Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

KPK dan Bangsa Pendaki

12 September 2019   13:33 Diperbarui: 13 September 2019   10:15 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).| Sumber: KOMPAS.com/Abba Gabrillin

Bumi Nusantara adalah lahan subur bagi beragam karakter dan tipe pemimpin. Bangsa ini tidak perlu melongok pemimpin negara lain. Dari tebaran nama-nama pemimpin yang ada di sekitar tempat tinggal, sudah bisa dipelajari pola kepemimpinan yang diterapkan.

Pemimpin yang bukan hanya masih hidup, tetapi juga sudah tiada. Sebagian kecil terselip dalam lembaran buku sejarah. Mayoritas sama sekali tak pernah ditulis .

Mari kita teropong lebih sempit lagi. Yakni pemimpin yang berada dalam jejaring pemerintahan. Baik pemerintahan monarki, ataupun pemerintahan demokratis.

Mereka yang menjadi sultan, raja, hingga bupati, gubernur dan presiden. Tidak cukup satu buku berisi seribu halaman untuk mencatat keseluruhan nama, tempat dan masa jabatan. Walau belum pernah ada, usaha untuk menulis ensiklopedia pemimpin-pemimpin bumi nusantara itu diperlukan.

Ketika nama-nama pemimpin dilafaz, ingatan awal tertuju kepada warisan yang ditinggalkan. Masyarakat sejahtera, kawasan elok rupa, hingga bangunan indah merasuki jiwa menjadi contoh dari warisan itu. 

Kenyataan di depan mata lebih dulu dinilai. Siapa yang bekerja mewujudkan kenyataan itu, baru ditelusuri. Buah karya bertahan lebih lama, ketimbang nama kreatornya.

Usai pemilihan umum, publik semakin banyak beralih perhatian. Pemimpin-pemimpin lama yang bertahan, pemimpin-pemimpin baru yang bermunculan, tidak lagi menarik hati. 

Publik kembali kepada kehidupan sehari-hari, sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dimiliki. Publik yang berjarak membuat pemimpin terpilih berada pada situasi tak bisa lagi didekati, apalagi dijamah dan diarahkan. Ruang kebebasan pemimpin menjadi lebih lapang.

Trias politika dipercaya menjadi trisula sakti untuk mencegah penyelewengan kekuasaan. Legislatif, eksekutif dan yudikatif dianggap berjalan, bergerak dan bekerja sesuai dengan nubuat yang tertulis dalam buku-buku teori. 

Pilar-pilar yang sama sekali tak saling hendak menundukkan, apalagi bekerja sama untuk kepentingan diri sendiri guna berpaling dari pemilik suara. Setiap manusia yang berada di belakang kemudi pilar-pilar itu, dianggap sudah bisa saling mengawasi.

***
Perputaran tampuk kepemimpinan yang silih berganti di Indonesia dalam era demokrasi deliberatif dewasa ini bisa saja membawa petaka. Setiap orang ingin menjadi pemimpin. Bisa lewat kerja keras, jalan pintas, hingga upaya tanpa sengaja. 

DokPri: FGD yg penulis ikuti sbg narasumber di Auditorium KPK RI, September 2013
DokPri: FGD yg penulis ikuti sbg narasumber di Auditorium KPK RI, September 2013

Ketika kepala-kepala daerah ditangkap aparat hukum, wakil kepala daerah otomatis berkesempatan menduduki tahta. 

Siklus dan rotasi kekuasaan yang serba terbuka memberi celah serupa. Tak sampai selesai menjalankan periode pemerintahan, sama sekali tidak ada larangan berhenti di jalan. Berpindah posisi juga dimungkinkan, yakni bertarung lagi masuk badan atau lembaga yang berbeda.

Sejauh ini, belum terjadi evaluasi komprehensif atas regulasi yang terkait kedudukan pemimpin di Indonesia. Terkecuali bagi aparatur negara yang dibatasi usia pensiun, jabatan-jabatan lain bisa diraih lewat kompetisi terbuka. 

Konduite komisioner-komisioner terbaik dalam komisi-komisi negara, bukan berarti sertifikat gratis untuk menjabat lagi. Kalau masih punya keinginan meneruskan periode berikutnya, posisi kembali ke tahap awal. 

Tak seperti cabang olahraga sepak bola yang mempertemukan klub-klub terbaik dalam partai perempat final, semifinal hingga final.

Tipe kepemimpinan feodal dan aristokratis kian pudar dari lanskap pemerintahan Indonesia. Tak ada lagi darah pemimpin yang berwarna biru. Semua warna kembali merah. Kompetisi terjadi di mana-mana. 

Prestasi sebaik apapun, bisa saja tak menjadi parameter penilaian, manakala kepentingan dan kebutuhan organisasi berubah. Hanya pemimpin yang dipilih secara langsung lewat pemilihan umum yang bisa memastikan kapan hari terakhir bekerja. Mereka terikat dengan periodesasi. 

Diluar itu? Kapan saja bisa kehilangan tampuk kepemimpinan. Seperti udara tropis memberi pengaruh lebih cepat bagi perubahan iklim.

Lanskap itulah yang membuat setiap pemimpin berwatak seperti pendaki gunung. Setiap kali melewati lembah, lereng dan tanjakan, kepala tak lantas tertengadah ke bawah. 

Tenaga dan pikiran malah kian fokus untuk menggapai puncak. Rasa puas baru bisa menguasai rongga dada, ketika tak ada lagi puncak yang berada paling tinggi. Akhir pendakian kepemimpinan berarti sendirian bersentuhan dengan langit. Batas yang tak bisa lagi diinjak, apalagi dilalui.

***
Suasana kebatinan seperti itulah yang mengisi ruang publik kita akhir-akhir ini. Kontroversi seputar Panitia Seleksi (Pansel) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyeruak setelah meloloskan sejumlah Calon Pimpinan (Capim) KPK. 

Pun rencana revisi Undang-Undang tentang KPK. Terdapat elemen publik yang kecewa atas hasil kerja Pansel KPK. Begitu juga komponen publik yang -- diam-diam -- setuju dengan revisi UU KPK.

Guna membangun opini dan argumentasi, jejak rekam anggota-anggota Pansel KPK ditelusuri dan dipertanyakan. Informasi yang terbatas dikembangkan lebih luas dengan tujuan akhir menolak hasil kerja Pansel KPK. 

Walau sesuai dengan mekanisme dan prosedur perundang-undangan, opini publik tetap dinilai sebagai palu hakim terakhir.

Penggalangan petisi secara online semakin populer sebagai metode penolakan. Petisi menjadi senjata membangun opini publik. Apabila kanal-kanal utama media massa berhasil dimasuki, langkah lain sudah menunggu. 

Bukan pelanggaran hukum apabila pihak yang membentuk Pansel KPK tak meneruskan hasil yang sudah diputuskan. 

Kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara dinilai sah dan konstitusional, ketika menolak hasil kerja Pansel KPK. Pansel KPK mendapatkan kewenangan yang sama sekali tak permanen. 

Dari sisi konstitusi, Pansel KPK hanyalah pembantu sementara Presiden sebagai Kepala Negara dalam menjalankan tugas-tugas konstitusionalnya. Bantuan itu bisa dibatalkan secara sepihak, apabila dinilai melanggar nilai-nilai yang sedang ditegakkan Kepala Negara.

Bukan hanya jejak rekam Pansel KPK dibeberkan kepada publik, bahkan Capim KPK yang lolos memasuki masa pengadilan opini. Kinerja mereka sebagai profesional di bidang masing-masing, diurai satu demi satu. 

Publik yang kadung mengikuti, seperti dipaksa memasuki mesin waktu yang sudah berlalu. Hari, tanggal, bulan, tahun, hingga jam per jam diperiksa. Proses yang tentu berbeda dengan pemutaran tayangan ulang dalam pertandingan sepakbola, guna merasakan lagi drama-drama pertandingan yang tercipta.

Ke mana akhir dari sekuel demi sekuel yang tercabik-cabik dalam pemberitaan media setiap saat itu? 

Yang mulai terasa, pertarungan kuasa sedang berlangsung dalam celah-celah berita. Entah siapa melawan siapa. Sulit sekali menebak pihak-pihak yang sedang bertikai ini. 

Padahal, sejak awal, tujuan dari keseluruhan rangkaian kegiatan Pansel KPK adalah mendapatkan komisioner-komisioner yang paling tangguh dalam menjalankan tugas dan wewenang yang dimiliki. 

Orang-orang yang bisa dengan cepat mendapatkan populerisme. Sebagai lembaga yang paling dipercaya publik dalam hampir semua jajak pendapat, KPK termasuk puncak pendakian tertinggi bagi seorang pemimpin Indonesia kontemporer.

Indonesia sedang berada dalam posisi yang makin menanjak sebagai negara sejahtera. Sejumlah lembaga internasional memuat proyeksi, betapa Indonesia bakal menduduki ranking keempat dalam daftar negara paling kaya dan kuat di dunia pada tahun 2045 nanti. Tahun yang berarti satu abad Indonesia merdeka. 

Indonesia berada pada barisan negara yang paling kuat dalam mendaki lereng dan lembah kepemimpinan antar bangsa. 

Sejumlah negara yang sudah lebih dulu berada di depan dan atas, kini malah terengah-engah dan mulai kehabisan nafas. Bahkan terdapat rombongan negara yang tergelincir, bahkan terperosok dan jatuh ke jurang.   

Penyebab kejatuhan negara-negara itu beragam. Model krisis yang terjadi pun tak sama. Hanya saja, ada yang bermula dari kejatuhan pemimpin-pemimpin utama di negara-negara yang bersangkutan. 

Kejatuhan yang dipicu oleh kekalahan atau bahkan kemenangan dalam pemilihan umum, namun tak diterima oleh sebagian warga yang melancarkan perlawanan. 

Sejumlah pemimpin yang jatuh, serta merta membuka konflik yang menyebar ke seluruh lini kekuasaan. Konflik menjadi berdarah, ketika massa pro dan kontra bergelora dalam festival angkara murka di jalanan.

Dalam momentum yang seolah dinanti, negara-negara lain yang lebih kuat ikut melibatkan diri sebagai kawan atau lawan.

Keseluruhan uraian ini sama sekali tak berakhir dengan kesimpulan. Apalagi palu pengadilan opini tentang siapa yang salah, siapa yang benar, siapa yang kalah, siapa yang menang. Bangsa dan pemimpin Indonesia sedang berada dalam ketinggian pendakian yang semakin sulit melihat ke bawah, apalagi tapak awal. 

Kisah tentang gebyah-uyah Pansel KPK hanyalah noktah-noktah kecil yang belum membentuk garis-garis besar dalam haluan berbangsa.

Frase "Pansel KPK" bisa diganti dengan nama lain, misalnya perpindahan ibu kota negara, mahasiswa Papua, laporan keuangan PT Garuda Indonesia, atau kehadiran pembunuh bayaran sewaan istri atas suami dan anak tirinya.

Seorang pendaki, tentu tahu kapan harus berhenti untuk istirahat. Dalam kondisi istirahat itu, seluruh kemampuan fisik, mental, hingga spiritual diperiksa. 

Apabila mata tidak bisa dipicingkan, alam raya adalah persada sebagai area pandangan tertuju. Bintang-bintang yang membentuk galaksi di antariksa bagai kunang-kunang yang hadir di malam kelam. 

Pendaki sejati, baik pemimpin atau bangsa, sudah pasti tahu bahwa bumi bukanlah tanjakan demi tanjakan yang tersusun dari rendah hingga tinggi, tapi hanya butiran bulat yang tak bakal bisa ditaklukkan.

Setiap pendaki dan bangsa sejati tahu bahwa batas-batas itu ternyata ada. Yang sirna adalah pemimpin dan bangsa itu sendiri, karena lupa betapa perlombaan dalam pendakian hanya fase yang tak abadi.

Jakarta, 12 September 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun