakan jasa orang lain untuk membantu mengawasi anak yang saja tentu akan mengeluarkan biaya tambahan. Ada orang tua lainnya yang menitipkan anak kepada kerabat atau orang tua yang tinggal agak berjauhan agar anak tetap ada yang mengawasi. 

Mereka rela berangkat kerja lebih pagi untuk mengantarkan anak ke kakek-neneknya atau kerabat keluarga. Setelah itu baru orang tua bisa berangkat kerja. Otomatis orang tua mengeluarkan waktu dan biaya ekstra karena harus mengantarkan anak ke sanak saudaranya yang bisa membantu mengawasi.

Stres Karena Kelakuan Anak

Anak memiliki dunianya sendiri, suka bermain serta susah untuk diarahkan. Kelakuan anak yang memiliki karakter aktif dan tidak bisa diam akan menimbulkan rasa stres pada diri orang tua yang juga beraktivitas di rumah. 

Bayangkan jika ibu baru selesai menyapu dan mengepel rumah tiba-tiba anak datang dari bermain dengan kaki kotor; anak memberantakan mainan di ruang keluarga, anak menumpahkan makanan dan minuman ke lantai, atau sekedar anak berlarian di dalam rumah. 

Rasa ingin sekedar istirahat pasti langsung berubah dengan rasa kesal dan emosi. Butuh waktu lebih untuk membersihkan ulang rumah karena kelakuan si anak.

Tetangga saya berkeluh kesah lebih baik anaknya belajar di sekolah. Setidaknya dirinya bisa beristirahat tenang di rumah. Ketika anak SFH, waktu beristirahat mereka berkurang karena terganggu karena kelakuan anak. Ketika hendak tidur siang setelah selesai membersihkan rumah dan mencuci pakaian tiba-tiba anak memecahkan gelas. Kondisi inilah yang membuat orang tua juga bisa stres jika anak terlalu banyak beraktivitas di rumah.

Orang tua yang juga harus bekerja menerapkan Work From Home (WFH) juga tidak luput dari rasa stres karena kelakuan anak. Bayangkan ketika ayah sibuk membuat presentasi atau tugas kantor tiba-tiba anak menangis minta digendong oleh ayah. 

Ketika orang tua tengah meeting online dengan kantor ataupun klien tiba-tiba anak berantem disampingnya. Tentu konsentrasi bekerja akan buyar karena kelakuan si anak.

Kemalasan Anak

Adanya SFH, orang tua berharap anaknya dapat membantu aktivitas orang tua di rumah. Setidaknya selepas bangun pagi, anak membantu ibu menyiapkan makanan di rumah, membersihkan peralatan yang kotor, memberi makan peliharaan atau sekedar menyiram tanaman di kebun. Namun kenyataan mereka mendapat anak justru bermalas-malasan di rumah.

Anak bangun jam 10 siang, kemudian sarapan dan dilanjutkan menonton TV, bermain game atau sekedar beraktivitas dengan gadget masing-masing hingga larut malam. Sedikit pun tidak tergerak untuk meringankan beban orang tua di rumah. Kondisi ini membuat orang tua merasa anak terlalu malas selama SFH. Bahkan tidak sedikit orang tua lebih mudah terpancing emosi selama anak SFH dibandingkan saat anak masih belajar di sekolah.

Tidak heran selama SFH anak justru bertambah gemuk karena aktivitasnya makan, tidur, maka, main game online dan diselingi makan cemilan. Bayangkan aktivitas ini rutin dilakukan sejak sekolah menerapkan SFH. Justru aktivitas ini tidak hanya membuat pusing orang tua tapi juga tidak sehat bagi tubuh si anak karena minim aktivitas yang menguras keringat.

Biaya Bulanan Membengkak

Aktivitas anak yang hobi menonton tv, tidur di rumah dengan AC menyala, makan cemilan, bermain playstation, hingga seringnya gadget di charge membuat biaya bulanan ikut membengkak. Kita tahu bahwa sejak masa pandemi, tagihan listrik terasa membengkak. Salah satu penyebabnya karena penggunaan listrik meningkat drastis selama pandemi.

Tidak hanya itu orang tua juga dipusingkan dengan biaya uang jajan anak yang tetap keluar ditambah tagihan pulsa serta internet anak semakin membengkak. Orang tua mengharapkan adanya penghematan dalam keluarga selama pandemi justru mengeluarkan pengeluaran yang tidak terduga dengan nominal besar.

Kesabaran orang tua juga teruji ketika anak dirasa kurang peka terhadap kondisi ekonomi keluarga. Karakter anak seperti ini yang menjadi beban bagi orang tua. Ketika orang tua kena PHK dan tabungan kian menipis untuk kebutuhan sehari-hari, si anak tanpa rasa bersalah menuntut banyak hal seperti uang saku selama di rumah, beli pakaian, belanja online, menyetok makanan kecil untuk cemilan, hingga meminta uang bensin untuk keluyuran diluar rumah.

Kebutuhan SFH Besar

Tidak semua orang tua memiliki anggaran untuk menunjang SFH anak. Ini karena anak membutuhkan gadget canggih seperti smartphone, laptop atau PC untuk membantu mereka belajar daring. Tidak hanya itu kebutuhan kuota internet atau jaringan internet yang besar dan stabil juga dibutuhkan. 

Saya prihatin melihat ada orang tua yang harus rela berhutang untuk membelikan anaknya smartphone untuk bisa dipakai selama belajar online. Selain itu biaya internet juga cukup besar. 

Saya pernah memberikan pulsa Rp. 50.000 untuk 3 keponakan untuk membeli paket internet. Ternyata paket internet hanya bertahan selama 2 minggu karena belajar online dan juga untuk keperluan internet pribadi keponakan. Artinya butuh pulsa Rp. 100.000 untuk 1 bulan. Bayangkan keponakan saya ada 3 orang berarti harus mengeluarkan Rp. 300.000 hanya untuk kuota internet.

Bagi orang tua yang hidup pas-pasan pasti akan terasa memberatkan. Untuk membeli kebutuhan makan saya saja mereka butuh pertimbangan apalagi sekedar untuk membeli gadget beserta kuota internet. 

Ada sebuah artikel berita yang menginfokan orang tua harus rela meminjam Hp tetangga untuk dipakai oleh si anak selama proses belajar online. Ada juga yang rela menjual aset keluarga untuk membelikan anak smartphone dan kuota internet.

Orang tua meski hidup pas-pasan tetap merasa khawatir jika kebutuhan SFG tidak tersedia, dikhawatirkan putra-putri mereka tidak bisa menimba ilmu atau sekedar mengumpulkan tugas sekolah. Fenomena yang sangat dramatis selama pandemi ini.

SPP Tetap Mengalir

Dua hari lalu saya sempat membaca postingan viral di IG tentang pihak sekolah yang menagih SPP anak kepada wali murid via pesan WhatsApp. Orang tua memberikan balasan menohok dengan mengirimkan gambar uang sebagai bentuk pembayaran SPP. Aksi orang tua ini sebenarnya adalah rasa protes karena anak justru lebih banyak belajar di rumah melalui kelas online namun SPP tetap harus dibayarkan tanpa ada keringanan.

Ini juga menjadi salah satu keluh kesah kakak saya. Keponakan saya paling besar kini mulai masuk jenjang SMA dan perlu membayar uang gedung, seragam, buku, uang SPP dan printilan lainnya. Nominalnya pun jutaan rupiah namun proses belajar mengajar harus tetap SFH sesuai instruksi dari pemerintah karena berada di zona merah. Bayangkan membayar jumlah yang besar tapi anak masih harus belajar di rumah.

Saya percaya banyak orang tua siswa yang berpikiran bahwa perlu adanya keringanan SPP untuk anak yang menerapkan SFH. Keringanan SPP ini setidaknya dapat digunakan untuk menutupi kebuthan SFH seperti kuota internet yang juga membutuhkan anggaran besar. 

Namun kita juga harus sadar bahwa sekolah memiliki aturan sendiri dan banyak guru kontrak yang membutuhkan pembayaran SPP dari orang tua siswa agar operasional sekolah tertutupi dan gaji guru kontrak bisa terbayarkan.

Fenomena orang tua stres karena sekolah masih menerapkan SFH sangat lumrah terjadi saat ini. Ini bukti bahwa sekolah masih dibutuhkan oleh orang tua tidak hanya sebagai instansi pendidikan namun juga untuk mengawasi serta meringankan beban orang tua di rumah. Kondisi ini juga sarat pembelajaran khususnya orang tua yang pernah viral karena protes kepada guru ataupun instansi pendidikan ketika anaknya ditegur atau mendapat hukuman karena sikap si anak.

Kini adanya SFH juga menjadi introspeksi bagi orang tua dalam menerapkan pola asuh anak meskipun saya sadar betul orang tua mulai mengalami rasa stres. Semoga proses belajar-mengajar tatap muka dapat segera kembali dijalankan di seluruh wilayah Indonesia agar dapat mengurangi 6 potensi stres orang tua seperti yang saya tuliskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun