Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Toa dan Puasa di Dusunku

1 Mei 2021   06:25 Diperbarui: 2 Mei 2021   09:48 4636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi toa masjid. Sumber: Kompas.com

Dulu, hampir seluruh inovasi di bidang peternakan dan pertanian dilakukan ayahku, walau hanya sekali saja, tak berulang. Sebagian besar gagal, lalu dilakukan inovasi bidang lain. Entah beternak lele dumbo, menanam buah melon, garda munggu, pepaya bangkok, kelapa hibrida, herbisida, minapolitan, melakukan intensifikasi pertanian dengan cara menjadikan tanaman padi sekaligus tempat menebarkan ikan mas, menebarkan gurami di kolam yang lebar itu, dan lain-lain. Justru aku yang berhasil, ketika bertanam kedelai dengan benih yang dibawa ayah di lahan pbekas perumahan kakek dalam zaman Jepang di Parak Munti.  Ayahku biasanya tidak mengulangi lagi, walau sejumlah evaluasi sudah didapat. 

Halaman rumah dipenuhi dengan segala jenis tanaman obat-obatan yang disebut sebagai Apotik Hidup, dari kumis kucing, lidah buaya buat rambut hitam panjang Emak, kuini asal Indramayu, tanaman sirih merambat, hingga lengkuas yang bisa membunuh panuan atau jamur di kulit. Ayah memang rajin memeriksa penyakit apapun dalam tubuh anak-anak lelakinya yang berjumlah enam orang, satu perempuan. Kakak tertua merantau duluan. Walau setiap pekan tubuh kami selalu luka, baik akibat bermain, kecelakaan, atau bekerja, bagi ayah bukan persoalan besar. 

Ketika toa belum ada, surau dan mesjid mengandalkan accu. Maka, kalau ada kegiatan yang berskala besar, akan dibentuk kepengurusan, termasuk yang bertugas membawa accu ke tempat pengecasan. Itu tugas Mak Ciak Anas. 

Surau biasanya milik suku (kaum). Surau kaum Piliang ada di Dusun Kampung Tangah, sedang surau milik suku Tanjung dekat rumahku di Dusun Durian Kadok, karena kami dikelilingi oleh tetangga dari suku Tanjung. Belum lagi surau buat suku Chaniago, Jambak, dan lain-lain.

Sedangkan mesjid Surau Kerambil untuk kegiatan Jum'atan atau Maulid Nabi. Isra' Mi'raj dan Nuzulul Qur'an biasanya dilaksanakan di surau. Keramaian yang kami nanti. Puluhan obor, bedil betung, hingga berjenis permainan dengan bahan dasar buluh, kayu, hingga pelepah pisang.

Dengan kegiatan-kegiatan itu, kompetisi antar surau terjadi. Sudah menjadi kebiasaan sumbangan berapa pun diumumkan jumlahnya dan diberikan oleh siapa. Masing-masing warga surau berlomba memakmurkan surau dengan total sumbangan. Walau warga surau lain diundang juga, terasa muncah di hidung apabila dalam sebulan ramadhan surau kamilah yang disebut sebagai penerima sumbangan terbanyak. 

Sholat Id dengan sendirinya menjadi salah satu 'piala'. Jamaah surau-surau lain akan datang ke halaman surau kami, yakni pinggiran sungai Batang Naras sebagai tempah sholat itu. Apalagi dalam Maulid Nabi, beragam payung, berjenis makanan, pun dikie seminggu penuh, piring-piring kue dan ayam yang disusun bertingkat, uang dalam bentuk pohon buatan, salawat dulang, ataupun bakaba menjadi pemandangan yang menghangatkan dan menggairkahkan kami sebagai anak-anak sekolah menengah.

"Seribu rupiah dari Uniang Taba! Tigaratus rupiah dari Sidi Leman! Limaratus rupiah dari si Mancan nan sedang sekolah di Padang! Sepuluh ribu rupiah dari si Udin nan baru pulang dari Medan!"

Biasanya, semua mata dan telinga akan mengarah kepada nama-nama anak-anak muda yang pulang dari rantau pada bulan puasa. Mereka sudah dikenal dengan kebiasaan memberikan sumbangan besar ketika pulang. Juga segera ketahuan pas berangkat lagi ke rantau lewat mencari modal dengan cara menurunkan buah kelapa orangtuanya, bahkan meminjam uang tetangga. Tentu yang paling pantang adalah menggadaikan sawah harta pusaka tinggi, terkecuali untuk modal dagang atau sekolah. 

Di kenagarian kami tidak ada koperasi simpan pinjam. Yang ada bajulo-julo untuk mengerjakan sawah atau ladang, atau dalam menikahkan anak-anak perempuan. Baralek Gadang Anak Daro. Maklumlah, di seluruh Sumatera Barat, Adat Pariaman terkenal dengan uang hilang dan uang jemputannya. Keluarga penganten perempuan, terutama Apak (Paman) dan Mande (Bibi) yang menanggung renteng biaya untuk 'menghimpit' atau lebih dikenal dengan membeli laki-laki pilihan. 

Nah, dalam urusan Uang Hilang ini, aku termasuk masih menjadi Juara Abadi. Bagaimana tidak, seluruh lamaran dari gadis Minang manapun, baik ranah atau rantau, keluar dengan bermacam angka fantastis, mobil, peternakan kerbau, biaya kuliah hingga ke luar negeri, sampai toko. Dan semua kutolak dengan alasan ke Emak, "Yaya tidak ternilai, Mak. Biar Yaya cari sendiri, tanpa ada Uang Hilang untuk Yaya." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun